Pengin Poligami Gara-Gara CLBK sama Mantan Pacar

MOJOK.COKecemburuan perempuan terhadap pasangan, bukanlah sesuatu yang tidak beralasan. Lha wong ternyata, ada lelaki yang pengin poligami mantan pacar karena CLBK.

Baru-baru ini beredar kabar dari catatan Pengadilan Agama Kota Semarang, tentang peningkatan pengajuan izin poligami di Kota Semarang. Menariknya dari catatan ini, di tahun 2019—yang baru berjalan hampir sebulan, beberapa pemohon yang berniat poligami di antaranya masih berusia muda. Dari 4 pengajuan yang sudah masuk di tahun ini—dua pemohonnya masih berusia 30 tahunan, sementara sang calon berusia 20 tahunan.

Salah satu di antara pengajuan yang masuk tersebut, ada yang ndilalah memutuskan untuk menikah lagi dikarenakan ia bertemu dengan sang mantan, lalu diduga benih-benih cinta lama bersemi kembali a.k.a CLBK. Ternyata, dulunya mereka berpisah karena nggak dapat restu dari orang tua. Nah, sekarang, mereka nekat untuk dapat bersatu kembali dengan mengharap restu dari istri pertama. Hah, apa mereka kira minta izin ke istri pertama lebih mudah daripada ke orang tua??!!! Lalu se percaya diri itu memutuskan untuk berpoligami??!!!

Betul, memang tidak ada yang salah dengan keputusan untuk berpoligami. Toh keputusan tersebut sudah dicatatkan secara resmi di KUA, yang artinya telah melewati sebuah proses yang cukup panjaaaaaaaaanggg dan ruwee37t: meminta izin nikah ke istri pertama.

Jadi, dari kejadian ini, kita tidak perlu lagi mempertanyakan, kenapa kok perempuan mudah cemburuan, hingga menaruh curiga pada mantannya pasangan? Ya, mohon maaf, sebetulnya ini adalah insting naluriah perempuan yang berusaha selalu siap siaga dalam mengamankan hal-hal yang kira-kira dapat merusak kebahagiaan harta yang paling berharga.

Saya sungguh sulit membayangkan, bagaimana perasaan istri pertama yang tahu bakal dipoligami sama mantan pacar suaminya sendiri. Begini ya, saya kasih tahu. Jangankan ngelihat pasangan yang ternyata masih seneng stalking mantannya. Mendengar nama sang mantan disebut saja, dengan mudahnya bikin hati, nyosss. Lalu perlahan muncul berbagai imajinasi tentang…

…bagaimana dulu mereka menjalin hubungan. Apa saja janji-janji yang pernah diucapkan. Apa saja mimpi-mimpi bersama yang pernah tertautkan. Sudah sejauh apa kebiasaan yang mereka lakukan. Aaaah. Lha ini, ujug-ujug si mantan yang diam-diam menjadi musuh bebuyutan—padahal kenal aja nggak—itu, jelas-jelas muncul di depan mata untuk dijadikan istri kedua. Dijadikan partner halal suami sendiri. Gilak, kalau permintaan izin poligami direstui, kira-kira terbuat dari apa, ya, hatinya istri pertama ini?

Sebetulnya, dari kasus ini kita bisa mempelajari sesuatu. Ketika keputusan untuk berpoligami bisa-bisanya didasarkan karena munculnya perasaan lama yang pernah ada, kita memang betul-betul tidak sepatutnya menganggap remeh masalah hati. Hubungan romantis yang pernah terjalin dengan mantan pacar dan dianggap selesai itu, ternyata masih meninggalkan rasa semriwing di dada. Bahkan setelah ia menikah, punya anak—dan istri pertama jelas-jelas masih hidup, ada, dan mendampingi.

Jika ada yang memberikan nasihat bahwa salah satu cara untuk move on adalah dengan menikah, sepertinya kesimpulan tentang petuah ini tidak dapat diilhami begitu saja. Lha wong, sudah menikah saja, keinginan untuk balikan sama mantan masih begitu kuatnya. Dengan jalan poligami pun, dijabanin. Perkara adil apa nggak, itu urusan nanti. Yang penting dapat restu dan hasrat ‘untuk memiliki’ terlampiaskan terlebih dahulu—dalam tempo sedekat-dekatnya!

Jadi, keputusan untuk terburu-buru menikah supaya rasa yang yang ada ingin lebih cepat terlupa, sepertinya tidak tepat. Apalagi, jika menjadikan pernikahan sebagai salah satu media untuk menunjukkan diri kita terlihat lebih baik-baik saja dibandingkan si mantan pacar. Ayolah, Malih! Menikah bukan sekadar ajang perlombaan macam lomba lari kancil dan siput: siapa cepat, dia menang. Terus lebih dulu dapat piala bergilir angkatan karena sudah sold out.

Memang, tidak ada yang salah dengan sebuah perasaan. Lagipula, adalah sesuatu yang manusiawi jika kita bertemu dengan seseorang yang pernah ada di hati, lalu terasa mak ser. Gejolak yang dulu pernah ada, muncul kembali. Apakah ini namanya jatuh cinta cinta lagi? Apalagi ternyata…

…dia juga masih menyimpan rasa yang sama. Oh tidaaakkk! Apakah ini sebuah pertanda, untuk mengikuti kata hati yang tak katanya tak pernah berdusta?!

Eits, tunggu dulu, tunggu dulu. Saya kasih tahu ya, Kisanak. Tidak sepantasnya kita selalu menganggap setiap mak ser yang muncul adalah jatuh cinta yang harus ditautkan. Memang, perasaan adalah naluriah, namun yang perlu kita ingat, kita punya tanggung jawab untuk mengelolanya. Kita tidak bisa dengan mudahnya menuruti hasrat begitu saja—apalagi berdalih, dengan poligami hasrat itu nilainya jadi pahala, pahala, dan pahala. Bukankah kekuatan dalam sebuah hubungan tidaklah sekadar getaran cinta? Namun juga komitmen dan kesetiaan?

Jadi, daripada terlalu menggebu ingin membahagiakan banyak orang—apalagi dengan alasan kasihan sama mantan yang masih sendirian. Lebih baik mak ser yang berlebih itu, difokuskan untuk satu orang saja. Tidak semua mak ser harus dituruti, Malih!!11!!

Exit mobile version