Akhir Antiklimaks Drama Saracen

OTT-MOJOK.CO

MOJOK.COAkhir drama Saracen di pengadilan menghancurkan semua imajinasi kita tentang sebuah “pabrik hoax raksasa”.

Berbeda dengan kata klimaks, kata antiklimaks ternyata bisa ditemukan padanannya dalam berbagai bahasa daerah.

Di pertunjukan ketoprak Semarangan, antiklimaks disebut dengan kata majemuk mak kluthik. Di pertunjukan panggung di Surabaya, mereka menyebutnya nggléthék. Kalau di warung kopi Malangan, mereka menyebut dengan kata njekéthék. Sedangkan di warung angkringan dan panggung Srimulat Solo, mereka menyebutnya dengan kata taektaek dengan lafal e dipanjangkan tiga ketukan.

Arti kata klimaks untuk penggemar bola berarti final Liga Champion, untuk penggemar novel Enny Arrow dan Nick Carter berarti kepuasan orgasme seksual. Sedangkan kata antiklimaks tidak tepat untuk diartikan sebagai babak penyisihan Liga Eropa. Juga sulit dimaknai sebagai ejakulasi dini. Tetapi, kata antiklimaks biasa digunakan untuk ending drama yang mengejutkan pemirsa. Ending yang mengejutkan nan mengecewakan.

Kembali lagi ke bahasa daerah, untuk menunjukkan kekecewaan, di tempat saya biasa digunakan kata tiwas. Contohnya, “Tiwas aku ngoyo, jebul hasile mak kluthik.” Coba yang memahami artinya, tolong terjemahkan dalam bahasa Indonesia.

Contoh teraktual penggunaan kata antiklimaks adalah berakhirnya drama Saracen yang sempat menghebohkan jagat medsos beberapa waktu yang lalu.

Dimulai dari narasi-narasi puluhan ribu akun anonim sebagai anggotanya, ratusan juta hingga miliaran rupiah aliran duit dan penyandang dana, pabrik produsen hoax, skill mumpuni penjebol password Facebook, puluhan PC dan ratusan SIM card. Penonton drama membayangkan disuguhi kisah perpaduan kerja tim hacker lintas benua yang berkolaborasi dengan tim Cambridge Analytica. Big wow, kan? Penonton dibuat memiliki ekspektasi yang wow juga.

Lalu, tiba-tiba saja semua narasi itu menghilang dari pertimbangan vonis hakim. Dari poin-poin yang bombastis tiba-tiba menjadi klêwussss plêthês. Para penonton benar-benar dibuat kecewa berat dengan endingnya.

Setelah sebelumnya Asma Dewi dihukum penjara karena mengetik kata “edun”, sekarang sang dewa hacker Jasriadi diputus bersalah dan dihukum 10 bulan karena mengakses satu (kata “juta”-nya dicoret) akun atas nama Sri Rahayu. Opo gak nggléthék kalau seperti ini ending-nya?

Tiwas (apa sih padanannya dalam bahasa Indonesia?) bersukacita menang debat, tiwas berharap sumber hoax akan musnah, tiwas adu jari sepanjang hari habiskan kuota, tiwas pemerintah sudah dianggap mengekang kebebasan, tiwas pemerintah dianggap memata-matai medsos… ternyata oh ternyata….

Jika diibaratkan drama, ini adalah pihak-pihak yang terlibat di dalamnya beserta peran mereka.

1. Hakim. Sebagai pihak yang memutuskan bersalah tidaknya dan memberi hukuman terdakwa, majelis hakim ibarat superhero yang muncul di akhir kisah.

2. Jaksa. Sebagai penyusun dakwaan, jaksa diibaratkan sebagai penulis skenario. Jika ceritanya berakhir antiklimaks, bisa jadi skenarionya masih mentah dan jalan ceritanya kurang gereget. Tapi, kok ya berani-beraninya menayangkan?

3. Terdakwa. Di dalam kisah drama, terdakwa adalah tokoh antagonis, selalu menang di depan, pasti tersungkur di belakang kisah. Kalau di drama Indosiar, biasanya diakhiri dengan meminta maaf atau bisa jadi mati ngenes terkena azab.

4. Penasihat hukum. Bisa diibaratkan sebagai pemeran pembantu tokoh antagonis. Tidak terlihat menonjol, tapi sesungguhnya punya peran yang juga penting. Kalau di drama Indosiar, biasanya peran seperti ini cuma menyesal tertunduk malu di akhir kisah.

5. Polisi. Posisinya membingungkan di drama Saracen ini, apakah sebagai sutradara, produser, atau tokoh antagonis? Setiap penonton bisa membuat interpretasi sendiri mengenai kontribusi polisi di kisah ini.

Kalau saja ini adalah drama panggung, mungkin bertebaran sandal dan tomat dilemparkan. Jika saja ini drama Indosiar berjudul “Emakku Ternyata Bukan Emakku”, mungkin bisa dengan membuang channel Indosiar dari TV atau paling ekstrem, dengan membanting TV-nya.

Masalahnya, ini adalah drama panggung nyata di depan kita. Selain berdebat mencari kambing hitam, apa lagi yang bisa kita lakukan? Menuding hakimnya masuk angin, partisan, dan kurang inisiatif menggali informasi, misalnya. Atau jaksanya kurang cermat menyusun dakwaan dan kurang cekatan mencari bukti. Bisa jadi terdakwa memang penipu dan pembohong besar. Mungkin juga penasihat hukum yang culas menjual keselamatan negara. Atau polisinya yang… maaf, jangan lanjutkan kalau tak ingin ada kasus Asma Dewi season ke-2.

Penonton lain silakan lanjutkan debat mencari kambing hitamnya, saya sendiri saat ini hanya punya satu keinginan: Tolong ganti duit pulsa yang dulu saya pakai semingguan hanya untuk debat Saracen. Silakan hakim, jaksa, terdakwa, penasihat hukum, dan polisinya berlima urunan.

Eh, ada yang berbisik pada saya, “Mas, apakah ini yang disebut hoax membangun?”

“Bukan, Dik, ini cuma drama ludrukan kok.”

Exit mobile version