RPUL dan Sebuah Traktiran

Setiap orang mungkin punya pertemuan yang sakral dengan sebuah buku. Pertemuan yang mampu memunculkan gairah keilmuan yang begitu besar dari sebuah buku.

Seorang kawan mengaku menemukan sebuah pencerahan saat membaca buku Catatan Seorang Demonstran-nya Soe Hok Gie, kawan yang lain mengaku mendapatkan pencerahan dan inspirasi maha dahsyat setelah membaca Toto Chan-nya Tetsuko Kuroyanagi.

Seperti halnya kawan-kawan saya, saya juga pernah punya riwayat pertemuan yang sakral dengan sebuah buku. Bukan buku inspirasi, bukan fiksi, melainkan sebuah buku legendaris yang saya yakin banyak anak generasi 90-an pasti mengenalnya.

RPUL. Ya, RPUL. Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap. Sesuai namanya, buku tersebut berisi banyak rangkuman pengetahuan-pengetahuan umum dasar. Tentang geografi, tentang Indonesia, dan tentang dunia.

Sebuah buku legendaris. Wikipedia pada masanya. Buku dengan ketebalan yang nanggung, dengan warna merah menyala. Dengan gambar cover depan yang begitu khas, sangat Depdikbud, dan dengan cover belakang bergambar bendera negara-negara peserta Piala Dunia 98.

Pertemuan saya dengan RPUL adalah sebuah pertemuan yang penuh peluh dan perjuangan.

Saya sebenarnya tidak ingin bercerita soal kemiskinan, namun menceritakan RPUL bagi saya memang tak pernah bisa lepas dari perkara kemiskinan.

Saya mengenal bahwa ada sebuah buku ajaib bernama RPUL saat saya kelas 4 SD. Kelas di mana ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam sedang menjadi mega bintang mata pelajaran.

Saya hanya bisa terkagum-kagum dengan RPUL tanpa bisa memilikinya. Sungguh, empat ribu rupiah adalah harga yang begitu mahal untuk bisa saya (dan keluarga saya) tebus demi bisa memiliki RPUL tersebut.

Impian memiliki RPUL itu akhirnya baru bisa terwujud saya saya duduk di kelas lima. Bayangkan, saya harus menunggu satu tahun untuk bisa memiliki buku ajaib yang harganya sepuluh kali jumlah uang saku harian saya.

Saya mampu membelinya setelah melewati perjuangan yang begitu dahsyat. Menabung menyisihkan uang saku selama genap dua minggu. Perjuangan yang bagi seorang anak kelas lima merupakan perjuangan yang sangat heroik dan layak untuk diceritakan kepada anak cucu.

Sehari sebelum saya membeli buku ajaib tersebut, malam harinya saya benar-benar susah tidur. Saya tidak sabar untuk menunggu esok hari, karena ingin cepat-cepat menyerahkan uang empat ribu rupiah yang saya miliki kepada ibu guru dan menukarnya dengan satu eksemplar RPUL.

Pagi harinya, saking tidak sabarnya, saya berangkat sangat pagi. Hal yang sebenarnya sia-sia, sebab sepagi apa pun saya berangkat, ibu guru tetap masuk kelas pukul 7.

Kesabaran itu akhirnya terbayar lunas. RPUL itu kemudian benar-benar saya beli. Ya, benar-benar saya beli.

Saya cium lembaran-lembaran kertasnya. Ya ampun, bau ilmu pengetahuan.

Saya buka dengan kehati-hatian yang luar biasa. Saya menjaganya layaknya seorang ibu menjaga bayinya yang masih merah. Saya tak membiarkannya buku itu dipinjam orang lain. Kalaupun harus dipinjamkan, saya akan mengawasinya dengan pengawasan yang paling paripurna. Memastikan si peminjam tidak melipat lembaran kertas sebagai penanda halaman. Memastikan si peminjam memperlakukan RPUL saya layaknya hartanya sendiri yang paling berharga.

Boleh percaya boleh tidak, saya bahkan sampai mengeloni RPUL yang saya beli itu. Benar-benar mengeloninya. Meletakannya tepat di sebelah saya saat saya tidur.

Saya benar-benar merasakan, apa yang dinamakan ketakziman terhadap ilmu pengetahuan.

Waktu berlalu. Dan seperti layaknya benda. Ia akan berkurang nilai spesialnya. Begitu pula RPUL milik saya itu.

Berbulan-bulan berlalu. Saya tak lagi menjaganya sebagai bayi merah. Saya mulai ringan untuk meminjamkannya kepada kawan. Saya juga tak sudi lagi mengeloninya saat tidur.

Rasa cinta saya terhadap ilmu pengetahuan agaknya memang mulai berkurang.

Entah kapan persisnya, RPUL itu akhirnya hilang. Entah dipinjam siapa, atau entah nyelip di mana.

Bertahun-tahun kemudian, saya kemudian dipertemukan dengan seorang pria asing di sebuah bar. Saya tanya ia berasal dari mana.

“Suriname,” jawabnya singkat tak antusias.

“Suriname. Paramaribo, ya?” Tanya saya sembari menyebutkan nama ibukota negara Amerika Selatan itu.

Pria itu kemudian berubah muka menjadi begitu girang. Ia tak menyangka, di luar sana, ada orang yang tahu nama ibukota negaranya yang selama ini dianggap antah berantah.

“Kok kamu tahu Paramaribo?”

“Ya, saya tahu. Suriname negara terkenal, Paramaribo juga terkenal,” jawab saya.

Ingatan saya kemudian terlempar ke masa lalu, saat saya hafal nama-nama ibukota negara-negara di dunia, termasuk ibukota Suriname. Tentu saja hafalan saya akan ibukota-ibukota negara-negara di dunia itu terbentuk karena saya sering membaca RPUL yang saya beli, yang pernah begitu saya sayangi itu.

Si lelaki Suriname tampak girang dengan jawaban saya. Dipanggilnya pelayan bar.

“Mas, tambah bir dua. Tagihan mas ini biar saya yang bayar…” ujarnya sembari menunjuk saya.

Saya tak tahu, berapa uang yang ia habiskan untuk mentraktir saya. Tapi yang jelas, pasti lebih dari empat ribu rupiah.

Exit mobile version