3 Alasan Polisi Tidur Dihapuskan Saja Dari Muka Bumi

polisi tidur dihapus saja

MOJOK.COTujuannya untuk keselamatan pengendara, polisi tidur justru merepotkan dan mencelakakan. Apa alasannya polisi tidur harus dihapus dari muka bumi?

Jujur saja, tidak semua jalan raya di Daerah Istimewa Yogyakarta beraspal mulus. Ring Road, jalan lingkar pun aspalnya tambal sulam, tidak rata. Hasil penambalan lubang tidak sempurna. Jadi ketika mengendarai mobil atau motor dengan kecepatan di atas 60 km/jam, “kontraksinya” akan terasa. BTW, ngebut di jalan lingkar memang pada tempatnya.

Nah, kalau jalan lingkar yang notabene terdapat jalur cepat di situ aspalnya seperti kulit berjerawat, jangan tanya soal jalan raya di dalam kota. Jalan Kaliurang yang padat itu pun tidak ketinggalan. Jalan Raya Solo? Sama saja. Tidak rata. Pengaspalan secara menyeluruh dan rata dilakukan (biasanya) menjelang Idul Fitri saja, ketika masa-masa mudik menjelang.

Jalan bergelombang, aspal tidak rata, macet apalagi, terkadang, masih bisa saya maklum. Namun, ketika ada “sebuah halangan” ditambahkan di sana. Rasanya seperti naik darah. Mendidih, ketika tubuh ini njumbul dan bikin perut sama punggung sakit. Sebuah halangan yang saya maksud adalah munculnya polisi tidur.

Betul, polisi tidur, “alat pengendali kecepatan” itu. Menurut saya, polisi tidur ini lebih baik dihapus saja dari muka bumi ini. Mengapa?

1. Tidak efektif selama manusianya masih goblok.

Pembaca Mojok sering wara-wiri di Jalan Kaliurang yang melewati UGM? Jika lewat sisi timur Fakultas Kedokteran, atau sebelah barat GSP UGM, kamu akan mendapati banyak polisi tidur. Bisa pagi, atau sore ketika jalanan cukup padat, coba kamu lewat sana. Pelan-pelan saja.

Jadi, polisi tidur di Jalan Kaliurang itu dipasang bergerombol. Ada yang empat, ada yang sampai lima dalam “satu kelompok”. Bentuknya kecil, hampir persegi, dan pedes juga di pantat kalau memaksa melewatinya dengan kecepatan tinggi. Masalahnya, polisi tidur itu tidak dipasang di sepanjang jalan membujur, tetapi hanya setengah jalan saja.

Jadi, sisi kiri terdapat polisi tidur, lalu sisi kanan nggak. Selang beberapa meter, gantian sisi kanan yang ada, sisi kiri tidak ada. Hal ini jadi masalah ketika pengendara sengaja berjalan hampir di tengah (jalur cepat), mengurangi kecepatan, lalu masuk ke jalur berlawanan untuk menghindari polisi tidur yang rombongan itu. Kamu pernah melakukannya, kan? Ngaku o, ndes!

Ketika si pengendara secara tiba-tiba berpindah ke tengah jalan, pengendara lain di belakangnya rentan gelagapan, mengerem mendadak disertai makian-makian variatif. Risikonya adalah terjadi tabrakan beruntun. Polisi tidur, yang dimaksudnya supaya pengendara mengontrol kecepatannya, justru tidak bisa mengontrol kegoblokkannya.

Jadi, solisinya? Aturan di Jalan Kaliurang barat GSP UGM itu sudah sering berubah. Terutama bagi mahasiswa yang keluar dari Gedung Fakultas Kedokteran dan nyelonong tanpa mengerem. Supaya kegoblokkan itu tidak semakin lestari, mending jalan itu ditutup saja. Jadi, yang dari arah Kota Jogja mau ke Kabupaten Sleman bisa berputar lewat Klaten sekalian.

