Orang yang tahu sedikit maupun banyak soal bahasa sudah capek berkaok-kaok bahwa di + sewakan ditulis menyambung dan di + sini dicantumkan terpisah. Namun, di tahun 2017 Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita masih saja menulis ditempat. Alhasil, di bulan Oktober yang merupakan Bulan Bahasa ini, saya rasa kebijaksanaan yang bisa dihayati ialah bahwa tidak ada pekerjaan yang lebih sia-sia daripada menyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia dan pedoman ejaan bahasa Indonesia.
Baiklah, kalian mungkin tidak peduli sebuah koma salah letak atau masa bodoh bahwa dikontrakkan mengandung dua k karena pembentuknya adalah kata kontrak yang diimbuhi di- dan –kan, tapi saya peduli.
Bahasa tulis itu lebih merepotkan daripada bahasa lisan karena tidak mencakup intonasi pengucapan dan, kadang, konteks situasi. Kalau menulis sampai lepas kontol, eh kontrol, sehingga salah tulis atau salah tanda baca sehingga penekanan kata jadi nggak sesuai dengan yang dimaksudkan semula, kan berabe, Bung. Paling sederhana sih cuma dikoreksi di depan umum atau diejek, menjadi parah kalau sampai mengubah makna. Sebagai penulis pemula dan editor amatir, mau tidak mau saya peduli.
Kisah salah tulis alias typo paling fenomenal yang pernah saya baca adalah tulisan Remy Sylado tentang typo dalam penulisan “Tuan Yesus” menjadi “Tuhan Yesus”. Edan euy, ada h menyempil saja sudah bisa mengubah tafsir.
(Dalam satu diskusi dengan teman yang belajar Sanskerta, tuan yang kita maksud sekarang dulu masih disebut tuhan. Ini soal fonem h yang dikikis dari kata-kata Indonesia hari ini, sebagaimana pada baharu yang menjadi baru, silahkan menjadi silakan, hadang menjadi adang, dst. Diskusi soal ini lain kali sajalah ya.)
Berhubung banyak penulis abai dengan aturan bahasa Indonesia, yang saya alami, teknis mengedit tulisan yang akan tayang di Mojok jadi lebih banyak berkutat di wilayah memperbaiki salah ketik. Mengedit jadi kerjaan dua kali: pertama, menyelesaikan problem typo; kedua, mengamati substansi.
Tiap naskah yang masuk ke Mojok minimal mengandung lima typo. Minimal. Kadang salah ketiknya masih manusiawi; jenis kesalahan yang saya masih bisa nebaklah. Semisal mengetik negara jadi Negara, ha itu pasti kelakuannya MS Word yang selalu, selalu saja otomatis mengapitalkan n pada negara, entah apa alasannya. Atau salah ketik halus menjadi halud, ah ini bisa diduga karena jarinya kepeleset satu tuts di keyboard laptop.
Di naskah-naskah tertentu—yang kalau saya lagi sial, kontennya bagus sehingga tidak bisa saya abaikan—saya bertemu penulis ugal-ugalan yang menabrak apa saja. Kapital di awal kalimat, koma, tanda seru, tanda tanya, spasi, huruf miring, tanda petik, ditabrak semua. Membaca tulisan seperti ini rasanya seperti habis ditabrak betulan: sakit jari kami, Bang.
Cuma, ada permakluman dari editor ketika bertemu kesembronoan macam itu. Tugas editor ya memang memberi tahu bahwa yang begini salah, yang begitu benar; bukan menyumpah-serapahi orang yang bisa jadi memang tidak tahu menulis yang tidak bikin sakit mata itu macam apa. Terlebih, selain ada orang yang memang tidak tahu, ada pula yang sengaja tidak patuh pada aturan baku yang dibuat Badan Bahasa sebagai bentuk perlawanan.
Argumen perlawanannya berkisar pada (1) Badan Bahasa kerap didapati tidak konsisten dengan aturannya sendiri, (2) aturan Badan Bahasa kadang tidak masuk akal, (3) Badan Bahasa masih sangat Orbais dan bias, dan (4) aturan bahasa saat ini adalah kelanjutan dari proyek politik yang lebih besar untuk membuat orang Indonesia tidak mampu membaca teks-teks pra-Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Soal ini juga jatah diskusi di lain hari.
Akan tetapi, bagi saya belum pengin melawan aturan bahasa saat ini, dibanding menyaksikan naskah-naskah amburadul yang masuk ke Mojok, yang lebih menyakitkan dan bikin pesimis justru ketika melihat pejabat negara atau lembaga negara sendiri tidak patuh pada aturan mereka.
Cobalah kawan lihat akun Twitter Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kementerian yang mengatasi Badan Bahasa itu, serta situs web resmi Badan Bahasa sendiri. Alamakjang, menangis kami dibuatnya. Perih hati dan mata menyaksikan tweet-tweet semacam ini.
1. “Tiga Karakter Orang Ciptakan Anak Pesimis.” Aih, Kak, pesimis itu orangnya, sifatnya itu pesimistis.
2. “Bagi peserta seleksi #CPNSKemendikbud ,mohon terus memantau informasi di https://cpns.kemdikbud.go.id/ karena ada beberapa perubahan jadwal SKD.” Komanya itu, tolong-tolong, lah.
3. “Selamat pagi #SahabatDikbud, minum air putih saat bangun pagi, selain menyehatkan dpt membuat tubuh terasa lebih segar. Yuk minum air putih!” Min, setelah ucapan yang diikuti sapaan itu di antaranya dikasih koma dulu. Kayak, “Selamat pagi, Sahabat!” atau “Halo, Bu!”
4. “Bapak/Ibu anak sedang gemar bereksplorasi, karena bereksplorasi memberinya kesempatan untuk banyak belajar tentang dunia sekitar.” Saya menyerah, nggak tahu maksudnya apa.
5. “#SahabatDikbud adakah diantara kalian yang dapat memainkan wayang?” DIANTARA???
Ratapan batin itu masih berlanjut ketika masuk ke situs web Badan Bahasa.
Sudahlah, contohnya cukup satu itu saking banyaknya yang saya temukan di situs web. Habis nanti umur saya mencermati kementerian yang ditulis menjadi kementrian, mengelakkan yang ditulis mengelakan, apa pun ditulis apapun, dst. Tidak dibayar pula.
Jadi, bisa bayangkan kan betapa sia-sianya pekerjaan Badan Bahasa yang setengah mati menyusun dan terus merevisi saban sepuluh tahun Kamus Besar Bahasa Indonesia, menyosialisasikan Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia, dan memperbarui situs web KBBI yang sekarang jadi bagus, lha wong admin Twitter dan penulis berita di lingkungan lembaganya sendiri abai kok.