MOJOK.CO – Menristekdikti mengimbau semua rektor di Indonesia agar melarang mahasiswa turun ke jalan. Banyak rektor yang tidak sepakat dengan imbauan tersebut.
Imbauan berujung ancaman dari Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti), Mohamad Nasir kepada para rektor kampus di seluruh Indonesia berujung kritik. Sebelumnya, Nasir menilai bahwa tidak seharusnya mahasiswa turun ke jalan.
“Imbauan saya (untuk) para rektor, tolong mahasiswa diberi tahu jangan sampai turun ke jalan. Nanti kami ajak dialog. Kalau mereka orang terpandang pendidikannya, itu turun ke jalan sehingga tidak bisa dikontrol. Apa bedanya nanti dengan tidak terdidik?” kata Nasir.
Nasir menilai imbauan ini merupakan perintah dari Presiden Jokowi. Bahkan Menristekdikti tidak segan akan memberi sanksi kepada rektor yang ngeyel.
“Nanti akan kami lihat sanksinya ini. Gerakannya seperti apa dia. Kalau dia mengerahkan, sanksinya keras. Sanksi keras ada dua, bisa SP 1, SP 2. Kalau sampai menyebabkan kerugian pada negara dan sebagainya ini bisa tindakan hukum,” tambah Nasir.
Untuk itu Nasir menilai kalau rektor harus mampu mengingatkan dosen yang memberi izin mahasiswanya turun ke jalan.
“Inilah, yang ini nggak boleh (dosen membiarkan mahasiswa demo). Dosen harus ajak dialog dengan baik. Kalau dia (rektor) tidak menindak, rektornya yang kami tindak. Makanya saya akan monitor terus perkembangan ini,” kata Nasir.
Sebelumnya sudah ada beberapa kampus yang mengaku tidak mendukung aksi mahasiswa ini. Seperti aksi #GejayanMemanggil pertama pada 22 September 2019, misalnya.
Seperti yang diberitakan CNN Indonesia, Universitas Sanata Dharma dan Universitas Gadjah Mada adalah dua di antara banyak kampus di Yogyakarta yang mengeluarkan surat edaran tidak terlibat dengan aksi mahasiswa. Meski begitu, aksi mahasiswa tetap tidak bisa dilarang.
“Surat itu bukan larangan, tapi kebijakan. Tidak ada sanksi apapun untuk mahasiswa,” kata Johannes Eka Priyatna, Rektor Sanata Dharma.
Hal yang sama juga berlaku saat UGM memberi surat edaran tidak terlibat. Tapi sekali lagi, jika ada mahasiswa UGM yang tetap ikut aksi, bukan hak kampus juga melarang mereka.
Berbeda dengan sikap Sanata Dharma dan UGM di Yogyakarta, UIN Surabaya (UINSA) menilai tak perlu mengeluarkan sikap resmi atas nama institusi. Menurutnya mahasiswa menyampaikan aspirasi ke jalan adalah bagian dari demokrasi.
“Saya tidak perlu mengeluarkan sikap resmi. Turun ke jalan bagi mahasiswa adalah bagian dari demokrasi. Monggo-monggo saja,” kata Masdar Hilmu, Rektor UINSA.
Ini juga berlaku dengan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
“Tidak ada larangan dan tidak instruksi. Karena itu merupakan ekspresi personal mahasiswa. Yang penting (mahasiswa) jangan melanggar aturan hukum. Jangan merusak fasilitas umum. Jangan ganggu ketertiban umum,” kata Suko Widodo, Ketua Pusat Informasi dan Humas Unair.
Melihat hal ini, ada banyak kritik yang dilayangkan ke Menristekdikti, Mohamad Nasir. Imbauannya yang berujung ancaman, sangat kontraproduktif. Hal ini yang dinilai oleh Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, Fathul Wahid.
“Tapi sebetulnya bukan pilihan tepat (ancaman memberi sanksi), karena sepertinya gayanya tidak dialogis ya?” katanya.
Jika ketakutan soal aksi mahasiswa berlangsung ricuh, sampai saat ini aksi-aksi di Yogyakarta soal penolakan RKUHP, UU KPK, dan desakan pengesahan RUU PKS, masih berlangsung damai.
