Jumat pekan lalu (9/8) esai berjudul “Jangan Munafik: Bukan Perkara Catcalling-nya, tapi Siapa Pelakunya” ditayangkan di platform user generated content Mojok.co/terminal. Esai itu mengundang protes dari khalayak karena mengandung pemakluman atas perilaku pelecehan seksual catcalling. Penulis memukul rata pengalamannya sendiri untuk menggeneralisasi bahwa semua perilaku catcalling adalah bentuk keakraban dari laki-laki yang harus dimaklumi oleh perempuan.
Dari protes khalayak, tim Redaksi Mojok.co mendapat wawasan bahwa esai tersebut alih-alih dapat membuka diskusi tentang batas-batas pelecehan seksual, justru bisa menularkan keyakinan bahwa catcalling bukan perilaku yang salah.
Dua hari sebelumnya, pada Rabu (7/8), esai lain yang tayang di Mojok.co berjudul “Panduan Memahami Gelagat Cewek Sange buat Para Cowok” turut mendapat protes dari khalayak karena memuat generalisasi dalam panduan memahami aktivitas seksual perempuan.
Redaksi Mojok.co menjunjung tinggi hak kebebasan menyatakan pendapat dan perspektif dengan harapan, ketika sebuah diskursus masih mengundang pro-kontra, adanya publikasi atas pendapat-pendapat berbeda akan membuka ruang dialog. Namun, dua artikel tersebut tidak lagi bisa diharapkan membawa ruang dialog tersebut dan sebaliknya, justru melukai hati khalayak, khususnya kaum perempuan dan pejuang kesetaraan gender.
Walaupun Mojok.co adalah platform yang memuat artikel dari kontributor, yang mana pendapatnya tak selalu mewakili konsensus redaksi, kami sudah memutuskan bahwa semua opini dan pendapat yang kami kurasi dan tayangkan adalah tanggung jawab kami. Atas semua efek kontraproduktif yang ditimbulkan dua esai tersebut, Redaksi Mojok.co meminta maaf kepada khalayak.
Mendahului permintaan maaf ini, esai “Jangan Munafik: Bukan Perkara Catcalling-nya, tapi Siapa Pelakunya” telah diturunkan per Minggu (11/8) dan esai “Panduan Memahami Gelagat Cewek Sange buat Para Cowok” diturunkan pagi ini (12/8) atas persetujuan masing-masing penulisnya. Kami juga minta maaf karena butuh waktu 2-5 hari untuk kedua esai itu akhirnya kami turunkan dari website.
Terima kasih atas semua tanggapan yang dilayangkan kepada kami di media sosial. Kesalahan ini menjadi pelajaran penting bagi kami agar lebih bijaksana di masa depan.
Salam hormat,
Redaksi Mojok.co
***
Mengapa Kami Menayangkan Artikel Bermasalah
Prima Sulistya, Pemimpin Redaksi Mojok.co
Yang jelas, bermasalah adalah hal terakhir yang saya inginkan terjadi.
Ini mengenai dua esai yang ditayangkan Mojok.co pekan lalu. Keduanya menuai protes keras, terutama esai di platform UGC Terminal Mojok berjudul “Jangan Munafik: Bukan Perkara Catcalling-nya, tapi Siapa Pelakunya”. Banyak sekali protes masuk lewat media sosial dan pesan pribadi.
Dua esai itu sudah diturunkan dengan alasan yang dijelaskan di rilis “Permintaan Maaf” di atas. Namun, saya sebagai pemimpin redaksi punya tanggung jawab etik dan redaksional untuk menjelaskan kenapa dua esai itu bisa sampai tayang.
Keduanya bukan bentuk kecolongan. Saya tahu dua naskah itu akan naik. Prinsip di Mojok, kami tidak hanya menaikkan esai yang isinya sesuai dengan prinsip kami pribadi per pribadi maupun sebagai konsensus di Mojok.
Sebagai contoh, beberapa tahun lalu artikel anti-LGBTQ pernah naik di Mojok dan mengundang protes pula. Kemudian, artikel balasan, termasuk respons dari rekan gay difasilitasi agar ada dua perspektif berlawanan tersaji.
Saya, sebagai salah seorang pengambil keputusan tertinggi di Mojok, merasa ruang diskusi adalah bagian fundamental demokrasi. Debat adalah jembatan dialog. Pikiran yang berbeda tak bisa diberangus dengan cara menutup jalur komunikasinya. Justru pikiran-pikiran berbeda harus diungkap agar prasangka bisa dikoreksi. Kebutuhan atas dialog merentang mulai dari isu agama, norma, ideologi, politik praktis, seksualitas, dan seterusnya.
Saya terkesan oleh satu pernyataan tokoh Kristen yang sangat menguasai kajian Islam, Bambang Noorsena. Dalam salah satu ceramahnya di YouTube ia bilang, selama ini usaha yang dilabeli “dialog antaragama” antara Kristen dan Islam sebenarnya hanya interaksi untuk mencoba saling kenal. Padahal, dialog antaragama harusnya memberi ruang untuk melempar pertanyaan, yang bisa saja sangat menusuk, dan memberi jawaban. Pendapat Bambang berlaku untuk wacana-wacana lain.
