Tak Ada ‘Perang’ atau ‘Konflik’ antara Israel dengan Palestina

Tak Ada ‘Perang’ atau ‘Konflik’ antara Israel dengan Palestina

Tak Ada ‘Perang’ atau ‘Konflik’ antara Israel dengan Palestina

MOJOK.CO Penggunaan kata “perang” dan “konflik” pada serangan Israel ke penduduk Palestina sejatinya menutup-tutupi apa yang terjadi.

Ketika saya melihat soal pendudukan Israel atas tanah-tanah Palestina, terutama yang baruan terjadi di Sheikh Jarrah, Jerusalem Timur, saya sejujurnya agak sedih dengan bagaimana kita “tertipu” dengan bilang bahwa masalah yang terjadi di perbatasan Israel-Palestina ini sebagai perang sipil atau konflik.

Oke, saya tahu kamu bakal bingung ketika saya menyebut kalau sebenarnya tidak ada “perang” dan “konflik” antara Israel dengan Palestina. Tapi yang ingin saya ajak dari cara pandang kamu adalah dua kata itu sudah diciptakan media-media barat agar kita secara tak sadar menyepakati bahwa Israel dan Palestina ini adalah problem dua negara.

Perhatikan lagi dua kata ini: perang dan konflik.

Kedua kata itu sejatinya menyiratkan bahwa kedua belah pihak itu setara, sama kuatnya, dan sama berbahayanya. Padahal jika kita mau sedikit lebih jeli, babar blas tidak ada yang setara antara militer Israel dengan warga sipil Palestina.

Apa yang terjadi di sana jelas merupakan pendudukan, pembantaian, dan pengusiran paksa, namun hampir semua media—bahkan di Indonesia—percaya bahwa yang terjadi adalah perang atau konflik

Hal semacam ini juga baru saya sadari ketika mendengar wawancara Ghassan Kanafai, seorang aktivis pembebasan Palestina.

Sejak 1970, Ghassan sudah pernah secara tegas membantah kedua istilah ini. Hal ini muncul ketika Ghassan lumayan kesal ketika jurnalis mewawancarainya dengan menggunakan istilah “civil war” atau “perang sipil” pada masalah Israel dengan Palestina ini.

“Ini bukan perang sipil!” tegas Ghassan, “ini adalah orang-orang yang mempertahankan dirinya melawan pemerintahan fasis, yang sedang Anda bela. Ini bukan perang sipil.”

Si jurnalis agak gelagapan mendengar jawaban Ghassan. “Atau konflik,” si jurnalis mencoba meralat pernyataannya.

Lagi-lagi air muka Ghassan tetap tegas, tidak setuju.

“Ini bukan sebuah konflik. Ini adalah gerakan pembebasan yang berjuang untuk keadilan.”

“Yaaah, whatever, itu sebutan terbaiknya,” kata si jurnalis.

“Itu bukan ‘whatever’, karena inilah awal mula problem ini terjadi. Ini adalah situasi ketika orang-orang didiskriminasi ketika berjuang untuk hak asasinya, inilah cerita sebenarnya.”

Penggunaan bahasa ini, memang sudah menipu dunia sejak puluhan silam. Menganggap bahwa milisi Palestina, yang berafiliasi dengan Hamas, seolah-olah merupakan kekuatan militer kuat dunia yang bisa setara dengan militer Israel.

Meski begitu, di balik rasa pesimis yang hadir dari penggunaan istilah yang sudah dipakai selama 70-an tahun itu oleh media di seluruh dunia, saya melihat adanya secercah harapan. Terutama oleh orang-orang Amerika yang dulu kelihatan sangat pro-Israel, belakangan mulai muncul orang-orang yang merasa gerah dengan kelakuan Israel.

Salah satunya? Trevor Noah, seorang komedian Amerika Serikat.

Di channel YouTube The Daily Show with Trevor Noah, Trevor mengungkapkan kegundahannya melihat masalah di Israel dan Palestina. Apalagi negaranya, yakni Amerika Serikat, adalah negara adidaya yang paling sering membela Israel.

