Mojok berkesempatan mengunjungi pabrik rokok Aroma dan berbincang dengan Komunitas Kretek di Kudus beberapa pekan lalu. Ada banyak cerita yang didapat mulai dari kehidupan pekerja, kenaikan cukai, dan peredaran rokok ilegal yang mengancam industri rokok. Berikut ini kisahnya.
***
Pagi sekali, Siti Rahmawati (38) bergegas masuk pabrik. Ia tata motornya di halaman parkir. Deretan penjaja sarapan ia lewati. Masuk pos pemeriksaan keamanan, lanjut ke gedung SKT (sigaret kretek tangan). Tepat pukul 05.55 WIB ia sudah berada di ruangannya.
Mengenakan setelan baju warna krem, jilbab, dan apron berwarna merah, Siti siap bertugas. Sudah 16 tahun ia bekerja di PT A.T.I (Aroma Tobacco Indonesia). Kini, ia mengisi posisi sebagai mandor instruksi yang membawahi ratusan karyawan rokok kretek tangan di pabrik tersebut.
“Tugas saya me-acc hasil produksi rokok yang dari anak giling [linting] untuk diloloskan sampai ke packing. Semua harus sesuai SOP,” tegas Siti pada Mojok.
Hari itu, Kamis (20/10/2022) Mojok bertemu Siti karena berkesempatan ikut agenda Rokok Indonesia yang sedang menjelajahi pabrik PT A.T.I di Kudus, Jawa, Tengah. Siti adalah salah satu dari ribuan karyawan yang menggantungkan hidupnya di pabrik rokok Aroma.
Ia mulai bekerja pada tahun 2006. Pertama kali masuk hanya lah karyawan borongan biasa. Perhitungan gajinya berdasarkan produktivitas harian atau satuan hasil. Semakin banyak ia menghasilkan batangan rokok maka makin besar uang yang bisa dibawa pulang.
Namun, dua tahun kemudian keberuntungan datang padanya, posisinya naik, ia diangkat jadi pekerja harian. Hitungan gajinya kini berdasarkan pada jam kerja. Ia bisa gajian selama seminggu sekali tanpa hitungan satuan hasil.
“Alhamdulilah, kalau dari segi penghasilan sih cukup,” ucap Ibu dua anak ini menjawab diplomatis soal jumlah penghasilannya.
Siti bercerita soal standar pekerja dalam memproduksi rokok kretek tangan. Ia menjelaskan, jumlah rokok yang dihasilkan per orang tergantung pada kemampuannya masing-masing. Jika jam kerja mulai pukul 6 sampai 14.00 WIB maka satu orang pekerja paling maksimal bisa menghasilkan 3.500 batang rokok. Namun, standarnya rata-rata berjumlah 2.600-2.700 batang untuk satu orang.
“Buat rokok itu tidak selancar yang kita bayangkan, kadang alatnya trouble, ada juga faktor internal [masalah pribadi] karyawan yang ngaruh ke pekerjaan, nah tugas mandor itu bikin semuanya stabil sehingga kualitas produk tetap baik,” ucapnya.
Sudah 16 tahun ia lewati, Siti mengaku nyaman bekerja di pabrik rokok Aroma. Kuncinya, kerja harus dengan hati senang sesuai peran dan tanggung jawabnya. “Kita harus bikin suasana yang nyaman karena saya kan tugasnya di depan, saya punya pengaruh bagi teman-teman yang di belakang,” ucap Siti yang lahir dan dibesarkan di Kudus.
Siti yang pagi itu ditemui oleh Mojok adalah salah satu potret pekerja industri rokok yang berada di Kudus. Pabrik rokok Aroma memiliki setidaknya 1.200 pekerja. Mereka terbagi dalam dua ranah produksi: SKT dan SKM (sigaret kretek mesin).
SKT bisa mengasilkan 1.250 bal rokok kretek tangan dalam satu hari dengan dua merek: Aroma Reguler dan Slim. Sementara SKM bisa menghasilkan 18.000 bal rokok sehari dengan merek Aroma Bold dan Mile.
“Pekerja kita bekali dengan pengatahuan detail tentang job desc, harapannya dengan pengalamannya sendiri bisa menjaga kualitas, dibantu sama teman yang di atas, setiap pagi mereka ada review, kita pengin produk kita nggak ada celaan dari konsumen,” terang Muhammad Saefudin (58) atau kerap disapa Pak Udin yang merupakan kepala produksi di Pabrik Rokok Aroma.
“Semua di sini jadi karyawan tetap baik borong dan harian,” tegasnya.
“Gajian di sini rata-rata Rp2,4 juta, seminggu mungkin Rp600 ribu, kalau yang SKM malah bisa lebih besar gajinya karena shift-nya lebih lama,” katanya lagi.
Pak Udin menjelaskan alur kerja di pabrik rokok Aroma, ia mengatakan bahwa di pabrik SKM, proses produksinya jauh lebih sederhana ketimbang SKT karena sudah menggunakan mesin. Hanya ada dua bagian di pabrik ini, team maker (membuat batangan) dan team HLP (packaging).
