Rafathar Bawa Timezone ke Rumah dan Mimpi Masa Kecil yang Harus Diterima secara Realistis

ilustrasi Rafathar Bawa Timezone ke Rumah dan Mimpi Masa Kecil yang Harus Diterima secara Realistis mojok.co

ilustrasi Rafathar Bawa Timezone ke Rumah dan Mimpi Masa Kecil yang Harus Diterima secara Realistis mojok.co

MOJOK.COMal tutup, Rafathar beli mesin permainan Timezone buat diletakkan di rumahnya. Praktis, ini adalah mimpi sebagian besar anak-anak kecil.

Timezone mencuri perhatian saya ketika saya masih SD. Betapa gandrungnya saya main ke mal hanya untuk berburu tiket atau kupon Timezone yang kalau dikumpulkan bisa dapat hadiah macam-macam. Dulu, saya merasa masuk arena permainan Timezone bagaikan berjudi di Casino, tapi kids friendly. Sayangnya ibu dan ayah saya selalu kewalahan jika anak-anaknya sudah mengumbar uang jajan untuk permainan yang sebenarnya ya gitu-gitu doang. Ya maklum, orang tua saya bukan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina, saya juga bukan Rafathar.

Seperti kebanyakan orang di negeri ini, mendengar Rafathar beli mesin permainan Timezone buat diletakkan di rumahnya, saya memang cukup iri. Kok ya enak banget. Dia nggak perlu susah-susah isi ulang kredit di kasir, mana nggak perlu antre sama bocah-bocah lain yang pengin memainkan mesin yang sama. Sependek ingatan saya, permainan basket itu yang paling digandrungi bocah-bocah karena bisa pamer skill dan banyak-banyakan menang kupon. Sedangkan Rafathar mah, nggak usah bergumul dengan sekelompok abang-abang yang selalu punya skor lebih keren dan bolak-balik mengulang permainan sampai yang antre di belakangnya rasanya jiper. Rafathar ingin sesuatu, maka terjadilah.

Melihat berita Rafathar mindahin Timezone ke rumah memang bikin saya iri, tapi nggak sampai bikin saya terusik akan kekayaannya. Ya, wajar. Nggak heran. Justru yang bikin agak gemas adalah, saya jadi teringat mimpi saya di masa kecil ketika saya berangan-angan jadi anak sultan dan bisa membawa serta segala hal menyenangkan ke dalam rumah. Padahal di usia yang sudah lumayan ini, saya sudah berdamai dengan mimpi masa kecil yang nggak mungkin kesampaian itu. Istilahnya, saya sudah mencoba realistis sama keadaan dan keuangan. Tapi, dalam kasus Rafathar, angan-angan itu sudah jadi kenyataan.

Saya ingat betul angan-angan menjadi anak sultan itu muncul setelah saya menonton film Richie Rich di televisi. Film lawas itu dibintangi Macaulay “Home Alone” Culkin yang wajahnya selalu muncul di tivi menjelang Natal. Film itu menceritakan seorang anak yang begitu kaya, rumahnya gede banget, dan pembantunya banyak banget. Bocah sekecil itu sudah begitu swag di mata saya yang juga dulu masih kecil. Richie yang tajir melintir juga punya McD di rumahnya, aduhai betapa senang.

Berkat Richie Rich saya jadi menyulam angan-angan sendiri andai bapak saya beneran dapat rezeki luar biasa dan saya termaktub sebagai anak sultan. Saya bakal minta rumah saya dibuatkan ruang bawah tanah yang isinya adalah kamar saya sendiri, ruang permainan bowling, sofa plus televisi, dan arena Timezone. Bila perlu, Indom*ret juga diletakkan di sana. Tentu dengan begini saya bisa pamer ke kawan-kawan saya, mereka pasti bakal loyal banget ke saya karena bisa setiap hari main di ruang bawah tanah. Saya bisa jadi boss gank karena hanya saya yang punya segala jenis keseruan duniawi yang dimimpikan anak-anak.

Bermimpi memang bikin ngiler, sih….

Untungnya saya cukup waras untuk nggak meminta semua itu ke orang tua saya. Sebab saya tahu mereka hanya akan tertawa mendengar keinginan saya punya ruang bawah tanah macam itu. Lagi pula, keinginan macam itu benar-benar saya sadari sebagai sebatas khayalan. Sampai akhirnya setelah melamun saya pun melaksanakan solat lima waktu, minta masuk surga, biar di surga saya bisa minta dibikinkan ruang bawah tanah yang seru.

Ketika dewasa dan bisa cari uang sendiri, yang bisa saya lakukan buat mengobati lamunan nggak kesampaian ini adalah dengan kembali pergi ke Timezone. Bedanya, kali ini saya bisa isi saldo cukup banyak tanpa dimarahi orang tua. Saya bisa main basket layaknya abang-abang yang bikin jiper bocah, saya juga bisa main Pump it Up sampai lima ronde sekaligus, istirahat, lalu main lagi. Saya pun sudah nggak terobsesi ngumpulin tiket Timezone buat ditukarkan dengan boneka dan aneka pernak-pernik lainnya. Sebab apa? Sebab saya sudah paham bahwa ini semua hanyalah trik marketing biar saya main dan main lagi.

Jadi Rafathar yang bisa bawa Timezone ke rumah memang enak, jadi pembantunya Rafathar juga enak bisa nebeng main. Tapi, lebih enak jadi saya yang waktu kecil merasakan deg-deganya mencet tombol start untuk memulai permainan. Sebab, saya mempertaruhkan uang buat dapat banyak tiket demi ditukarkan. Rafathar juga mungkin jarang merasakan bahagia luar biasa ketika main Dino Time dan dapat jackpot. Suara mesin mengeluarkan tiket kertas tiada henti itu bahkan masih saya rasakan hingga sekarang.

BACA JUGA Jadi Anak Orang Kaya Kayak Rafathar Itu Salah Banget Ya di Matamu? dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.

Exit mobile version