Membayangkan Finlandia vs Rusia menjadi Panggung Perlawanan terhadap Kapitalis UEFA

Membayangkan Finlandia vs Rusia menjadi Panggung Perlawanan terhadap Kapitalis UEFA MOJOK.CO

Membayangkan Finlandia vs Rusia menjadi Panggung Perlawanan terhadap Kapitalis UEFA MOJOK.CO

MOJOK.COEuro 2020 Grup B | Finlandia vs Rusia | Apakah skuat Finlandia masih diaungi “keberuntungan” ketika melawan Rusia di match 2 Grup B?

Iqbal AR: “Keberuntungan dan api semangat perlu dipertahankan.”

Finlandia memulai gelaran Euro 2020 dengan cukup cemerlang. Menghadapi sesama negara Nordik, Denmark, Finlandia berhasil mencuri kemenangan dengan skor tipis 0-1 berkat gol “bersejarah” penyerang Joel Pohjanpalo. Kemenangan ini sudah pasti membuat langkah Finlandia di Euro 2020 sedikit lebih cerah.

Ada hal yang tidak bisa dilepaskan dari laga kemarin. Iya, keberuntungan. Pada laga melawan Denmark, Finlandia jelas beruntung, sebab Denmark harus rela kehilangan Christian Eriksen di akhir babak pertama. Insiden yang nyaris merenggut nyawa Eriksen ini membuat Denmark terpukul, yang mana situasi ini mampu “dimanfaatkan” Finlandia dengan sangat maksimal. Menang atas tim yang tiba-tiba kacau di tengah laga itu apa namanya kalau tidak beruntung?

Selain keberuntungan, semangat bertahan anak-anak Finlandia ini juga jadi aspek penting. Skema pertahanan yang rapat cukup berhasil menghalang gempuran meriam Denmark. Namun, bintangnya tentu saja sang kiper, Lukáš Hrádecký yang berhasil menghalau penalti dari Pierre-Emile Højbjerg. Dalam menjaga gawang Finlandia, Hrádecký sudah seperti Darsam pada Nyai Ontosoroh, siap melakukan apa pun demi keselamatan tuannya.

Keberuntungan dan semangat membara inilah yang akan coba dipertahankan Finlandia ketika melawan Rusia. Finlandia jelas di atas angin, mengingat Rusia dalam pertandingan pertama dilumat tanpa sisa dan dibuat malu oleh Belgia. Ini menjadikan Rusia terpuruk di dasar klasemen Grup B.

Di sepak bola, Rusia adalah negara yang tanggung dan tidak jelas posisinya. Dibilang besar juga tidak, dibilang cupu juga nyaris. Angin-anginan pula. Beda dengan Finlandia, yang sudah jelas posisinya, yaitu negara debutan dan medioker.

Prestasi terbaik Rusia hanya sebagai semifinalis Euro 2008. Juara Eropa, sih, pernah, tapi kan waktu itu namanya masih Uni Soviet (1960). Sejarah seperti itu tentu tidak berpengaruh bagi Finlandia sebagai lawan. Finlandia juga mana peduli. Asal ada musuh di depan, hajar!

Jadi, Rusia harap berhati-hati dengan Finlandia. Harap berhati-hati dengan teror Pukki dan Pohjanpalo. Di tengah, siap-siap disikat oleh Glen Kamara dan Tim Sparv. Juga jangan berharap akan mudah membobol gawang Hrádecký.

Aditia Purnomo: “Solidaritas Rusia-Finlandia melawan kapitalis UEFA.

Seandainya pertandingan ini digelar dalam konteks sosialisme, bisa jadi Rusia bakal kalah. Meski telah memerdekakan diri dari negara moyangnya, cita rasa sosialis dari Finlandia ini tidak pernah hilang. Karena memang Finlandia, si negara kesejahteraan sosial ini dikenal dunia karena dua hal: lebih sosialis dari mbahnya komunis, dan ya karena (maaf) si Pukki itu.

Jika berbincang soal Finlandia, kita pasti akan membahas soal bagaimana pemerintahnya menyediakan jaminan sosial yang penuh pada warga negara. Bicara soal pendidikan yang menjadikannya sebagai terbaik di dunia. Kalau soal sepak bola, ya mentok kita cuma bisa ngomongin, aduh maaf, Pukki aja.

Dalam urusan sepak bola, Rusia jelas lebih mentereng. Minimal, ketimbang Finlandia yang punya legenda bernama, maaf, Pukki, Rusia masih punya lebih banyak nama. Misalnya, Lev Yashin atau Andrey Arshavin. Apalagi rekor pertemuan mereka juga diwarnai kemenangan sempurna tim beruang merah.

Sejarah kelam perang di antara keduanya juga sebaiknya dilupakan saja. Ndak usah mengingatkan cerita perang musim dingin antara mereka berdua. Yang namanya sosialis itu harusnya bersatu melawan kapitalisme global. Mau di lapangan sepak bola atau pun luar lapangan, Rusia-Finlandia harusnya bersatu mengusung panji sosialisme.

Apalagi dengan peristiwa yang menimpa Christian Eriksen, seluruh pemain dari kedua negara harusnya paham kalau mereka itu cuma diperbudak oleh kapitalisme UEFA. Baru juga selesai bertanding untuk tim yang menggaji, eh sudah diharuskan bertanding melawan negara lain. Pemain bola juga manusia, kalau capek perlu istirahat bukannya disuruh main lagi.

Kalau ini ada di zaman 1940an, sudah pasti Rusia siap membawa tentara merahnya ke Zurich dan mengkudeta Aleksander Ceferin. Untungnya ini tahun 2021, selain udah ngga zaman mengerahkan tentara melawan sipil (cuma Indonesia sama Amerika aja yang masih doyan), sekarang juga masih pandemi. Rombongan tentara bakal dianggap sebagai keramaian, nanti bisa nularin virus corona.

Saya membayangkan pertandingan nanti bakal menjadi ajang Rusia-Finlandia melakukan mogok bermain. Apalagi, setelah kejadian Eriksen, UEFA masih saja memaksa skuad Denmark untuk bermain. Gila, habis mengalami insiden mengerikan masih juga dipaksa bekerja. Pantas saja Simon Kjær marah besar.

Jadi, mari bersama Rusia-Finlandia menjadikan pertandingan itu sebagai ajang perlawanan terhadap kapitalisme UEFA. Sebagaimana Cristiano Ronaldo yang melawan kapitalisme Coca Cola, sudah saatnya lembaga korup yang memaksa pemain melulu bertanding ini juga dilawan. Minimal, dengan cara menonton pertandingan dari link ilegal yang beredar di twitter.

BACA JUGA Skuat Meyakinkan Portugal di Euro 2020 dan Hungaria Seperti Kemangi di Ayam Penyet dan ulasan Euro 2020 lainnya.

Exit mobile version