Rasa Hormat dan Rasa Sebal yang Melumuri Para Aktivis Reformasi

Mahasiswa UNY dan UGM 1998. MOJOK.CO

Ilustrasi demonstrasi 1998 (Mojok.co)

Reformasi, tidak bisa tidak, memang melahirkan banyak politisi-politisi baru yang naik lewat jalur aktivisme. Banyak aktivis reformasi, utamanya para pentolan-pentolan sentralnya, yang kelak kemudian masuk ke dalam struktural partai, beberapa bahkan menduduki jabatan di pemerintahan.

Tentu saja ada yang kemudian menjadi politisi yang baik, politisi yang kepadanya, jabatan bisa diemban dengan penuh amanah. Namun, tak sedikit yang kemudian menjadi politisi yang menyebalkan dan genit. Sebagian lagi tumbuh menjadi politisi yang begitu militan dan habis-habisan dalam membela partainya.

Maka, tak berlebihan jika kemudian, di sosial media, aktivis-aktivis tua yang kini sudah menjadi politisi tulen seperti Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu, Fahri Hamzah, Desmond Mahesa, Andi Arief, dan beberapa nama lainnya kerap dinyinyiri karena dianggap nggak lagi “ngaktivis” seperti dulu atau terlalu berlebihan membela partai tempat mereka bernaung.

Saya selalu penasaran dengan penilaian para aktivis-aktivis senior atas sikap kawan-kawan seperjuangan mereka yang kini menjadi politisi tulen yang beberapa di antara mereka bahkan duduk di parlemen.

Saya membayangkan, kalau netizen saja bisa sejengkel dan senyinyir itu pada mereka, bagaimana dengan mereka yang dulu pernah berada dalam satu barisan.

Maka, tiap kali bertemu dengan sosok-sosok aktivis senior (untuk tidak menyebutnya tua), saya selalu tertarik dan bersemangat mengorek cerita dari mereka.

“Politisi itu ya memang harus begitu,” kata Mas Eko, salah satu sosok yang dulu pernah sangat aktif di LMND, salah satu organisasi mahasiswa yang beririsan dengan PRD.

“Harus begitu bagaimana?” tanya saya.

“Ya harus membela partainya. Kalau ia sudah jadi kader partai, maka harga diri partai berada di pundaknya, dan membela partai adalah salah jalan untuk menjaga harga diri tersebut.”

“Oke, kalau soal itu, boleh lah. Tapi kalau soal mereka membela kebijakan pemerintah yang menurut kita buruk hanya karena presidennya kebetulan satu partai dengan mereka, atau membela pernyataan pemimpin partai yang sebetulnya menurut nalar kita itu bukan pernyataan yang baik, gimana menurutmu, Mas?”

“Kalau soal itu, tentu saja aku juga sebel, namun sesebel-sebelnya aku sama mereka, aku tidak akan pernah bisa untuk menghina atau mengejek mereka.”

“Lha kenapa, Mas?”

“Begini, Budiman Sudjatmiko yang membela Jokowi, misalnya, atau Andi Arief yang membela SBY, Atau Desmond membela Prabowo. Nah, mau sesebel apa pun aku sama mereka saat mereka bikin twit yang wagu, tetap saja akan selalu ada rasa hormat yang aku junjung pada mereka.”

“Atas?”

“Atas apa yang sudah pernah mereka lakukan. Aku kan selisih beberapa tahun di bawah mereka. Di usia yang sama dengan mereka, aku tidak pernah berani melakukan apa yang pernah mereka lakukan.”

“Misal?”

“Ya di era itu, mereka berani terang-terangan menunjukkan sikap oposisi kepada pemerintah, hal yang sangat membahayakan nyawa mereka. Mereka berani terangan-terangan bikin manifesto, berani terang-terangan mengkritik, berani menghimpun massa dan bahkan tampil di garda depan, lengkap dengan risiko diculik dan disiksa oleh rezim. Jujur, aku nggak berani melakukan apa yang mereka lakukan.”

Saya kemudian beralih ke Mas Alim yang juga ikut dalam obrolan. Mas Alim juga seorang aktivis senior yang dulu aktif di gerakan mahasiswa.

“Kalau Mas Alim juga begitu?”

“Ya, sama. Aku sangar menghormati mereka atas apa yang sudah mereka lakukan. Tidak banyak orang yang berani seperti mereka.”

“Memangnya dulu Mas Alim nggak berani?”

“Nggak lah, Aku nggak berani. Aku pernah diciduk, tiga kali, dan ketiganya merupakan pengalaman yang begitu menakutkan dan menyakitkan.”

“Menakutkan dan menyakitkannya gimana, Mas?”

“Ya bayangkan, saat ditangkap itu, aku dilemparkan ke truk, dari situ saja punggungku sudah merasakan sakit setengah mati. Di kantor polisi, aku diinterogasi karena ikut berorasi. Di sana, aku dipermainkan dan benar-benar dilumpuhkan mentalnya. Aku ditanya sama petugas, ‘Mau minum apa?’ katanya sambil dijejerkan deretan air minum yang semuanya tampak enak seperti sprite, fanta, teh botol, dan sebagainya. Aku jawab, ‘Sprite saja, Pak’, eh sama dia aku dibentak, ‘E dasar nggak tahu diri, maunya minum yang enak-enak’, dari situ saja aku sudah bergidik.”

“Tapi Mas Alim nggak diapa-apain?”

“Untungnya nggak, tapi beberapa kawan bercerita kalau mereka banyak yang ditempeleng, dan itu pengalaman menyakitkan sekaligus traumatis. Siksaan di kantor polisi itu bagi banyak aktivis adalah siksaan awal, sebab ancaman kejahatan atas tuduhan subversif itu mengerikan, bisa-bisa diculik dan bahkan disiksa sampai mati.”

Saya mendengarkan cerita itu dengan bergidik, membayangkan jenis-jenis siksaan yang dulu didapatkan oleh para aktivis.

“Dulu, kalau cuma ditempeleng itu sudah sehari-hari. Jari digenjet meja, persis kayak kriminil. Beberapa temanku yang aktif di teater agak beruntung karena mereka bisa berakting, jadi saat ditempeleng, mereka pasang tampang sakit bukan main, sehingga yang menempeleng bisa timbul iba, tapi kalau yang nggak bisa berakting, ya habis.”

Ingatan saya kemudian melayang pada tulisan kesaksian Nezar Patria tentang masa-masa mengerikan saat dulu dirinya diculik.

“Setelah itu saya dibaringkan di sebuah velbed. Kedua kaki saya diikat kencang pada tepi velbed, dan kedua tangan saya diborgol juga pada tepi velbed. Mereka menanyai tentang aktivitas politik yang pernah saya lakukan, dan selalu saja entah menjawab atau tidak saya disetrum berkali-kali,” begitu tulis Nezar.

Di depan Mas Eko dan Mas Alim, saya menyerutup kopi yang rasanya entah kenapa semakin pahit saja.

Rasa hormat itu, tampaknya menular secara perlahan melalui kopi pahit yang sedang saya serutup.

Exit mobile version