Dalam kasus esai di Terminal Mojok, penulis berpendapat catcalling kepada perempuan adalah ekspresi keakraban yang harusnya diterima oleh perempuan. Ia juga sangat sinis pada gagasan Feminisme yang ia sebut datang dari Barat. Alam pikiran penulis bukan sesuatu yang baru bagi saya—seorang perempuan, pernah dilecehkan saat kanak-kanak, berasal dari keluarga dengan kelas ekonomi menengah ke bawah, dan berkali-kali mengalami diskriminasi rasial. Awalnya kami berbaik sangka, bisa jadi belum pernah ada penjelasan yang asertif dan jernih datang kepada penulis sehingga gagasan itu masih menancap di kepalanya. Jika ada respons atas tulisannya, yang kemudian memang ada, itu akan bagus sekali.
Jadi, jika ditanya, apa sih agenda Mojok sebagai media, jawabannya adalah menyediakan ruang dialog. Kesalahan besar di kasus baru-baru ini, dialog dimulai lewat artikel yang argumennya buruk. Di sisi lain, terutama sejak gerakan #MeToo mendunia, perjuangan untuk keadilan gender sedang keras-kerasnya, sebagaimana tentangan kepada gerakan ini juga sangat gencar.
Ketidaksensitifan kami melukai hati banyak orang. Kami sangat menyesal atas ini. Namun, sebagai insitusi, kesalahan atas esai yang tayang di Mojok ada di pundak redaksi yang saya pimpin. Sikap penulis di laman pribadinya adalah tanggung jawabnya sendiri.
Kami sadar, berkaca dari kasus-kasus yang pernah menimpa kami sebelumnya, esai-esai personal di Mojok kerap dianggap sebagai suara Mojok, bukan lagi suara penulis. Ini tidak terjadi, misalnya, ketika opini Romo Franz Magnis-Suseno yang sangat sinis kepada gerakan golput di pilpres 2019 diposisikan sebagai produk dirinya pribadi, bukan sikap redaksi Harian Kompas.
Akibatnya, Mojok sangat mungkin dianggap sebagai media plin-plan karena dua hari sebelum esai yang pro-catcalling itu tayang, kami menayangkan artikel yang mengutuk aksi catcalling kepada laki-laki dan perempuan.
Esai lain yang bemasalah, “Panduan Memahami Gelagat Cewek Sange buat Para Cowok”, ditulis setelah sejumlah wawancara informal dilakukan kepada beberapa perempuan. Saya terlibat sebagai pewawancara di sana. Esai itu digagas berlatarkan ide bahwa masih ada ketakutan untuk mengeksplorasi seksualitas dengan alasan tabu. Pengumpulan informasi dilakukan lewat wawancara karena mengambil pengalaman orang sebagai sumber informasi jamak dilakukan di media.
Esai itu berperkara karena menuliskan bahwa aksi perempuan mengirim pornografi diri sebagai tindakan “barbar”. Kemudian, anjuran untuk tidak memercayakan foto pornografi diri kepada orang karena berpotensi menjadi alat balas dendam (revenge porn) ditangkap sebagai cara menyalahkan korban. Efek kontraproduktif itu tidak kami inginkan dan karena itu, mula-mula kami menghapus kata “barbar” tersebut, disusul kemudian penurunan esai tersebut.
Setelah masalah ini mengemuka, Mojok punya pekerjaan untuk mempelajari lebih dalam lagi konsep sexual consent dan bagaimana cara mendudukkan pengalaman dan stereotip dalam pengungkapan gagasan. Sebab, nyatanya, atribut saya sebagai perempuan dan proporsi perempuan yang mengisi 43% komposisi kru Mojok tidak menyelamatkan kami dari bias dan sikap tidak adil. Selama itu belum terjawab, sampai kami punya bayangan yang jelas dan definitif, kami akan menunda memberi ruang atas topik-topik tersebut. Saya juga urung menuliskan esai panjang tentang ini sebagaimana kemarin saya janjikan di media sosial pribadi saya. Setelah penjelasan ini dipublikasikan, tugas saya adalah belajar, bukan bicara.
Terakhir, satu-satunya hal yang ingin saya sangkal dari berbagai protes yang masuk ke Mojok adalah tuduhan kami sengaja menciptakan kontroversi untuk mengail kunjungan ke website sebanyak-banyaknya. Kunjungan tertinggi kami datang dari mesin pencarian, dan kata “catcalling” atau “perempuan sange” bukan kata kunci yang akan memberi sumbangsih.
Selama umur tayangnya, esai “Panduan Memahami Gelagat Cewek Sange buat Para Cowok” dibaca 28 ribu kali, sedangkan esai “Jangan Munafik: Bukan Perkara Catcalling-nya, tapi Siapa Pelakunya” dibaca 12,7 ribu kali. Angka ini sama sekali tidak besar untuk ukuran Mojok. Sebagai perbandingan, esai viral kami “Sidang MK Hari Ini Akhirnya Membuat Jokowi Menangis” dibaca 2,4 juta kali.
Terima kasih atas kritik keras dari khalayak dan rekan-rekan yang saya kenal pribadi. Kami akan bekerja keras untuk menjadi lebih baik di masa depan.