Sebab PNS Adalah Jaminan Kebahagiaan

Suatu sore yang syahdu, Romlah dan Karjo duduk bersantai di depan televisi menonton berita yang membahas mengenai seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sebuah pekerjaan primadona yang menjadi dambaan bagi banyak orang. Pekerjaan yang menjadi pengharapan hampir seluruh orangtua di Indonesia untuk anaknya. Ya, menjadi PNS adalah sebuah jaminan akan kebahagiaan dan pamor di masyarakat.

Maka ketika Pemerintah mengumumkan akan ada seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang gaungnya sampai pada setiap grup WA keluarga besar, dengan total lowongan lebih dari 17 ribu posisi, sontak membuat masyarakat Indonesia bersorak kegirangan.

Tidak bisa dielak, inilah yang dinanti. Inilah yang akan menyelamatkan hari tua nanti.

Jumlah lowongan tersebut nantinya akan tersebar di berbagai Kementerian atau Lembaga dan Pemerintah Provinsi.

“Mas, kamu kan sudah lama jadi tenaga honorer, berarti harusnya nggak lama lagi bakalan diangkat jadi PNS dong?”

“Emm, ya enggak juga, Dek!”

“Lah, kok bisa? Bukannya biasanya kalau tenaga honorer gitu, kalau pas ada bukaan CPNS, bisa langsung diangkat ya, Mas?”

“Sekarang udah beda aturannya, Dek.”

“Beda gimana, Mas?”

“Iya, jadi setelah Undang-Undang ASN (Aparatur Sipil Negara) ditetapkan, proses pengangkatannya itu harus melalui seleksi. Udah nggak bisa itu, diangkat secara otomatis. Lagian, katanya sekarang Pemerintah lebih membutuhkan tenaga khusus dibandingkan tenaga umum. Dan katanya lagi, banyak tenaga honorer yang tidak memenuhi persyaratan, misalnya seperti umur yang udah di atas 35 tahun.”

“Tapi kan kamu belum 35 tahun toh, Mas? Berarti bukannya nggak ada masalah?”

“Iya, tapi aku kan juga cuma lulusan SMA, Dek”

“Emang kalau lulusan SMA nggak bisa, Mas?”

“Ya, bisa sih, tapi…”

“Tapi gimana, Mas?”

“Posisi pekerjaanku sekarang kan ngurus administrasi, nah di bagian pekerjaanku itu sekarang yang dibutuhkan minimal lulusan D3, sudah bukan SMA lagi.”

“Terus kalau yang lulusan SMA itu bisanya di bagian apa, Mas?”

“Sik, ayo kita buka website nya aja.” Ucap Karjo sambil membuka hapenya nya.

“Ini Dek, misalnya jadi pengamat gunung api. Ehm, apa aku daftar ini aja ya, Dek? Dulu kan aku punya pengalaman jadi relawan waktu Gunung Merapi meletus.”

“Ya, tapi kan kamu jadi relawan setelah merapi meletus, Mas. Bukan sebelumnya. Berarti kamu ya belum pernah jadi pengamat gunung berapi.”

“Ehm, oh atau ini aja, aku daftar jadi pengawas tahanan. Sepertinya ini menarik juga.”

“Halah, sok-sokan mau jadi pengawas tahanan, wong lihat preman tatoan dikit saja sudah jiper, kok. Malah aku nanti yang repot.”

“Repot gimana, Dek?” Karjo penasaran.

“lha yo repot nyiapin pampers, biar kamu di sana nggak kencing sembarangan karena ketakutan dibentak narapidana yang tatonya pasti sekujur badan”.

Karjo tertawa agak jengkel, “lambemu, Lah.”

“Nah ini aja, Mas. Gimana kalau kamu jadi mualim kapal? Kayaknya lebih aman dan syariah. Pasti akan membawa berkah bagi keluarga kita.”

“Emang kamu tahu mualim kapal itu kerjanya apa?”

“Yang jadi imam kalau di kapal itu bukan, Mas?

“Iya po? Aku juga nggak tahu, Dek. Ah, wes embuhlah Dek, bingung”.

“Lah terus, kamu rencananya gimana, Mas? Untuk kelangsungan kehidupan kita?”

“Ehm, kalau aku tetep jadi honorer sama nulis-nulis di Mojok aja gimana, Dek? Lagian katanya Mojok juga lagi buka lowongan magang? Kayaknya lumayan…”

“Jangan di Mojok, Mas. Mojok kere, pasti nggak ada duitnya.”

Exit mobile version