Ada Tukang Parkir Resah, Nggak Ada Tambah Resah

ilustrasi Seribu-Dua Ribu untuk Tukang Parkir yang Terasa Berat mojok.co parkir motor

tukang parkir

Ribut-ribut tentang oknum dokter yang menembakkan pistolnya karena ditagih uang parkir membuat saya prihatin. Bukan ke tukang parkirnya, tapi pada si oknum dokter. Netizen yang terhormat memakinya, menghinanya, dan menganggap apa yang ia lakukan adalah sebuah kesalahan; perilaku jahat yang semestinya tidak terjadi. Halah, kayak nggak pernah dibikin kesal sama tukang parkir yang mirip preman aja.

Tapi, setelah melihat videonya, saya kok malah kepikiran soal mereka berdua itu ya. Emang ada orang waras yang mau melakukan hal seram seperti itu?

Saya pikir, emang kalau tukang parkir suka malak seperti preman, apa boleh diperlakukan jahat? Diacungi pistol lalu diburu seperti maling? Lagian itu kejadiannya kan bukan di lapak parkir liar, melainkan di gedung yang tukang parkirnya resmi. Si dokter juga dengan mudah menembakkan pistolnya, ala Jenggo, koboi yang memburu penjahat. Apa ya setiap ada hal yang tak nyaman mesti diselesaikan dengan kekerasan dan darderdor?

Ya tentu tidak. Sikap sok jagoan, penguasa, dan gemar menindas yang lemah ini bukan baru-baru ini muncul. Dulu Soe Hok Gie pernah menulis mentalitas machismo rapuh hasil didikan penjajah. Gie menyebut terlalu banyak manusia yang bermental sok kuasa; merintih kalau ditekan, menindas kalau berkuasa, mementingkan golongan, ormas, teman seideologi, dan lain-lain.

Lho, nggak percaya? Di bandar udara Sam Ratulangi Manado, seseorang menolak diperiksa KTP-nya karena istri pejabat. Tidak hanya menolak, ia juga menampar dua petugas setempat. Mental jawara karena pangkat ini warisan kolonial dari jaman kalabendu ketika manusia merasa tinggi karena strata sosial. Di peradaban yang telah bersiap membangun koloni baru di Mars, manusia-manusia Indonesia bermental priayi memang ajaib.

Mental priayi ini nggak hanya dimiliki orang kaya. Lihat saja video motor-motor yang berusaha kabur dari cegatan polisi di jalur bus Transjakarta. Ini mengapa saya selalu kesal jika ada aktivis lingkungan yang bilang Jakarta itu kota tidak ramah binatang, lha yang melawan arus sambil naik motor di trotoar itu apa dong? Wit kates?

Lantas apa hubungannya dengan tukang parkir itu? Jadi gini, si dokter merasa dia memiliki hak istimewa tak perlu membayar parkir, priayi je, militer, aparat. Ya beda sama kita-kita ini yang miskin. Tapi tukang parkirnya nggak peduli. Akibatnya, si dokter kesal, mengeluarkan pistol, menembak ke udara, si tukang parkir kabur, lalu ngilang. Di sini saya yakin, orang-orang yang dulu pernah marah dan jengkel karena dimintai duit parkir saat ambil duit di ATM girang bukan main.

Oh bukan, saya tidak mempromosikan kekerasan, apa yang dilakukan dokter itu sepertinya kulminasi dari rasa jengkel, muntab, dan gemas yang ditumpuk bertahun-tahun dari profesi tukang parkir liar. Saya nyaris belum pernah menemukan orang yang secara sukarela, gembira hati, dan ikhlas memberi seribu dua ribu perak yang ia miliki kepada tukang parkir sebagai balas jasa menjaga motor atau mobilnya.

Tukang parkir itu profesi gaib. Seperti ninja. Pas diperlukan untuk membantu menyeberang atau parkir orangnya nggak ada, pas selesai parkir atau hampir kelar nyeberang, muncul untuk menerima uang. Tapi, tentu bukan soal ini saya kerap dibikin jengkel dengan tukang parkir.

Tukang parkir liar lahir dari absennya negara di ruang publik, ini kalau mau otak-atik gathuk ra cetha. Mereka hadir karena cerdas melihat potensi pekerjaan, kerap kali orang-orang gagal mengapresiasi kejeniusan mereka. Lho piye ndak jeniyes, modal topi, peluit, dan tekad baja mereka bisa dapat penghasilan dari sekadar berdiri dekat dengan sopir mobil dan pengendara motor. Tak ada keterampilan atau modal yang disediakan, yang dibutuhkan hanya satu: kendel, berani.

Perkara tukang parkir ini rumit-rumit gampang. Saat belanja di supermarket atau di mana pun, kita tak ingin kendaraan hilang, tapi ya bakal jengkel juga kalau setiap datang ke minimarket sekadar ngambil duit di ATM ditagih seribu dua ribu. Belum kalau Anda datang ke daerah wisata atau konser musik, parkir bodong seenaknya menagih duit setinggi langgit. Diam-diam pengendara dan pemilik kendaraan menyimpan dendam.

Saya pribadi kerap dibikin jengkel dengan tukang parkir liar ini. Ingin marah, tapi kasihan. Dibiarkan, ya merajalela. Tapi, kalau hanya karena duit lima ribu seseorang mau dibunuh, tetap kurang ajar.

Saya belum pernah ketemu orang yang sejak kecil bercita-cita jadi tukang parkir. Mereka mengambil pekerjaan itu ya karena kepepet. Berbeda dengan dokter yang jelas butuh banyak duit dan juga akses pendidikan tinggi. Kalau sudah begini, mutu karakter oknum dokter ataupun tukang parkir yang mau ditembaknya nggak jauh-jauh amat kualitasnya, atau bahkan bisa jadi lebih baik si tukang parkir.

Di Jakarta lahan parkir bisa jadi ajang gladiator, orang saling bunuh dan saling menyakiti hanya untuk menguasai satu area. Tukang parkir kemudian mengalami demonisasi, dianggap preman yang cuma mau jatah keamanan. Tapi ya mbok dibaca serius, orang-orang ini adalah relik, sisa peradaban yang nggak bisa beradaptasi. Saat Ahok, Gubenur Jakarta kala itu, memberlakukan parkir berbayar, tukang parkir ini tersingkir, mereka mesti cari pekerjaan baru, menyebar ke tempat lain dan rebutan lahan orang, ya jelas akan ada gesekan baru.

Ini kenapa teknologi juga nggak baik-baik amat. Orang sih mikir, kalau manusia kerjanya banyak sambat, akan diganti mesin, seperti profesi tukang parkir. Tapi, orang-orang yang tersingkir malah bikin masalah di tempat lain, ini yang nggak dipikir. Oleh karena itu pas Sandiaga Uno bikin rencana merekrut preman jadi tukang parkir, itu bagus kok. Memanusiakan manusia. Kalau kita bisa girang merekrut gelandangan atau tenaga sapu honorer jadi karyawan pembersih jalan, kenapa tak bisa memberlakukan hal serupa pada tukang parkir?

Atau jangan-jangan semua yang dibikin Ahok oke, Sandi jelek? Lha kok malah bahas itu lagi ….

Exit mobile version