Yang Tak Boleh Kalah Tebal dari Skripsi 1.150 Halaman

MOJOK.CO Skripsi 1.150 halaman belum ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan tiga hal paling penting di dunia ini yang harusnya jauuuuh lebih tebal.

Menulis skripsi jelas bukan bagian paling menyenangkan dalam hidup saya. Bukan apa-apa, tapi saya akhirnya paham betul kenapa ia menjadi “momok” dalam kehidupan perkuliahan: rasa malas yang mendadak muncul, kebingungan soal metode penelitian, dan—yang paling esensial—kegiatan menunggu dosen pembimbing yang menyebalkan.

Ditambah lagi, ketakutan saya kala itu didorong oleh sesuatu yang saya lihat di perpustakaan kampus selagi saya memang selalu ngetem di sana setiap hari: sebuah skripsi yang tebalnya amit-amit jabang bayi—tebal banget!

Saya lupa judulnya apa, penulisnya siapa, dan dari jurusan mana ia berasal. Yang jelas, berita yang belakangan ini muncul soal skripsi 1.150 halaman milik Lisa Stefanny (Universitas Surabaya) sontak mengembalikan trauma kenangan tadi.

Iya, Pemirsa, skripsi ini tebalnya 1.150 halaman!!! Seribu-seratus-lima-puluh halaman!!! Berkali-kali lipat dari skripsi saya yang cuma 298 halaman dan skripsi mantan saya kala itu yang cuma 140 halaman!!!

Skripsi berjudul Studi Eksploratori Artist Brand Building Makeup Artist, Fashion Designer, dan Photographer ini konon hanya diselesaikan dalam waktu 1,5 bulan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Ini, lagi-lagi, membuat saya ternganga-nganga, mengenang saya perlu waktu 7 bulan udah kayak ibu hamil mau ngadain selametan bergulat dengan metode kualitatif sekaligus kuantitatif hanya untuk menghasilkan kurang dari 300 halaman skripsi.

Eh, tapi tenang, tenang. Tulisan ini tidak diproduksi untuk menakut-nakuti kamu yang sedang jadi bukrip alias budak skripsi, kok. Saya toh nggak ingin orang lain mengalami trauma sebagaimana yang saya alami hanya karena ketakutan melihat skripsi tebal di perpustakaan.

Lagi pula, dari lubuk hati yang paling dalam, saya rasa ada hal-hal yang jauuuuh lebih penting untuk didesain lebih tebal, jauh lebih tebal daripada skripsi 1.150 halaman. Penasaraaaan?

Sama, saya juga.

*JENG JENG JENG*

Pertama,  yang saya rasa harusnya lebih tebal daripada skripsi 1.150 halaman tentu saja adalah….

kepercayaan diri masing-masing dari kita.

Wow, wow, wow, sebuah poin menarik yang cukup bijaksana, bukan? Ya, tentu saja; Mojok gitu, loh~

Dengan kepercayaan diri yang tinggi dan tebal, seseorang akan jauh lebih memahami nilai-nilai yang dimiliki oleh dirinya sendiri. Selagi kamu menganggap bahasan ini bakal jadi terlalu kaku dan klise, kayaknya mending kita langsung pindah ke poin selanjutnya aja, ya, soalnya saya sendiri merasa nggak punya kapasitas ngomongin kepercayaan diri karena masih suka minder.

Tapi ingat: ini bukan lelucon. Kepercayaan diri kita (hah, kita???) memang sepatutnya dipertebal agar tidak gampang goyah hanya karena bertemu dengan saingan yang tampak lebih unggul, padahal yaaaah siapa tahu kita memang kalah nggak kalah hebat.

Kedua, daripada sibuk mikirin skripsi 1.150 halaman dan merasa terintimidasi, kenapa tidak mempertebal iman dan keyakinan keberanian, Saudara-saudaraku???

Maksud saya, hidup itu jauh lebih luas daripada gedung kuliahmu. Hidup itu jauh lebih menyebalkan daripada sekadar balasan dosen pembimbing yang nggak jelas. Hidup juga jauh lebih rumit daripada sekadar tinjauan pustaka dan metode penelitian di skripsi.

Hidup itu jauh lebih “jahat” kalau dibandingkan dengan skripsi, meskipun—yaaah harus kita akui—skripsi juga menjadi salah satu bentuk “kejahatan” hidup. Hehehe.

Nah, kalau kita hanya fokus pada tebalnya skripsi dan langsung merasa sedih dengan halaman skripsi yang cuma 200-an (ingat, mantan saya aja tebal skripsinya 140 halaman dan tetap lulus dengan aman dan jaya, kok), selamanya kita tentu bakal stuck di bab pertama.

Padahal, di luar sana, ada hal-hal yang lebih menguras emosi: harga kosan yang naik setiap tahun, tiket Avengers: Endgame yang langsung sold out begitu penjualannya dimulai, asmara yang berantakan, gagal lamaran, karier yang tidak berkembang, dan lain-lain—kamu boleh menambahkan sendiri daftarmu di sini. Nah, mau gimana kamu menghadapi ini semua kalau nggak punya keberanian dari dirimu sendiri? Hmm???

Jadi, sampai di sini, paham, kan, Maemunah? Bambang? Suratmi? Supardi?

Ketiga, seperti Yin dan Yang, ada hal-hal di dunia ini yang memang saling berlawanan, tapi justru membangun keseimbangan dalam hidup. Kalau ada yang baik, pasti ada yang buruk. Ada Saras 008, tentu ada Mr. Black. Ada Detektif Conan, eh ada kasus pembunuhan juga.

Ada kebahagiaan, ada pula kesedihan.

Air mata bukan hal yang tabu, Sayangku. Begitu pula dengan hal-hal mengerikan lainnya. Saya mungkin menyarankan kamu untuk lebih percaya diri dan berani, tapi merasa sedikit minder dan takut juga tetap membuatmu menjadi manusia.

Kamu boleh menepi sebentar untuk beristirahat, mungkin berkontemplasi atau bahkan menangis. Kalau sudah begitu, hal yang saya sarankan untuk lebih tebal daripada skripsi 1.150 halaman, tentu saja—tak lain dan tak bukan—adalah…

…tisu!!!!1!!!1!!!

Iya, mylov, mari mengusap air mata bersama-sama pakai tisu sebelum akhirnya kembali berdiri tegak dan sekuat karang~

Exit mobile version