Sementara di bagian SKT alurnya seperti ini: ada yang bertugas giling untuk bikin batangan yang bagus, ada yang menggunting, merapikan, dan menyeleksi. Setelah itu masuk ke proses koreksi atau quality control (QC). Jika semua sudah selesai, lanjut ke bagian packing sekaligus menempelkan cukai.
FYI, cukai ini adalah pungutan negara terhadap barang yang mempunyai karakteristik tertentu untuk diawasi dan dikendalikan. Proses menempelkan cukai ini jadi penting karena penanda kalau rokok ini legal dan kualitasnya terjamin. Namun, soal tarifnya sering kali jadi perdebatan, karena kenaikannya bisa berdampak pada pekerja di industri rokok seperti Siti.
Cukai dan dampaknya pada industri
Bicara mengenai cukai, pemerintah hampir pasti menaikkan tarifnya tiap tahun. Jika melihat data yang ada, dalam 3 tahun terakhir kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata berada di atas 10 persen. Tahun 2020 naik sebesar 23 persen, 2021 naik sebesar 12,5 persen, dan 2022 naik sebesar 12 persen.
Lantas apa dampaknya dengan adanya kenaikan cukai? tentu harga rokok di pasaran melambung tinggi. Alih-alih menekan angka perokok di Indonesia—seperti yang dikatakan Kementerian Keuangan—nyatanya malah membuat pelaku industri tembakau megap-megap.
“Harga rokok tinggi dan publik nggak bisa mengakses produk rokok legal, [akhirnya] mereka mencari alternatif yang lebih murah, pada 2019-2020 alternatif murah yang menjamur adalah tingwe, tapi semakin ke sini peredaran rokok ilegal justru makin meningkat,” ucap Aditia Purnomo (30) dari Komunitas Kretek yang rutin mengadvokasi hak konsumen rokok di Indonesia.
Peredaran rokok ilegal ini disebutnya membunuh industri rokok di Indonesia. Menurutnya kenaikan cukai tak sejalan lurus dengan pemberantasan rokok ilegal di pasaran. Imbasnya, pelaku industri, terutama yang berskala kecil-menengah terancam gulung tikar.
“Pasar yang dihajar oleh rokok ilegal ini justru rokok kelas kecil-menengah yang harganya Rp15 ribu-10 ribu. Misal, kita beli rokok Aroma slim isi 12 batang harga Rp8 ribu dan 16 batang harga Rp11-12 ribu, orang beli rokok ilegal dengan harga 6 ribu itu sudah bisa dapat 20 batang,” terangnya pada Mojok.
“Kenaikan cukai ini bukan saja kita nggak bisa beli rokok, tapi ada juga ancaman rokok ilegal yang tidak terjamin keamanannya untuk konsumen,” tegas Adit.
Selain itu, menurut Adit kenaikan harga rokok, yang terdampak justru bukan di konsumen tapi di petani dan buruh. Pabrik-pabrik penjualan dan produksinya turun. Sementara produksi turun akan berpengaruh pada kebutuhan akan bahan baku dan kebutuhan tenaga kerja
Ia lantas menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke petani tembakau di Temanggung, Jawa Tengah. Para petani mengeluhkan bahwa beberapa tahun terakhir serapan hasil panennya berkurang. Fenomena ini seperti hukum alam di industri, ketika produksi turun maka serapan bahan baku pun ikut turun
“Persoalannya [lagi] yang diserap sekarang adalah tembakau yang kualitasnya grade menengah ke bawah, sekarang tembakau kualitas tinggi (tembakau srintil-red) serapannya berkurang drastis, padahal ini biasanya jadi andalan petani karena harganya bisa Rp1 juta sekilo,” katanya.
Tren kenaikan cukai yang selalu tinggi sudah banyak memakan korban, salah satunya pabrik di Blitar. Baru-baru ini, per 1 September 2022, pabrikan rokok dengan merek Apache resmi gulung tikar. 800 orang langsung kehilangan pekerjaan. Ini satu preseden buruk ketika harga naik dan rokok ilegal merajalela.
“Suka nggak suka industri tembakau secara keseluruhan menghidupi puluhan juta orang, ini yang juga harus diperhatikan ketika pemerintah menaikkan cukai ya dampaknya bukan hanya ke konsumen tapi ke penghidupan banyak orang,” ucap Adit.
Adit lantas memberikan gambaran, satu batang rokok jika diandaikan dengan harga jual per batang Rp1.500, maka sekitar 63 sampai 70 persen diambil oleh negara melalui cukai, pajak daerah dan distribusi daerah, dan PPN. Perusahaan rokok hanya mendapatkan 30 persen.
“Paling diuntungkan dengan industri rokok siapa? Ya negara,” pungkas Adit.
Penulis: Purnawan Setyo Adi
Editor: Agung Purwandono