Terlalu Memikirkan tentang Quarter Life Crisis, Hanya Membuatmu Semakin Krisis

MOJOK.CO Quarter Life Crisis tidak akan selesai jika hanya diratapi. Hanya meratapinya, justru akan membuatmu berkutat pada satu kebingungan ke kebingungan yang lain.

Dalam budaya kita, ketika kita sudah menyelesaikan kewajiban ‘belajar’, kita sudah dianggap dewasa. Pada masa persimpangan antara remaja dan dewasa inilah, biasanya kita mulai terjebak dalam kebingungan, dengan apa yang harusnya kita usahakan untuk mencapai masa depan gemilang seperti harapan orang tua. Yang membuat kita bingung, harus melangkah ke mana, dengan berbagai pilihan yang ada.

Sebenarnya, quarter life crisis ini hanyalah sebuah fase di kehidupan kita menuju fase kehidupan selanjutnya. Yang tidak perlu dihadapi dengan ketakutan dan kebingungan yang berlebihan. Perasaan takut dan bingung yang berlebih, justru menyebabkan kita semakin krisis dan terjebak di dalamnya. Sehingga kita semakin tidak kuasa untuk menentukan langkah. Hanya berputar pada perasaan bingung yang satu ke kebingungan yang lain, tanpa henti.

Ketika kita sudah dianggap dewasa, memang ada beberapa pilihan hidup yang ditujukan kepada kita. Meminta kita untuk memilih. Hal ini biasanya dimulai ketika kita telah menyelesaikan sekolah.

Sejak kecil, tahapan hidup kita seperti sudah ditentukan oleh lingkungan. Ketika lulus dari SD, kemungkinan besar dipastikan akan lanjut ke SMP, lalu SMA. Nah, setelah SMA, ada sebagian yang mulai mengalami kebingungan, akan bergerak ke mana. Namun ada pula yang sudah memastikan diri akan melanjutkan belajar di dunia perkuliahan. Oleh karena itu, ada perbedaan usia setiap orang ketika mengalami krisis ini.

Selepas menunaikan kewajiban belajar, kita dihadapkan dengan berbagai pilihan. Secara sederhana, kita diberi pilihan untuk melanjutkan kuliah lagi, memulai karier, atau langsung menikah saja.

Ketika memilih ingin lanjut kuliah, juga masih diikuti beberapa pertimbangan, akan lanjut kuliah di jurusan apa? Apakah tetap dengan biaya orang tua, ataukah beasiswa? Serta turut memikirkan, adakah kesempatan berkuliah yang dapat disambi kerja? Pasalnya, ketika sudah dianggap dewasa, ada perasaan sungkan jika terus-terusan minta uang untuk hidup pada orang tua.

Lalu, jika memilih ingin memulai karier, akan mempertanyakan, pekerjaan apa yang akan dipilih? Pekerjaan mana yang dapat menjamin finansial kita ke depan? Apakah lebih baik mendaftar PNS seperti harapan orang tua? Meskipun ratusan profesi baru ada di depan kita.

Apalagi ketika menyadari bahwa pekerjaan ideal yang diidamkan diam-diam, tidak dapat dengan mudah dijalankan dengan melihat realita yang ada. Belum lagi muncul perasaan perlu bertanggungjawab untuk mandiri secara finansial. Terus, mana jalan yang harus dipilih, yang dapat memaksimalkan potensi kita?

Jika kita memilih untuk menikah saja, ternyata perihal menikah tidak semudah yang kita kira sebelumnya. Begini, semakin dewasa, kita akan ditinggalkan oleh teman-teman kita. Semua sama-sama sibuk dengan tujuan hidup masing-masing. Jika dulu terasa mudah untuk menjalin temu, kini untuk sebuah pertemuan saja, harus mengalami penundaan berkali-kali.