2. Gobloknya penghuni kampung ketika memasang polisi tidur.

Kamu tahu, memasang polisi tidur itu butuh izin dari Kepala Dinas Perhubungan. Ha mbok saya yakin, banyak kampung yang tidak izin dulu ke Dinas Perhubungan sebelum membangun polisi tidur.

Masalahnya begini. Polisi tidur menjadi barang yang menjengkelkan ketika jalan di kampung itu sudah seperti “Jalur Gaza”. Jalanan pakai konblok rusak berlubang-lubang, hirup pikuk anak-anak berlarian menyeberang jalan, bapak-bapak dan pemuda duduk di pinggir jalan, sampai ibu-ibu menjemur kasur ketika matahari bersinar terik. Ramai dan penuh marabahaya.

Penuh marabahaya ketika kita melajukan motor sedikit lebih cepat. Jadi, pengendara yang goblok pun harusnya sadar kalau dia tidak bakalan bisa ngebut. Mau ngebut sedikit, dia bakal diteriaki dan dimaki bapak-bapak yang nongkrong di pinggir jalan, atau kalau sampai menyerempet bocah-bocah kecil, wah, bisa dihajar satu kampung. Pun ngebut sedikit, badannya akan berguncang 5 skala Richter karena jalanan berkonblok yang naudzubillahimindzalik seperti habis kena bom nuklir itu. Sudah seperti itu pun, warga masih masang polisi tidur. Masyaallah.

Mungkin sebenarnya warga ini nggak mau ada yang lewat di jalanan penuh marabahaya ini. Ha lebih baik ditutup saja.

3. Polisi tidur dibuat tidak sesuai aturan.

Kamu harus tahu kalau membuat polisi tidur itu ada aturannya, yaitu Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 3 Tahun 1994 Tentang Alat Pengendali dan Pengaman Pemakai Jalan. Pasal 4 di dalam aturan tersebut menyebutkan bahwa polisi tidur hanya boleh dibangun di lingkungan permukiman, jalan lokal kelas IIIC, dan yang sedang dilakikan pekerjaan konstruksi.

Pasal 5 berisi: harus punya tanda garis serong berupa cat warna putih supaya pengendara bisa melihatnya dari jarak jauh.

Pasal 6: harus serupa trapesium dengan tinggi maksimal 12 sentimeter, sisi miring dengan kelandaian maksimal 15 persen, dan lebar datar atas maksimal 15 sentimeter. INI PENTING: bahan pembuat harus sama dengan bahan pembuat badan jalan.

Aturanya, sih, sudah sangat detail. Namun, nyatanya, orang malas untuk susah payah menghitung dan merancang sesuai aturan. Dibuat semaunya, pokoknya ada, dan sukses bikin pengendara njondil.

Yang terjadi adalah banyak yang tingginya minta ampun. Sampai-sampai kalau naik Yamaha Mio, kamu harus berjalan menyerong supaya bisa melewat halang rintang itu. Setelah susah payah berjalan nyerong, perlahan-lahan, sukses mendaki polisi tidur itu sudah seperti kebahagiaan ketika sukses mendaki Gunung Kilimanjaro.

Selain ada yang tingginya ngawur, ada juga yang justru kecil saja, tapi banyak. Jadi, ketika lewat “satu rombongan” polisi tidur itu rasanya sudah seperti atlet motor cross atau downhill. Perut berguncang, apalagi yang tambun, itu sakit. Buat para perempuan, ketika datang bulan dan lewat polisi tidur yang dibuat secara asal-asalan itu juga sakit banget, FYI aja.

Saya sih paham kalau ini dibangun demi keselamatan pengendara. Tapi sayangnya, yang terjadi adalah tidak dibuat sesuai aturan dan gagal “mencerdaskan” pengendara. Kalau sudah tidak ada faedahnya, lebih baik dihapus saja dan diganti alat yang baru. Tentunya yang lebih ramah dan efektif.

Exit mobile version