MOJOK.CO – BUMN farmasi Kimia Farma kini ngadain vaksin berbayar untuk individu. Membingungkan? Nggak, logika pemerintah makin jelas.
Pernah nggak merasa capek ngomong karena lawan bicaramu selalu nggak nyambung? Kudunya sebagian besar warga Indonesia ngerasain hal itu soal vaksin Covid-19 ini.
Bayangin. Desember tahun lalu, orang udah ribut karena pemerintah berencana membagi vaksin Covid-19 jadi dua jenis. Vaksin mandiri, yang artinya kita kudu beli. Lalu vaksin gratis, yang ditujukan buat orang nggak mampu. Ide ini didukung buzzer dan ditentang warga. Alasan penentang, kenapa kewajiban negara harus kita bayar. Alasan buzzer, biar mempercepat proses vaksinasi. Mungkin maksudnya biar swasta ikut bantu.
Ribut beberapa hari itu kemudian reda. Presiden Jokowi di Desember itu pula mengumumkan, vaksin Covid-19 gratis untuk semua warga Indonesia.
Tapi kemudian muncul vaksin Gotong Royong yang esensinya sama aja dengan ide pembagian dua jenis vaksin tadi. Vaksin Gotong Royong ini akan dijual (sori, bahasanya, “disalurkan”) ke perusahaan yang mau lebih dulu memvaksin karyawannya, biar roda usaha muter kembali, tidak terhambat karyawan yang sakit Covid-19 dan jadi nggak bisa kerja.
Vaksin Gotong Royong ini tidak bisa dibeli personal. Harus perusahaan yang beli dan bayar, kemudian mereka yang berikan ke karyawan.
Penentangan datang, tapi vaksin Gotong Royong jalan terus. Mulainya Mei kemarin. Dan Sabtu kemarin kita dapat info baru, Kimia Farma akan jual vaksin Gotong Royong untuk individu. Jadi bila sebelumnya vaksin Gotong Royong cuma bisa dibeli perusahaan, dalam waktu dekat kamu sendiri bisa menyalakan Supra X-mu pada suatu siang dan mendatangi klinik di apotek Kimia Farma terdekat buat minta diencusin vaksin Sinopharm. Harganya maksimal Rp450 ribu sekali suntik atau Rp900 ribu untuk dua dosis.
Ya kalau perusahaan beli vaksin aja masyarakat banyak yang nggak setuju, apalagi perorangan ikut dikasih opsi serupa. LBH dan lembaga relawan Covid-19 sudah bikin protes resmi soal kebijakan aneh ini.
Sebelum jelasin kenapa ini kebijakan aneh, kamu perlu tahu bahwa adanya vaksin Gotong Royong tidak menghapuskan vaksin gratis. Lalu, klinik Kimia Farma yang direncakanan membuka pelayanan ini, sebagai awalan tersebar di enam kota, yakni Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Surabaya, dan Bali.
Kamu juga perlu tahu, hak mengimpor, memproduksi, dan mendistribusikan vaksin ada di tangan BUMN farmasi, yakni Bio Farma dan Kimia Farma. Hak ini sifatnya monopoli, artinya perusahaan lain apalagi swasta nggak bisa ikutan.
Kata Kemenkes dan Kimia Farma, inisiatif vaksin Gotong Royong buat perusahaan dan perorangan tujuannya untuk mempercepat program vaksinasi nasional.
Aneh kan? Atau kamu belum merasakan keanehannya? Coba deh kita petakan logikanya pemerintah.
Masalah: vaksin perlu segera didistribusikan untuk menyelesaikan program vaksinasi nasional. Tapi nakes terbatas, stok vaksin yang udah ready juga, plus ada masyarakat yang anti-vaksin.
Solusi: bikin program vaksinasi berbayar.
Kalau dibuat tabel, langsung ketahuan betapa nggak nyambungnya solusi yang dihadirkan.