“Selama itu disampaikan dengan damai, saya yakin tidak ada masalah, saya yakin itu adalah ciri khas demokrasi,” kata Wahid.
Sampai sekarang, kalau kita melihat cara pandang beberapa rektor di Indonesia, hampir semua rektor sepakat bahwa sikap anarkis memang ditentang dalam aksi. Hanya saja, itu bukan kemudian jadi pembenaran bahwa aksi mahasiswa di jalan harus dilarang. Apalagi sampai ada imbauan dari pusat segala.
“Kami tidak punya hak melarang. Kalau ada di antara anak-anak kami yang turun aksi adalah pilihan dia. Dan tidak boleh kita larang,” kata Masjaya, Rektor Universitas Mulawarman Samarinda.
“Termasuk urusan demo. Itu hak individu. Tidak bisa dilarang. Kalau dilarang, kan mahasiswa nggak masuk ke kampus. Kalau berangkatnya dari rumahnya ikut demo, mana bisa dilarang?” tambahnya.
Selain memberi imbauan Menristekdikti, Mohamad Nasir, memang memiliki agenda akan berkunjung ke beberapa kampus di Indonesia. Salah satu tujuannya adalah memberi penjelasan dan mengajak diskusi. Soal ancaman berujung sanksi, Nasir menilai bahwa soal sanksi ke rektor itu hanya disasar ke rektor yang menggerakkan massa.
“Kalau mahasiswa mau demo itu jangan digerakkan rektor. Rektor nggak boleh secara struktural. Dia bagian dari pejabat. Tanggung jawab kan ke Menteri,” kata Nasir di kesempatan selanjutnya.
Masalahnya, “diskusi” dengan akademisi ini sulit memberi jaminan. Sebab, kalau benar-benar mau dialog, perlu waktu yang sangat panjang bagi Menristekdikti untuk mendengar suara seluruh aksi mahasiswa di Indonesia.
Hal yang paling masuk akal bisa dilakukan (dengan waktu yang begitu mendesak) adalah bicara satu demi satu ke kampus-kampus seluruh Indonesia. Dan ketimbang disebut sebagai dialog dan diskusi, pada praktiknya hal semacam itu malah berisiko berakhir jadi monolog. Bagaimana pemerintah memberi “pemahaman” ke mahasiswa, bukan upaya “mendengarkan” mahasiswa.
Satu hal dilupakan oleh Menristekdikti dan Pemerintah pada umumnya, aksi mahasiswa ini merupakan ujung kekesalan karena desakan (utama) pembatalan RKUHP dan UU KPK yang tidak kunjung disambut oleh pemerintah. Jangankan disambut, sejak awal masyarakat diajak dialog pun tidak.
Semua cara sudah dilakukan sebenarnya, tapi narasi pemerintah seolah menihilkan hal tersebut. Dari tulisan-tulisan di berbagai media massa, talk show di stasiun televisi, sampai aksi-aksi protes damai skala kecil. Ternyata semua upaya ini tidak juga didengarkan. Titik api awalnya adalah ketika UU KPK disahkan Presiden tanpa mendengarkan desakan dan kekhawatiran masyarakat.
Ketika pemerintah abai dengan suara-suara masyarakat, maka wajar kalau akhirnya skala aksi menjadi membesar dan merembet ke mana-mana. Seperti efek bola salju, seluruh elemen jadi terpancing. Dari mahasiswa, dosen, pekerja, sampai pelajar-pelajar.
Lalu, ketika aksi sudah kadung besar seperti ini—dan di beberapa tempat terjadi kericuhan, pemerintah baru kelabakan. Baru berusaha merespons dengan terburu-buru. Lalu berusaha meminta agar aksi jangan dilanjutkan.
Lho, lho, yang sedari awal tidak mendengarkan itu siapa? Kenapa sekarang malah minta didengar? Kita memang hanya perlu waktu dua tahun untuk belajar bicara, tapi perlu waktu seumur hidup untuk belajar mendengar.
BACA JUGA Kompilasi Momen Lucu dan Haru dari Aksi #STMelawan dan artikel Ahmad Khadafi lainnya.