Sebenarnya tidak terlalu menjadi masalah, karena yang sekarang lebih kita butuhkan dalam sebuah pertemanan, tidak lagi kuantitasnya, melainkan kualitasnya. Dari banyaknya relasi pertemanan kita, pasti akan ada yang terfilter. Teman yang mana saja yang memang benar-benar sejalan dengan kita. Yang meski fokus dengan hidupnya, namun tetap nyaman untuk saling mendukung satu sama lain.

Orang akan datang dan pergi dari hidup kita. Kita pun kemudian mulai memikirkan bahwa kita butuh seseorang yang bersedia untuk bertahan. Kita tidak butuh sekadar pacar, namun yang kita butuhkan adalah seseorang yang mau menjalin komitmen dengan diri kita, untuk tetap beriringan, apapun yang terjadi.

Keinginan ini pun juga tidak selalu mudah untuk dipenuhi. Ada yang merasa bingung karena masih single dan belum menemukan pasangan. Ada yang sudah bertemu, namun masih merasa belum menemukan kecocokan. Ada yang sudah menemukan pasangan dan dirasa sudah klop dengannya, namun masih terganjal restu dari keluarga. Ada pula yang sudah mendapatkan pasangan dan restu, namun akhirnya memahami, bahwa sebuah pernikahan tidak cukup hanya dengan modal cinta.

Media sosial pun menjadi tantangan tersendiri, atau justru menjadi mimpi buruk yang sangat menyebalkan. Melihat standar kebahagiaan orang di sekitar kita dengan segala pencapaiannya, membuat kita semakin merasakan dilema. Lamat-lamat membandingkan diri dengan mereka. Sejauh mana progres pencapaian masing-masing. Sudah benarkah jalan yang kita mulai ini? Atau malah punya pikiran, haruskah kita juga memilih jalan yang mereka pilih. Karena melihat mereka nampak lebih bahagia, sedangkan kita masih gini-gini aja.

Apakah perjalanan hidup yang dipilih memang harus sesuai dengan harapan publik atau dapat mengikuti passion yang selama ini kita koar-koarkan dalam pikiran. Mana yang harus kita ikuti? Apakah ada kesempatan untuk memperbaiki, jika sudah terlanjur melakoni pilihan itu? Apalagi ada perasaan takut terlambat jika nantinya salah langkah. Ada anggapan, bahwa dunia yang sibuk dan cepat ini, tidak menerima kegagalan yang mungkin kita lakukan.

Berbagai polemik dalam persimpangan inilah yang menyebabkan seseorang mengalami Quarter Life Crisis, merasa kebingungan untuk menentukan arah langkahnya. Keadaan yang terjadi ketika tidak ingin lagi dianggap remaja, namun menjadi orang dewasa kok rasanya belum kuasa.

Keadaan ini memang bukanlah proses yang mudah. Namun menganggap Quarter Life Crisis sebagai masalah, sepertinya juga hanya akan semakin membebani kita. Anggap saja hal ini memang sebagai salah satu fase hidup yang harus dilewati seperti fase hidup lainnya.

Hal pertama yang bisa kita lakukan untuk menjalani Quarter Life Crisis adalah dengan menghentikan sikap overthinking kita. Kita perlu meyakinkan diri sendiri dan mulai lakukan sesuatu. Pasti sudah sering dengar, kan, bahwa kita tidak akan mendapatkan apa-apa jika kita tidak bergerak untuk memulainya. Kita bisa mulai dengan kegiatan, yang jika hanya kita bayangkan saja, kita akan merasa bahagia. Kemudian muncul semangat untuk menjalaninya.

Selain itu, kita juga perlu mengontrol ekspektasi kita. Tidak perlu mengharapkan yang berlebihan terhadap sesuatu yang baru kita mulai. Nikmati proses yang kita mulai itu, dan kegagalan tidak akan menjadi masalah. Seperti sebuah petuah lama, kegagalanlah yang justru akan memberikan pembelajaran.

Kita hanya perlu meyakinkan diri sendiri, bahwa kita sedang berada pada posisi dan kondisi yang tepat. Yang kita butuh hanyalah bertahan dan berjuang sedikit lagi, agar semua jadi tak terlalu berat.

Exit mobile version