Plus dan Minus Merangkul Ahok Setelah Bebas dari Mako Brimob

Ahok bebas MOJOK.CO

MOJOK.CO Setelah bebas dari Mako Brimob, ke mana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok alias BTP akan berlabuh? Perlu merangkul beliau? Pertimbangkan plus dan minusnya.

Kamis (24/1), Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, atau yang saat ini ingin dipanggil BTP, resmi bebas dari masa hukuman. Setelah 1 tahun 8 bulan dan 15 hari, setelah tersandung kasus penodaan agama terkait pernyataannya soal Surat Al-Maidah 51, BTP bisa menghirup udara segar. Rona bahagia dan cap enam jari mewarnai bebasnya Ahok dari Mako Brimob.

Sementara itu, di luar Mako Brimob, Ahoker sudah menunggu dengan begitu setiap. Sejak Rabu (23/1) malam, Ahoker berkumpul, berdiang ditemani nyala lilin, duduk tenang di atas trotoar, menantikan pujaan hatinya bebas dari penjara. Kebebasannya sudah sangat dinanti. Jangan salah, bukan hanya Ahoker, tapi “tangan-tangan” yang sudah siap merangkul.

Merangkul? Yup, betul. Begini, Ahok memang tidak bisa direkrut menjadi menteri, jadi anggota DPR, apalagi masuk dalam proyeksi calon presiden di masa depan. BTP divonis hakim menggunakan pasal 156a KUHP tentang penistaan agama. Ancaman kurungan maksimal 5 tahun. Ini akan berdampak terhadap karier politik Ahok.

Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), mengatakan pasal yang menjerat memastikan Ahok tidak bisa menjadi menteri. Sebab, dalam pasal 22 ayat 2(f) Undang-Undang Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara menyebutkan seseorang yang “melakukan tindakan pidana yang diancam … penjara 5 tahun atau lebih” tidak boleh diangkat menjadi menteri oleh presiden.

Begitupun bila Ahok berkeinginan menjadi presiden atau wakil presiden. Mengacu pada Peraturan KPU nomor 15 tahun 2014 tentang pencalonan dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden, dalam pasal 10 huruf n, disyaratkan bahwa riwayat calon presiden maupun wakil presiden tidak boleh pernah dipidana dengan ancaman hukuman penjara lima tahun atau lebih. Untuk menjadi anggota DPR pun, Ahok tidak bisa karena ada aturan yang sama.

Jadi, BTP tidak akan masuk ke dalam dunia politik (dalam waktu dekat atau selamanya). Namun, kita tentu tidak bisa melepas citra diri dan pengaruh yang dibawa seseorang. Suara manusia, bisa jadi, sifatnya lepas dari posisi berdirinya saat ini. meski tidak lagi berada dalam lingkaran terdalam dalam ekosistem politik, BTP tetap punya suara yang “berat”.

Keberadaan Ahoker dan para pengagum yang “tidak terdaftar secara resmi” atau tidak secara terbuka mendukung jumlahnya sangat besar. Dan, militansi Ahoker sendiri terlihat ketika BTP akan keluar dari penjara. Mundur ke belakang, film A Man Called Ahok ditonton lebih dari satu juta orang. Tentu tidak semuanya pendukung. Namun, aman untuk dikatakan 60 persen lebih dari satu juta penonton adalah pengagum beliau.

Beberapa pilihan karier Ahok selepas bebas terbentang dari pembicara, dosen tamu, hingga Ketum PSSI. Kita bisa melepaskan variabel terakhir jika melihat dinamika di dunia sepak bola saat ini. persentasenya terlalu kecil jika BTP ingin jadi Ketum PSSI. Meskipun perlu dicatat juga, politik adalah “seni tentang ketidakmungkinan”.

Menjadi pembicara dalam seminar atau dosen tamu menempatkan BTP ke bawah sorot lampu. Suaranya akan tetap berbobot dan memberi dampak. Toh, selama memegang jabatan publik, sifat frontal dan tanpa takut menentang “kejahatan” sukses bikin banyak orang jatuh cinta.

Inilah sisi “plus” dari merangkul Ahok. Suara yang berbobot dan besarnya pendukung membuat Ahok bisa menjadi “juru bicara” yang ideal. Seperti misalnya ketika ia mengimbau Ahoker untuk tidak golput. Sedikit banyak, imbauan itu berdampak kepada jumlah golput atau swing voter pecinta BTP.

Jika potensi ini bisa “dipegang” oleh kubu tertentu, potensi suara (atau pengaruh) yang besar berhasil dirangkul. Tinggal dimanfaatkan, apakah untuk bertahan dari serangan lawan, atau menjadi salah satu senjata andalan menyerang kebijakan lawan. Suara, seperti menjadi inti dari semua kehidupan politik. Suara rakyat, suara tokoh, yang menentukan siapa yang akan berkuasa.

Bisa kita lihat buktinya di Juli 2018 ketika PKS pun bersedia “menampung” BTP asal bertobat. PKS, yang notabene menjadi salah satu motor gerakan 212 paham dengan kekuatan yang dibawa Ahok. Sempat beredar kabar juga bahwa BTP akan bergabung ke PDIP. Dinamika itu menjadi gambaran betapa seksinya suara BTP.

Menampung BTP bisa menyiratkan bahwa kubu tertentu itu toleran, pemaaf, arif bijaksana, dan dewasa secara politik. Namun, menghitung sisi minus tetap kudu dilakukan.

Nah, sisi minusnya, mereka yang akan merangkul Ahok harus menyiapkan diri mendapat status “pendukung penista agama”. Masifnya politik identitas saat ini membuat status seperti itu sungguh sensitif. Meskipun kita tahu, di politik, tidak ada yang namanya agama.

Jika pendekatan yang dilakukan tidak berjalan dengan lancar, Ahok kecewa, atau muncul indikasi negatif, Ahoker bisa menjadi “lawan diskusi” yang berbahaya. Mereka militan, didukung barisan milenial yang melek politik dan teknologi. Dan yang paling berbahaya: solidaritas di antara Ahoker cukup bagus.

Menjadikan Ahoker sebagai lawan menjelang coblosan tentu bukan langkah yang bijak. Jadi, supaya suara BTP (dan pendukungnya) tidak sumbang ke salah satu kubu, merangkul dengan tempo dan strategi yang tepat perlu dipertimbangkan.

Exit mobile version