Selain Ruang Publik, Rakyat Butuh Ruang Privat untuk Menangis

ruang publik ruang privat untuk menangis jurgen habermas media sosial public sphere 4.0 private sphere jokowi kebutuhan rakyat taman kota satpol pp surabaya penggerebekan di kamar hotel mojok.co

ruang publik ruang privat untuk menangis jurgen habermas media sosial public sphere 4.0 private sphere jokowi kebutuhan rakyat taman kota satpol pp surabaya penggerebekan di kamar hotel mojok.co

MOJOK.CO Ruang publik sudah diusahakan pemerintah dari dulu. Tapi ada kalanya rakyat butuh ruang privat yang sepi, tenang, dan ideal untuk menangis. Karena seluruh rakyat akan ambyar pada waktunya.

Pekan lalu orang-orang dibuat berang karena Satpol PP melanggar ruang privat sebagian masyarakat Surabaya. Katanya sih, penggerebekan ke kamar-kamar hotel nggak ada landasan hukumnya, kendatipun orang-orang sedang mantap-mantap, pokoknya nggak bener ini!

Ketika ruang privat dilanggar, rasanya memang memuakkan. Walau manusia makhluk sosial, tapi manusia adalah individu, sebuah entitas tunggal yang juga butuh waktu untuk sendiri. Seperti mantan kalian yang selalu bilang, “Kita break dulu, aku butuh ruang untuk berpikir, kamu butuh waktu untuk sendiri dulu.”

Ruang publik alias public sphere sebenarnya dikonsepkan oleh Yth. Jurgen Habermas, seorang filosof asal Jerman yang membuka mata banyak orang tentang perlunya sebuah ruang bagi rakyat untuk berkumpul dan berdiskusi. Ruang publik sifatnya harus diusahakn oleh pemerintah yang masih percaya kekuatan demokrasi. Termasuk Indonesia yang ngakunya demokratis banggget, g-nya tiga.

Ide Habermas sungguh brilian, jangan salah paham, saya juga ngefans sama teori-teori beliau. Bahkan di era digital ini ada public sphere 4.0 berwujud media sosial. Lihat betapa netizen bisa mendiskusikan negara ini lewat trending topics di Twitter. Sambat dan mengeluh banjir pun bisa digaduhkan di media sosial.

Tapi ada yang dilupakan dari gegap gempita ruang publik yang jadi kebanggaan masyarakat demokrasi, yaitu ruang privat yang makin sempit. Sebagai orang yang terkadang nggak ingin ada di keramaian, saya juga butuh ruang privat minimal untuk menangis. Ruang yang sepi, tenang, dan ideal untuk meluapkan kesedihan.

Bayangkan saja suatu saat kalian merasa gagal di suatu fase kehidupan. Gagal ujian CPNS, menyadari betapa terpuruknya jadi buruh yang penghasilannya segitu-segitu aja, hingga betapa runyamnya menjalin hubungan cinta beda agama. Di masa itu, kalian betul-betul ingin berkontemplasi dengan diri sendiri. Melakukan sebuah ritual komunikasi intrapersonal hakiki.

Seringnya orang-orang menangis di jalan saat naik motor, bersepeda malam-malam sambil mengenang keburukan mantan, dan kalau di posisinya di Jogja, ada yang suka naik Trans Jogja keliling kota hanya untuk menghindari omelan orang tua. Pelik. Rakyat benar-benar butuh fasilitas ruang privat.

[merasa sediii]

Bukti rakyat butuh ruang privat adalah ketika utas-utas tentang tempat menangis di setiap kota selalu viral. Tempat menangis di Jogja, tempat menangis di Bandung, sampai tempat menangis di Jakarta pun ada.

Sayangnya, banyak yang menyelipkan jokes di sela-sela utas ini. Jadinya tempat-tempat yang direkomendasikan belum bisa benar-benar memenuhi hajat menangis. Bahkan kalau kalian benar-benar ketahuan menangis di tempat ini kalian bakalan nangis lebih kejer karena malu, bukan karena sendu.

Pak Jokowi, saya ingin menangis dengan tenang dan damai.

Sama seperti public sphereprivate sphere sebenarnya juga ada teori sosialnya. Ruang privat itu semacam sektor kehidupan yang penting di mana seseorang menikmati tingkat otoritas utuh. Mereka ingin sejenak hidup tanpa adanya intervensi dari pemerintah dan institusi atau lembaga lain.

Tapi saya, teori ruang privat ini mengarah pada komunitas keluarga. Rumah adalah ruang privat yang ideal. Nah, saya sebagai anak kost yang cuma hidup di sebuah kamar sempit berukuran 3×4, nggak ada ruang tamunya, nggak ada ruang santainya, harus berbuat apa?

Lagian sebagai individu bermasalah, kalau lagi seteru sama keluarga, apa iya tetap mau menangis di rumah, di kamar terus? Ya nggak lah!

Harusnya dalam keadaan ini saya bisa ke taman kota. Eh, tapi di sana ramai anak kecil main ketapel LED ding. Terus saya pergi ke tempat di mana saya bisa duduk di kursi-kursi sumbangan pemkot. Eh, tapi di sana juga dipenuhi muda-mudi kasmaran yang malah pacaran.

Rakyat seperti saya butuh ruang privat ketika sedang ambyar-ambyarnya. Mengingat konser Didi Kempot sudah makin mahal dan saya bokek.

BACA JUGA Menimbang Petuah Lama tentang Lebih Baik Dicintai atau Mencintai atau artikel AJENG RIZKA lainnya.

Exit mobile version