Bebek Goreng Pak Umar Plenteng Bantul bisa jadi jujugan kuliner di libur lebaran tahun ini di Yogyakarta. Meski jauh dari pusat kota, cita rasa yang ditawarkan membuat tak sia-sia datang ke tempat yang tak jauh dari Pantai Samas di selatan Bantul.
**
Salah satu kebiasaan saya yang jauh berkurang saat pandemi ini adalah motoran tanpa tujuan. Biasanya tanpa rencana alias spontan, melewati tempat dengan aneka pepohonan atau persawahan. Aturannya cuma satu, pastikan bahan bakar motor penuh, itu pasti aman.
Sore itu terlintas untuk menyusuri pinggiran Kali Progo dari arah Sedayu ke arah selatan tembus ke Jalan Brosot, kemudian menyebarangi jembatan Kali Progo, Srandakan. Cukup menggunakan panduan Google Maps, perjalanan diarahkan melewati Jalan Pandansimo yang mengarah ke pantai. Selanjutnya akan diarahkan melewati Jalan Samas – Kuwaru sebelum tembus ke Kretek Abang di Jalan Bantul – Samas.
Bebek Pak Umar Plenteng, berawal dari pulang kampung
Sampai di sini baru terpikir jelas finish dari perjalanan motoran sore itu. Bebek Pak Umar Plenteng atau ada juga yang menyebutkan Bebek Plenteng. Sejak buka di akhir tahun 90-an, bebek ini tetap bertahan dengan cita rasanya. Bumbunya tidak aneh-aneh, dagingnya empuk. Dulu saya menikmatinya kalau sedang ada liputan di selatan Bantul.
Awalnya, lokasi bebek goreng ini di sekitar Kretek Abang atau sebutan untuk jembatan merah di Jalan Samas, Sanden. Sekarang Bebek Pak Umar Plenteng sudah pindah lebih ke selatan. Kalau datang dari arah Kota Bantul, tinggal ikuti jalan raya ke arah selatan atau menuju pantai Samas. Sekitar dua kilometer sebelum pantai ada jalan masuk ke kiri atau timur. Sekitar 150 meter, lokasi warung Bebek Goreng Pak Umar Plenteng sudah nampak di rimbunnya pepohonan.
Selain Pantai Samas, lokasi warung makan Bebek Pak Umar Plenteng juga tak jauh dari destinasi wisata Goa Cemara. Rimbunnya pepohonan cemara yang tajuknya saling beradu sehingga menyerupai goa, cocok jadi tempat pengambilan foto.
Saya datang belum terlalu sore, sehingga suasana masih agak leluasa untuk ngobrol dengan Umaryadi (63) selaku pemilik warung. Pak Umar bercerita, di akhir tahun 90-an ia memutuskan untuk mengundurkan sebagai pesuruh di sebuah kampus perguruan tinggi swast di Jakata. Kebutuhan hidup yang semakin mahal membuatnya memutuskan untuk pulang kampung di Srigading, Bantul Yogyakarta.
Awalnya ia bertani bawang merah, seperti kebanyakan tetangganya di kawasan selatan Kabupaten Bantul, tak jauh dari pantai Samas. Namun, ia menyimpan keinginan membuka warung makan sederhana seperti yang ia lihat di Jakarta. “Di Jakarta saya amati warung penyetan atau pecel lele itu bisa hidup, saya sering makan di sana dan enak,” katanya saat menceritakan awal muda ketemu ide buka warung makan.
Dari beberapa pertimbangan, ia kemudian membuka kuliner bebek, menthok dan ayam goreng. Rupanya rezeki Pak Umar dan keluarga memang ada di warung ini. Setelah buka, warungnya terus kebanjiran pengunjung karena cita rasanya.
“Istri saya pintar masak, bumbunya dia yang buat. Bumbu sederhana sebenarnya mulai kunir, jahe, sereh, dan laos, nggak pakai penyedap,” kata Pak Umar.
Promosi dari mulut ke mulut
Meski jauh dari pusat kota, Bebek Goreng Pak Umar Plenteng tersohor bukan hanya orang-orang di seputaran Bantul saja. Di hari-hari libur sebelum pandemi, banyak orang dari luar kota yang berburu kuliner di tempat ini. “Langganan saya banyak dari luar kota, dari Jakarta, pokoknya dulu kalau musim liburan itu banyak,”kata Pak Umar.
Ketika era sosial media belum sekencang sekarang, Bebek Pak Umar Plenteng terbantu oleh promosi dari mulut ke mulut langganannya yang datang ke warungnya. Apalagi warungnya juga ditayangkan di beberapa stasiun televisi yang kemudian mengundang orang-orang dari luar kota berdatangan.
Saya yang datang sore hari di pertengahan April lalu menjumpi Endro (48) warga Purwomartani, Kalasan, Kabupaten Sleman yang datang bersama istrinya Nuri (40). “Saya sudah beberapakali datang makan di sini, karena memang rasanya enak jadi ingin berbuka di sini,” ujar Endro.
Pak Umar, tahu bagaimana mengolah bebek agar tidak bau dan dagingnya empuk. Setidaknya ada tiga menu pokok di tempat ini yaitu bebek goreng, menthok dan ayam kampung goreng. Ada juga menu yang harus dipesan sehari sebelumnya yaitu menu berbahan kalkun yang bisa dipesan dalam bentuk rica-rica atau digoreng.
Menurut Pak Umar, ia sempat membuka cabang di Kota Yogya dekat dengan Pasar Ketela, Karangkajen, namun ia tutup karena mempertimbangkan biaya operasional, terutama biaya sewa tempat.
Bertahan agar daput tetap ngebul
Sekarang di masa pandemi, setiap hari rata-rata ia menghabiskan 25 ekor bebak dan menthok dan ayam. Memang jauh dari sebelum masa pandemi. Namun, seberapun itu, tetap ia syukuri meski harus iyak-iyuk dengan operasional yang cukup tinggi. Terpenting dapur keluarga dan 8 karyawannya masih bisa ngebul.
Usahanya sempat mengalami guncangan saat terjadi gempa bumi yang melanda Yogyakarta. Pusat gempa yang ada di Bantul membuat tempat usahanya porak-poranda. Apalagi saat itu untuk membangun usahanya ia meminjam uang dari bank.
Namun, seiring waktu usahanya kembali berjaya. Usaha bebek gorengnya juga lebih dikenal. Bukan hanya hutangnya lunas, ia juga bisa membeli tanah untuk memperluas usaha. Bapak empat anak ini kini hanya berharap usahanya masih bisa berjalan dan menghidupi keluarga dan karyawannya.
Pak Umar juga tidak iri di sekitarnya kini sudah ada orang lain yang juga menjual menu bebek goreng seperti dirinya. Penjual yang dulunya belajar padanya itu kini juga selalu ramai pengunjung.
“Rezeki asal sedikit yang penting mengalir. Yang Maha Kuasa itu nggak akan keliru ngasih rezeki masing-masing,” kata Pak Umar mengakhiri.
BACA JUGA Seekor Anjing Bernama Jaki dan Homestay Omah Noto Plankton yang Dibayar dengan Keikhlasan dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.