Sambatan-sambatan Orang Umur 30 Tahun

Sambatan-sambatan Orang Umur 30 Tahun

Sambatan-sambatan Orang Umur 30 Tahun

MOJOK.COBuat kamu yang udah atau jelang umur 30 tahun siap-siap ya, kami tidak akan memotivasimu, kamu udah cukup tua untuk diajarin soalnya.

Dalam usia menuju setengah dari masa akil balig kedua, orang umur 30 tahun punya ketakutan-ketakutannya sendiri. Dibilang tua kok nggak pantes-pantes amat, dibilang muda kok udah pilek aja kalau diajak nongkrong di atas jam 12 malem? Generasi nanggung.

Kekhawatiran ini bakal kamu temui juga terutama kalau umurmu udah 29 tahun, mepet-mepet umur 30 tahun. Setahun lagi jadi “sepuh” kamu ya. Selamat.

Ini wajar sih, soalnya umur 30 tahun adalah pintu gerbang ke usia kedewasaan selanjutnya. Masa ketika seseorang menyadari kalau usia muda itu akhirnya terlewati juga. Persis kayak perasaan orang umur 20-an tahun yang merindukan masa-masa SMA.

Ngobrol ngalor-ngidul di tongkrongan jadi tak sebebas dulu lagi, begadang jadi nggak bisa sering-sering, dan kalau kelayapan sampai lupa waktu kadang suka insecure sendiri.

Di usia itu pula kamu akan makin sering memimpikan punya mesin waktunya Doraemon. Kembali ke masa lalu, dengan pengetahuan yang kamu punyai sekarang untuk sekadar memperbaiki beberapa persoalan di masa lalu.

Surem yak? Hiii.

Tapi apa kamu pikir hanya itu saja ketakutan-ketakutan umur 30 tahun? Oh, tidak. Masih banyak kok sambatan-sambatan dari mereka yang akan/sudah mencapai umur 30 tahun ke atas.

Dan berikut adalah daftar demotivasi yang bisa kamu dapat hari ini.

Semakin sulit mencari pasangan

Kriteria pernikahan ideal memang macam-macam dan tidak bisa digeneralisir, tapi…

…ayo akui saja deh, kalau seseorang sudah umur 30 tahun (apalagi yang lebih senior dari itu) dan belum berpasangan, maka biasanya orang tersebut harus selalu menyiapkan setumpuk pledoi.

Maklum, stigma masyarakat kita masih belum bisa menerima kalau ada orang udah kepala tiga belum dapat pasangan, apalagi kalau masih kelayapan kayak nggak punya tujuan idup.

Kalau belum rabi sih mungkin masih banyak temennya, tapi kalau belum dapat pasangan, berasa alien aja gitu rasanya.

Terlebih, ketika seseorang sudah sampai pada umur 30 tahun, kriteria pasangannya akan semakin spesifik dan sulit dicari. Apalagi kalau mencari pasangan untuk diajak ke pelaminan.

Semua jadi serba-pertimbangan. Nggak yang kayak waktu umur 20-an tahun. Asal cakep, cocok, PDKT bentar, gasss.

Di umur 30 tahun, orang cenderung lebih peduli dengan tanggapan orang-orang di sekitarnya. Dari tetangga, keluarga, dan sahabat-sahabat dekatnya.

Meskipun begitu, ada yang lebih ngeselin sih daripada itu, yakni kalau di usia 30 tahun kamu bukan lagi jadi prioritas oleh seseorang yang mencari pasangan hidup.

Alasannya? Ya, karena yang lebih muda dari kamu jauh lebih banyak laaah. Apalagi?

Semakin sulit mencari pekerjaan

“Maksimal usia 27 tahun.”

Itu adalah syarat umum dari sebuah tawaran pekerjaan di perusahaan-perusahaan. Terutama untuk jenis pekerjaan yang daya serapnya tinggi.

Oke, ada sih syarat pekerjaan yang batas maksimalnya sampai 35 tahun, tapi di usia segitu biasanya dibutuhkan mereka yang sangat expert, bukan yang sekadar “bisa kerja” doang.