Trevor mengajak penontonnya di Amerika untuk memulainya dengan pertanyaan simpel ini, “Mari kita lihat, siapa yang tewas, dan siapa yang masih hidup di pekan ini.”

“Di Gaza, serangan Israel diberitakan telah membunuh 28 orang, termasuk 10 anak-anak. Dan lebih dari 150 orang luka-luka. Di Israel, roket Hamas membunuh dua orang. Lalu baku tembak (roket) ini pun terjadi setelah serangan tentara Israel di sekitar Masjid Al-Aqsa.”

“Dan secara personal, saya tidak melihat ada pertarungan adil di situ.”

Trevor merasa ada yang aneh dengan fakta-fakta itu, apalagi melihat masih ada beberapa orang yang masih membela serangan Israel, atau membenarkan kematian warga sipil Palestina.

“Israel memiliki salah satu kekuatan militer paling kuat di dunia. Mereka bisa menghancurkan Gaza seperti itu. Belum lagi dengan salah satu sistem pertahanan paling canggih di dunia. Kamu coba menembakkan roket ke mereka, mungkin kamu tidak akan mendapatkan apa-apa dari mereka karena sistem pertahanan mereka.”

Melihat ketimpangan itu, Trevor merasa ada yang tidak fair di sini. Bagaimana bisa ada orang membela pihak yang lebih powerfull dan memandang rendah mereka yang lebih lemah. Meski begitu, Trevor tahu risikonya ketika dia, seorang warga Amerika, bicara hal seperti ini.

“Dan saya tahu, saya tahu orang-orang akan membenci saya karena ini, tapi saya hanya ingin mengajukan pertanyaan jujur di sini.”

“Jika Anda sedang berkelahi, di mana ada orang yang tidak bisa mengalahkan Anda, seberapa keras Anda harus membalas, ketika mereka mencoba menyakitimu?”

Trevor merasa perlu mengajukan pertanyaan itu karena dirinya punya pengalaman berkelahi dengan adik laki-lakinya. Dan Trevor tahu, seseorang yang lebih kecil—yang mana adalah adiknya Trevor—akan nekat melakukan aksi membela diri.

“Tapi kata Ibuku,” kata Trevor, “setiap kali aku marah, ‘Trevor, jangan memukul balik adikmu karena dia tidak bisa menyakitimu. Kamu itu remaja, dan adikmu baru berumur empat tahun’,” kata Trevor menirukan nasihat ibunya.

“Tapi dia bisa saja menyakitiku,” kata Trevor lagi.

Kata ibunya Trevor, “Tapi kamu juga jauh lebih besar dari adikmu itu. Kamu bisa menghancurkannya dalam sekejap. Tapi tentu bakal ada yang komentar, oh kamu membandingkan Palestina kayak anak kecil, oh tidak, tidak, saya tidak melakukan itu. Saya menceritakan sebuah cerita saya sendiri.”

Dari sana Trevor percaya, bahwa orang yang lebih punya banyak kekuatan seharusnya juga harus punya lebih banyak tanggung jawab mengendalikan kekuataannya. Trevor ingin menggarisbawahi bahwa masalah yang terjadi adalah pada siapa yang lebih berkuasa dari siapa di urusan Israel-Palestina ini.

Dan tidak semestinya orang berkuasa punya kebebasan lebih melakukan apa yang mereka mau lakukan, terutama terhadap orang yang lebih lemah. Hal yang sudah disampaikan oleh John Emerich Edward Dalberg Acton puluhan tahun silam.

Powet tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.”

Tidak hanya korup untuk urusan duit dan tahta, tapi juga korup soal urusan istilah dan bahasa.

BACA JUGA Mengkritik Gal Gadot Dukung Negaranya Serang Palestina tapi Setuju Militerisme di Papua, kan Aneh dan tulisan soal Palestina lainnya.

Exit mobile version