Stan Lee: Tidak Semua Pahlawan Memakai Jubah

Stan Lee MOJOK.CO

MOJOK.COTutup usia di angka 95 tahun, Stan Lee adalah sosok pahlawan yang sebenarnya. Tak hanya memberi kesenangan, Marvel Universe memberi kita harapan.

Kabar kematian Stan Lee datang di awal subuh. Kabar itu merambat perlahan. Dari setengah sadar ketika bangun dari tidur, rasa dingin itu merambat menyentuh kesadaran. Ketika kesadaran datang sepenuhnya, diri ini hanya sebagian kecil dari masyarakat dunia yang berkabung dengan nuansa yang sama.

Nuansa kehilangan itu terasa sederhana. Namun, meskipun sederhana, kamu pastinya sadar bahwa banyak orang di luar sana yang kehilangan sosok “bapak”. Bukan orang sembarangan. Mereka adalah superhero, para pahlawan, meski hanya rekaan, namun menjadi patron banyak manusia fana. Remaja-remaja putus asa, anak-anak polos penuh imajinasi, yang membayangkan diri mereka Spiderman yang bisa tetap ceria meski ditinggal mati kedua orang tuanya.

Pahlawan-pahlawan itu, bangkit dari lembaran komik, dan menyapa jutaan mata di penjuru dunia lewat layar lebar. Dari sebuah komik, dari sebuah gambar mati, menjadi sesuatu yang dipegang begitu dekat di relung hati mereka. Mirip sebuah agama, yang dibuatkan altar di kehidupan masing-masing.

Nuansa kehilangan itu terasa sederhana. Meski sosok pahlawan yang ia konsep terlihat grande, makna yang terkandung begitu “manusiawi”. Bagi Stan Lee, komik yang ia garap bukan sekadar sebuah eskapisme belaka. Wujud fisik komik itu adalah manusia sebenarnya. Tanpa sebuah pesan di dalamnya, komik seperti manusia tanpa jiwa.

Oleh pesan-pesan yang terkandung dari sosok Hulk, Black Panther, Iron Man, Thor, dan Spiderman, kita menjadi pembaca dengan jiwa yang penuh. Menikmati jalan cerita yang otentik, sembari disirami kemanusiaan yang begitu luhur.

Kamu tahu apa kata Stan Lee soal Spiderman? Manusia laba-laba super itu adalah satu dari sedikit superhero yang seluruh badannya tertutup kostum secara penuh. Dari kepala hingga kaki. Bagi Stan Lee, Spiderman bisa menjadi siapa saja. Bisa jadi dia orang kulit hitam, kulit putih, orang Indian, atau siapa saja yang bisa kamu bayangkan. Sebuah persamaan hak yang diejawantahkan lewat sosok pahlawan.

Ketika Black Panther meledak di pasar film dunia, kita merayakan persamaan hak bagi orang kulit hitam. Sosok pahlawan yang humble, tegas, dan tanpa pamrih. Seperti sebuah usaha untuk menihilkan gambaran orang kulit hitam yang terkadang tidak rasional, terlalu santai, dan suka bikin masalah. Komik, Marvel, merayakan manusia secara utuh.

Thor. Sosok “dewa” yang (sempat) digambarkan arogan, sok ganteng, dan terlalu percaya dengan sebuah palu. Ketika ia kehilangan hampir semua; orang tua, saudara, bahkan dunianya, Thor disadarkan bahwa kekuatan terbesar ada di dalam dirinya. Palu adalah sebuah perantara. Jiwa dan hati yang murni selalu menjadi kekuatan utama “manusia”.

Marvel Universe bukan sekadar eskapisme, sebuah tempat pelarian dari dunia yang berat. Marvel Universe mengajarkan bahwa dirimu, diri kita adalah pahlawan dengan keunikan masing-masing. Menyatukan perbedaan, ego, dan kesombongan lewat sebuah Avengers. Mati bersama, hidup bersama, berjuang bersama.

Namun, terlepas dari hal-hal yang grande itu, kembali lagi, sosok pahlawan yang sebetulnya adalah Stan Lee itu sendiri. Ia seperti Thor yang menemukan bahwa kekuatan terbesar ada di dalam diri sendiri, menjadi diri sendiri. Otentik.

Suatu kali ia pernah merasa sangat malu dengan pekerjaannya sebagai seorang tukang komik. Teman-temannya ada yang bekerja sebagai insinyur membangun jembatan atau bekerja di bidang medis. Namun, Stan Lee menyadari sesuatu. Ia sadar dengan potensi dan “tugasnya” di alam semesta ini.

“Lalu saya mulai sadar bahwa hiburan adalah salah satu hal penting di kehidupan seseorang. Tanpa hiburan, mereka mungkin akan terpuruk. Saya merasa, jika kamu bisa menghibur orang lain, kamu sudah melakukan sesuatu yang baik.”

Percayalah, Stan, yang kamu lakukan bukan hanya menghibur. Imajinasi dan nilai luhur lewat tokoh komik itu memberi kami harapan. Harapan bahwa percaya dengan kekuatan diri adalah jalan keluar terbaik ketimbang terus mengeluh dan menyalahkan situasi. Tanpa mengenakan jubah, Stan Lee adalah pahlawan sebenarnya.

Untuk semua kesederhanaan itu, dari lubuk hati paling dalam, kami mengucapkan terima kasih. Selamat jalan. Excelsior!

Exit mobile version