Graeme Souness Harus Menyiapkan Meja yang Besar Ketika Mengkritik Paul Pogba

pogba, souness, premier league, champions league, piala dunia, serie a mojok.co

pogba, souness, premier league, champions league, piala dunia, serie a mojok.co

MOJOK.COKita seharusnya melihat Paul Pogba secara objektif, bukan hanya lewat apa yang media tampilkan. Graeme Souness harusnya tahu itu.

Semakin menua, kita punya tendensi untuk mengomentari orang yang lebih muda dari. Tak jarang kita melontarkan kesinisan kepada para pemuda. Semua karena mereka jauh berbeda dibanding kita. Tak heran jika muncul kalimat “ketidakpuasan senior itu mutlak”.

Tapi meski itu mutlak, ada batas yang harusnya tidak dilanggar. Lebih tepatnya, mengerem diri untuk tidak sering berkomentar. Graeme Souness harusnya sudah tahu hal ini. Tapi tentu saja, susah untuk tidak mengomentari Paul Pogba. Apalagi ketika media tidak melihat Pogba dari statistik dan potensinya di lapangan, tapi lebih ke gaya hidupnya.

Souness mengomentari bahwa yang dipedulikan oleh Pogba hanyalah “how cool he is” dan “how clever he is”. Singkatnya, Pogba peduli gaya, tidak dengan performa di lapangan. Tidak hanya sekali kita mendengar komentar seperti ini. Kapan sebenarnya kita mendengar kabar baik tentang Pogba dari media?

Pogba merespons kritikan dari Souness dengan elegan, menurut saya. Pogba berkata dia bahkan tidak tahu siapa itu Graeme Souness. Pogba tidak begitu peduli dengan apa yang pundit itu katakan. Dia fokus dengan permainan.

Souness mengomentari tanggapan Pogba dengan komentar yang kekanak-kanakan. Dia menyuruh Pogba untuk menunjukkan medali yang dia punya. Itu cara lama, “Put your medals on the table,” katanya. Dan justru itulah titik di mana Pogba bisa jemawa di depan Souness.

Paul Pogba tidak muncul ke permukaan secara tiba-tiba. Dia bukan one season wonder. Gelar yang dia punya adalah bukti. Souness hanya butuh mengetik nama Pogba di peramban, dan dia bisa melihat data yang ada.

Souness bisa melihat bahwa Pogba memenangi Serie A empat kali, Coppa Italia dua kali, Supercoppa Italiana dua kali, EFL Cup, Europa League, dan yang paling prestisius tentu saja Piala Dunia 2018.

Souness punya banyak gelar, kita tidak bisa mengabaikan itu. Tapi menantang pemuda berumur 27 tahun yang masih mempunyai waktu tujuh hingga delapan tahun lagi untuk beradu gelar adalah tindakan kekanak-kanakan. Dan tidak mungkin serangan ini akan menjadi bumerang bagi Souness.

Piala yang belum dimiliki Pogba adalah Liga Champion, Premier League, dan Euro Cup. Gelar ini tidak mustahil direngkuh mengingat Pogba masih berumur 27 tahun. Manchester United mungkin masih limbung, tapi jika mereka menemukan konsistensi, bukan tidak mungkin gelar Premier League diraih musim depan.

Euro juga bukan piala yang mustahil diraih. Generasi Pogba di timnas Prancis masih sangat kuat. Bahkan satu generasi di bawah Pogba disebut punya potensi lebih besar.

Liga Champions? Sampai saat ini, Pogba masih santer dikabarkan akan kembali ke Juventus. Selain Juventus, ada nama Real Madrid juga masuk dalam perbincangan. Dua klub ini tentu punya kualitas dan potensi untuk menjadi juara dengan Pogba di dalamnya.

Dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Graeme Souness, saya ingin berkata bahwa dia memilih lawan yang salah ketika menyerang Pogba.

Paul Pogba punya segalanya, dan orang-orang memilih untuk melihat warna rambutnya daripada pencapaiannya. Media lebih sering memperlihatkan bagaimana Pogba menghabiskan uangnya, bukan memperlihatkan peran pentingnya saat Prancis merengkuh Piala Dunia. Media memberitakan pengaruh buruk Pogba, bukan bagaimana dia memberi pengaruh positif ke permainan Manchester United.

Dan Graeme Souness pun tidak berbeda dengan media-media tersebut. Pantas saja jika Pogba berkata “I don’t even know who he was.”

BACA JUGA 11 Pemain yang Kariernya Terkubur di Real Madrid dan artikel menarik lainnya dari Rizky Prasetya.

 

Exit mobile version