MOJOK.CO – Menarik kesimpulan kayak gitu hanya karena Imam Nahrawi sang menpora berlatar belakang Nahdliyin dan karena KPK ada “Taliban”-nya itu lebay sih.
Reaksi publik terhadap penetapan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi sebagai tersangka korupsi ini memang agak aneh. Tidak seperti politisi lainnya yang kena kasus tindak pidana korupsi (tipikor), penetapan tersangka Imam Nahrawi cukup unik karena publik malah jadi kayak terbelah.
Coba deh mari kita lihat ke belakang kasus-kasus korupsi besar yang terjadi. Setya Novanto misalnya, hampir tidak satu pun pihak yang melihat bahwa kasus ini adalah bentuk kezaliman KPK terhadap pejabat negara—kecuali menurut Friedrich Yunadi, pengacara Setnov, yang akhirnya juga ikut-ikutan masuk bui. Saya pikir lebih banyak pihak yang sepakat, Setnov memang layak dipenjara.
Atau kalau mau menengok kasus yang hampir setara secara latar belakang pihak yang disangkakan, kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang terjadi pada Ketua PPP Romahurmuziy (Gus Rommy), juga tidak memancing keributan seperti yang dialami Imam Nahrawi.
Padahal secara kultural, keduanya adalah kelompok Nahdliyin juga. Tapi pembelaan terhadap Gus Rommy tidak pernah muncul seperti pembelaan terhadap Imam Nahrawi. Bahkan Gus Rommy seperti “dibuang” begitu saja, tak ada yang membela. Bisa jadi karena bentuk penetapan tersangkanya adalah OTT, jadi lumayan sulit dibantah.
Imam Nahrawi sendiri diduga menerima suap dari KONI. “Total dugaan penerimaan Rp26,5 miliar tersebut diduga merupakan commitment fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora tahun anggaran 2018,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Kasus korupsi ini sebenarnya sudah diendus sejak 18 Desember 2018. Ketika KPK menggelar OTT kepada beberapa oknum Kemenpora dan KONI. Saat itu ada 9 orang yang ditahan. Dari gelar perkara ini kemudian muncul nama Mr. X, yang merujuk pada Imam Nahrawi.
Atmosfer berbeda tampak ketika Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menggelar aksi demonstrasi terhadap KPK, sebagai respons Imam Nahrawi jadi tersangka. Bahkan secara tertulis, Pengurus Besar (PB) PMII mengeluarkan seruan untuk mendemo penetapan KPK ini di berbagai daerah di Indonesia.
Menurut laporan dari CNN, beberapa poin yang menjadi tuntutan adalah segera usir kelompok “Taliban” di KPK, meminta KPK tidak menjadi alat politik, dan memeriksa unsur pimpinan dan penyidik KPK.
“Terlepas dari Mas Imam adalah senior PMII, kita juga melihat bahwa kondisi di internal KPK sendiri itu terlalu politis dalam mengambil langkah-langkah,” kata Koordinator Nasional PMII M. Syarif Hidayatullah.
“Hubungan kelompok ‘Taliban’ kita lihat hari ini bahwa bukan hanya pemerintah yang akan diganggu, tapi juga yang berlatar belakang Nahdliyin karena kan kita lihat Imam Nahrawi sebagai kader PMII, notabenenya kader muda NU,” tambahnya lagi.
Melihat pernyataan demikian, saya kira ini agak berlebihan. Apalagi jika menarik kesimpulan kalau penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka karena sang Menpora berlatar belakang Nahdliyin. Apalagi hanya berdasar tuduhan ada “Taliban” di tubuh KPK (yang sampai sekarang masih berupa indikasi dan belum bisa dibuktikan).
Penetapan Imam Nahrawi ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kapasitas beliau sebagai kader muda NU. Kenyataannya, ketika Gus Rommy ditetapkan sebagai tersangka, tak ada satu pun organisasi aliansi dari NU yang mendemo KPK tuh?
