MOJOK.CO – Sudah jelas bahwa mahasiswa yang dikepung di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya adalah korban. Tapi masih saja ada narasi kalau mereka adalah pelaku. Hadeh.
Usai pengepungan Asrama Mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, oleh ormas dan aparat, situasi memang memanas. Terpancing dengan ujaran-ujaran rasial yang menyasar ke mahasiswa-mahasiswa dari Papua di Surabaya, masyarakat Papua di beberapa daerah pun menggelar aksi.
Pada Senin (19/8) misalnya, unjuk rasa di Manokwari, Papua sempat berakhir rusuh. Ini belum dengan kerusuhan berantai yang kemudian juga terjadi di Malang, Ternate, Ambon, Bandung, Maluku. Praktis hanya di Yogyakarta dan Jakarta saja unjuk rasa berlangsung aman tanpa berakhir kericuhan.
Melihat hal ini beberapa pejabat negara sempat menyampaikan permintaan maafnya. Masalahnya, ketimbang menetralisir ada saja pihak-pihak yang malah membelokkan ini ke persoalan soal penghinaan bendera merah putih. Hal yang sebenarnya tidak terbukti dilakukan oleh mahasiswa Papua di Surabaya.
Beberapa poin absurd itu bisa kita baca beberapa di antaranya.
1. Kominfo malah sebar info menyesatkan
Kementerian Komunikasi dan Informasi tanpa diduga malah menyiram bensin ke situasi yang lagi panas-panasnya. Bukannya meneduhkan suasana, kementerian ini justru menciptakan situasi yang provokatif.
Disinformasi ini dilakukan ketika merilis artikel untuk menangkal “hoaks”. Kominfo menggunakan judul: “[HOAKS] Polres Surabaya Menculik Dua Orang Pengantar Makanan untuk Mahasiswa Papua.”
Padahal tidak ada aktivitas culik-menculik saat itu. Diketahui kemudian, Kominfo memakai potongan gambar kicauan akun Veronica Koman. Padahal akun Veronica Koman sama sekali tidak menyebut “penculikan” melainkan “penangkapan”.
Uniknya, Kominfo juga menautkan berita yang berjudul “Polisi Bantah Menculik Dua Orang Pengantar Makanan untuk Mahasiswa Papua” yang tayang pada 17 Agustus silam.
Tapi kita nggak perlu berburuk sangka terhadap Kominfo, bisa jadi kementerian ini memang sedang memberi contoh bagaimana berbahayanya menyebarkan hoaks dengan cara: ikut bikin hoaks juga.
2. Minta maaf rombongan
Beberapa pejabat negara beramai-ramai mengeluarkan pernyataan permintaan maaf. Terutama setelah diketahui tuduhan ke mahasiswa Papua di Surabaya tidak terbukti sebagai pelaku penghinaan terhadap bendera merah putih. Apalagi meski tidak ada bukti, mereka tetap kena serangan rasial.
Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur, termasuk yang pertama meminta maaf kepada warga Papua. “Saya bertelepon dengan Gubernur Papua, Pak Lukas Enembe. Kami mohon maaf karena itu (rasialisme) sama sekali bukan mewakili masyarakat Jawa Timur,” kata Khofifah.
Tak berselang lama Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, juga ikut minta maaf. “Kalau memang ada kesalahan kami di Surabaya, saya mohon maaf. Tapi tidak benar jika kami dengan sengaja mengusir,” kata Risma.
Berlanjut juga dengan beberapa pejabat lain, dari Wali Kota Malang sampai dengan Presiden Joko Widodo.
Uniknya, Ormas di Surabaya yang melakukan pengepungan juga akhirnya meminta maaf. Salah satu anggotanya, Tri Susanti, dengan berbesar hati meminta maaf.
“Kami atas nama masyarakat Surabaya dan rekan-rekan ormas menyampaikan permohonan maaf. Kami hanya ingin bahwa Papua ini Indonesia. Kami hanya mau bendera merah putih. Jadi tujuan utama kami untuk merah putih dan berdampak seperti itu,” ujar Tri Susanti.
Masalahnya, tak ada satu pun pihak yang meminta maaf ini meminta ada yang mengusut tuntas siapa yang menyebarkan video perusakan bendera merah putih dari whatsapp grup tersebut? Sampai akhirnya terjadi pengepungan Asrama Papua di Surabaya.
Lebih-lebih menyelidiki pihak ormas yang sudah kelewat semangat melakukan pengepungan berjam-jam ternyata mereka cuma kemakan hoaks semata. Kenapa ormas ini tidak diperiksa sama sekali? Ini kan aneh sekali.
Permintaan maaf yang tersampaikan pun sangat normatif dan formil semata. Tak ada upaya lanjutan untuk mengakomodasi keadilan mahasiswa-mahasiswa yang sudah kadung dituduh macam-macam, padahal tuduhan itu sama sekali tidak terbukti.
3. Wiranto malah akan memperbaiki sistem Asrama Papua
Poin absurd terakhir adalah munculnya pernyataan dari Menko Polhukam, Wiranto. Bukannya menyasar pengirim video penghinaan terhadap bendera merah putih yang dituduhkan ke mahasiswa Papua di Surabaya, Wiranto justru membidik ada “kesalahan” dari Asrama Papua.
“Hanya dari peristiwa itu tentunya kita butuh nanti perbaikan-perbaikan tentang sistem pengiriman mahasiswa di daerah-daerah itu. Asramanya bagaimana? Pembinaannya Bagaimana? Tentu butuh ya,” kata Wiranto.
Padahal jelas-jelas, mahasiswa Papua dalam konteks ini adalah korban. Tidak tahu apa-apa, asramanya tiba-tiba dikepung dan dikata-katain. Kenapa malah yang harus diperbaiki malah mahasiswa Papuanya? Ini sebenarnya yang korban siapa yang pelaku siapa sih? Kok beliau jadi pandai benar membolak-balikkan perasaan begini sih? Hadeh.