Siapa pun yang punya dugaan pemerintah sedang membisniskan pandemi, mereka tak bisa disalahkan. Informasi yang muncul menyiratkan hal itu. Kalau nakes terbatas, kok swasta bisa melaksanakan vaksinasi Gotong Royong, misalnya? Pertanyaan yang sama juga untuk stok vaksin yang katanya emang nggak memungkinkan vaksinasi gratis dikebut sengebut-ngebutnya.
Solusi ini cuma bikin masyarakat anti-vaksin tepuk tangan.
Sekilas, logika pemerintah kayak susah banget dipahami. Dimintanya apa, ngasihnya apa. Tapi bisa juga dibilang, logika pemerintah justru jadi sangat jelas di sini. Negara dikelola kayak ngatur perusahaan yang setengah hati melulu untuk memenuhi hak karyawannya.
Sensasi ngobrol sama pemerintah ini kayak ngobrol sama orang nggak nyambung. Dan perkara orang nggak nyambung ini, saya jadi ingat seorang teman.
Dulu, teman saya ini hobi banget trolling di internet. Suka banget gabung ke debat di media sosial, cuma untuk bikin kesal pihak-pihak yang berdebat dengan stok argumen sesat logikanya. Misal si A mengatakan satu hal, dia bakal membantah tuh, tapi bantahannya nggak ada isi, cuma cemooh kalau orang itu ngambek lah, goblok lah.
Ya tentu si A jadi kesal banget. Dikejar teruslah, sambil maki-maki. “Lu bilang elu nggak setuju, tapi alesan lu apa, goblok?” Teman saya ini tetap nggak menjawab, cuma terus-menerus membalas dengan makian lain.
Si teman ini nggak goblok. Dia justru pintar banget. Katanya kepada saya, dia emang sengaja bikin si A emosi biar lupa sama debat aslinya. Saking emosinya, si A bisa lho ngambek berhenti ngomong. Kata teman saya, ini cara yang efektif banget buat (1) bikin orang pintar kelihatan goblok dan (2) membungkam orang.
Contoh terbaru, teknik serupa saya curigai sedang dipraktikkan dosen Universitas Paramadina yang sedang terbelit masalah serius: membajak tulisan orang. Kamu bisa baca kasus ngeselin itu di sini dan di sini.
Apa sih istilah untuk menyebut orang kayak gini? Ngeyel, bebal? Rasanya kurang keras. Yang pasti, saya merasa itulah yang sedang dipraktikkan pemerintah. Bayangkan, ketika data Kemenkes tunjukkan bahwa provinsi-provinsi dengan angka vaksinasi terendah ada di luar Jawa-Bali, Kimia Farma malah jualan vaksin Covid-19 di… Jawa-Bali.
Katanya, penting bagi kita saat ini menjaga imunitas agar tetap sehat. Salah satu caranya dengan tidak stres. Tapi justru yang bikin stres adalah pihak yang mengimbau untuk tidak stres. Sejak pertengahan Juni hingga hari ini, media sosial seperti visualisasi kiamat. Kita stres melihat orang-orang melolong minta tolong. Kehabisan oksigen, tak dapat ambulans, dipersekusi tetangga, butuh plasma kovalensen, rumah sakit penuh, usaha mandek, nggak punya duit.
Yang pemerintah lakukan? Bikin kebijakan aneh, jualan vaksin, dan terutama yang paling lucu: nyuruh kita jadi relawan penanganan Covid-19, padahal hal itulah yang sudah orang-orang lakukan sejak awal pandemi, tanpa disuruh.
Atas semua situasi ini, status teman saya di Facebook April 2020 lalu nggak bisa lebih benar lagi. Dia nulis gini:
“Jangan tanyakan apa yang negara berikan padamu. Tanyakan, ini negara apa bukan sih?”
BACA JUGA Cara Terjitu Memprediksi Kondisi Negara: Dengarkan Apa yang Dikatakan Jokowi, Lalu Lihat Sebaliknya dan artikel POJOKAN lainnya.