Artinya, dugaan serangan ini hanya didasarkan pada isu “Taliban” di tubuh KPK dan ya karena… tersangkanya adalah kader PMII. Wis kuwi thok. Nggak jauh-jauh. Coba kalau Imam ini bukan kader PMII, tapi kader KAMMI misalnya. Ya nggak mungkin ada demo dari PMII. (Ya iyalaaah, Bambaaang. Beda organisasi ituuuu.)
Masalahnya, penetapan ini datang pada momentum yang agak riskan secara politik. Di saat KPK sedang diobok-obok melalui UU KPK yang baru, penetapan ini seperti counter attack tiba-tiba ke pemerintah. Kebetulan, pihak pemerintah ini juga punya afiliasi kuat dengan anak-anak muda NU dalam wadah PMII.
Jika melihat ini sebagai upaya “tebang pilih” KPK seperti yang dituduhkan, hal ini juga agak kurang tepat. Sebab, dengan menetapkan Imam Nahrawi sebagai tersangka, KPK justru berisiko memunculkan titik api baru.
Bukannya makin dapat simpati, mereka akan semakin jadi bulan-bulanan. Yah, paling tidak hari ini kita sudah lihat beberapa kader PMII yang juga kader muda NU ikut-ikutan “nyerang” KPK. Tentu dengan narasi, yang diserang adalah “Taliban” di dalam KPK, bukan KPK secara institusi utuh.
Kalau saya yang jadi KPK dan memang berniat “tebang pilih”, saya jelas akan menunggu dulu soal penetapan Imam Nahrawi sebagai tersangka. Dukungan publik terhadap KPK sedang gencar-gencarnya nih. Kalau hanya demi melakukan serangan balik tapi diserang dari front baru begini kan ya jadi “Loris Karius” (baca: blunder) juga.
Poinnya adalah, saya tidak keberatan sama sekali PMII mau menggelar aksi demo atas senior mereka yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Itu wajar saja, lagian juga masih “pihak yang disangka”. Artinya, ya belum benar-benar korupsi. Masih disangka doang. Ya boleh-boleh aja sih kalau nggak terima lalu memproklamirkan ketidaksetujuan itu ke ruang publik.
Hal yang bikin kurang sepakat ya soal tuduhan “Taliban” itu sendiri. Belum ada pembuktian kok kalau benar-benar ada Taliban di tubuh KPK. Tapi kenapa seolah-olah narasi ini sudah diyakini menjadi fakta ya? Masak, asalkan itu menyerang kita, lalu kita jadi mengamini begitu saja tanpa perlu pembuktian?
Di sisi lain, buru-buru menyalahkan PMII hanya karena demo ke KPK juga tidak sepenuhnya tepat. Sebab, seperti yang tadi sudah disebutkan, penetapan Imam Nahrawi menjadi tersangka ini agak berbeda dari Gus Rommy. Pada kasus ini, Imam Nahrawi disangkakan bukan dalam wujud OTT. Hal ini mungkin yang bikin PMII berani menggelar unjuk rasa.
Cuma ya itu tadi, apa PMII tahu risiko dari demo ke KPK ini? Siap dengan citra buruk yang bisa saja menerpa salah satu organisasi mahasiswa yang turut menggulingkan Orde Baru?
Ya kan bisa aja ke depan misalnya bakal ada selentingan, “Idih, organisasi mahasiswa yang menggulingkan pemerintahan korup kok bisa-bisanya dukung tersangka korupsi sih?”
Kalau PMII memang sudah siap dengan risiko dan punya segala macam argumentasi untuk membenarkan aksi ini sih, ya monggo-monggo aja demo. Cuma saya pesen satu, demonya yang santuy ya. Oh iya, Aksi 212 mungkin bisa jadi contoh tuh. Eh.
BACA JUGA Salah Apa HMI Kok Dihujat? atau artikel Ahmad Khadafi lainnya.