Perusahaan juga bakal menuntut hal besar ketika menerima karyawan di atas umur 30 tahun. Tidak perlu diajarin lagi, diandalkan pengalamannya, dan jadi tulang punggung kinerja perusahaan.

Masalahnya lagi, posisi seperti itu jumlah serapan tenaga kerjanya jauh lebih sedikit ketimbang pegawai-pegawai yang syarat masuknya ada di ambang batas usia 20-an tahun.

Oleh sebab itu, kalau kamu frustasi nggak dapat kerja-kerja juga ketika umur 30 tahun sudah menjelang, ikuti usul saya: dagang aja udah.

Ingat 9 dari 10 pintu rezeki adalah main saham berdagang.

Teman makin sedikit

Prioritas orang umur 30 tahun biasanya bakal lebih ke keluarga. Terutama buat mereka yang udah rabi dan punya anak.

Itu bikin orang jadi nggak punya banyak waktu meladeni teman seangkatannya yang masih bisa bebas nongkrong dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Kayak kamu, iya kamu.

Hal seperti itu akhirnya bikin lingkar pertemananmu jadi makin spesifik. Temen-temen kantor yang itu-itu lagi, atau temennya temen kantor.

Oke deh, teman di umur 30 tahun itu memang bakal makin banyak. Tapi akan ketahuan kok mana yang bener-bener temen deket, mana yang cuma temen mampir, atau mana yang temen makan temen. Semua bakal kelihatan di umur-umur segitu.

Dan di situlah kamu bakal ngerasa… “Bgzt, temen-temenku pada ke mana sih ini?”

Kabar orang meninggal semakin sering

Sambatan berikutnya adalah kabar orang meninggal akan makin sering nongol di grup WhatsApp-mu. Entah dari tetangga, dari sepupu, atau dari teman SMA-mu.

Di saat itu kamu juga bakal ngerasa bahwa kematian juga makin menghampiri orang-orang di sekelilingmu.

Hanya saja, soal satu ini, kamu tak perlu khawatir. Seringnya kabar duka yang nongol di WhatsApp-mu itu sebenarnya bukan tanda-tanda kiamat kok, itu justru menandakan bahwa lingkar pertemananmu makin jauh melesat.

Misalnya, kamu di usia 20-an tahun nggak peduli dengan tetanggamu yang bernama Pak Warno, tapi di umur 30 tahun kamu jadi peduli ketika istrinya Pak Warno meninggal dunia.

Tingkat kepedulianmu yang makin tinggi itu lah sebenarnya yang menjawab kenapa kamu merasa kabar orang meninggal jadi makin sering nongol di hapemu. Selain soal jumlah orang-orang yang kamu kenal juga makin banyak tentunya.

Tuntutan ekonomi makin besar, tanggungan makin banyak

Umur 30 tahun erat dengan stigma kemapanan. Baik secara emosional maupun finansial. Sebab, umur 30 tahun adalah masa-masa pembuktian. Kamu serius mau dikenal sebagai “apa” sih sekarang?

Oleh sebab itu, sudah jadi pemandangan lumrah kalau kamu sudah tidak lagi bisa dapat angpao dari pakdemu atau paklikmu. Yang ada malah kamu yang harus kasih angpou ke ponakan-ponakanmu.

Tuntutan ini juga tidak bekorelasi dengan apakah kamu sudah menikah atau tidak. Soalnya umur 30 tahun adalah usia lanjut dari masa muda.

Sudah tidak ada lagi eksperimen-eksperimen kayak di umur 20 tahunan, semua akan diukur dari hasil, dari pencapaian, dari prestasi. Pokoknya yang serba-ada wujudnya, bukan yang abstak-abstark macam idealisme.

Kalimat mutiara macam… “yang penting proses, jangan berpatokan pada hasil” bakal cuma jadi tai kucing di atas kue-kue kebijaksanaan yang dimakan pada siang hari di bulan Ramadan.

Udah nggak enak, ngerasa berdosa lagi. Ealah, dosa kok ya nggak enak.

BACA JUGA Terlalu Memikirkan tentang Quarter Life Crisis, Hanya Membuatmu Semakin Krisis dan tulisan POJOKAN lainnya.

Exit mobile version