Penderitaan Karena Dikenal Algoritma Facebook Sebagai Orang yang Gemar Bersedekah

Ketika saya menyambangi halaman donasi yang tampil di beranda Facebook satu kali saja, maka Facebook melalui mekanisme yang dinamakan pixel tracking kemudian mengenali saya sebagai pribadi yang gemar bersedekah

donasi facebook

Lelaki tua dengan kaki kanan yang pincang itu hidup dalam keadaan yang sangat memilukan. Ia tidak punya anak dan istri, bapak,ibu, dan saudara-saudaranya sudah meninggal, ia hidup sendirian sebatang kara di gubuk reyot di tepi kampung. Makanan sehari-hari yang bisa ia makan bergantung pada perolehan kayu bakar yang ia cari di hutan lalu ia jual. Ketika kemudian ada iklan penggalangan donasi untuk membantu lelaki malang itu yang digalang oleh salah satu yayasan lewat di beranda Facebook saya, maka tak butuh waktu yang lama bagi saya untuk segera membukanya dan segera mentransfer sejumlah uang. Tentu saja saya berharap donasi yang saya berikan itu akan bermanfaat dan membantu kehidupan si lelaki tua.

Saya memang merasa ngeri ketika membayangkan seandainya saya berada di posisi lelaki tua itu. Pastilah saya sudah sangat depresi. Hidup sendirian, dengan kaki yang pincang, dalam gubuk yang hanya 2 x 3 meter, dengan makanan yang sangat terbatas, tanpa hiburan, dan dengan harapan hidup yang harus diecer setiap harinya.

Dengan membayangkan penderitaan itulah, saya merasa agak ringan untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk berdonasi.

Donasi tersebut berhasil menimbulkan semacam ketenangan dalam diri saya. Betapa sebagai manusia, saya, melalui uang yang saya donasikan, masih bisa bermanfaat bagi orang lain yang sedang kesusahan.

Hal tersebut, sepintas lalu memang memang terasa luhur dan menyenangkan. Sampai kemudian, algoritma Facebook itu bekerja.

Ketika saya menyambangi halaman donasi itu, maka Facebook melalui mekanisme yang dinamakan pixel tracking kemudian mengenali saya sebagai pribadi yang gemar bersedekah. Atribusi itulah yang kemudian ditawarkan kepada para pengiklan dari lembaga-lembaga penyalur bantuan yang memang menyasar akun dengan karakter-karakter gemar bersedekah seperti akun saya.

Maka, hanya butuh waktu beberapa jam untuk membuat beranda Facebook saya dipenuhi oleh iklan-iklan donasi untuk orang-orang dengan kondisi yang, bukan hanya nyaris sama menderitanya dengan si lelaki tua yang hidup sendiri di gubuk itu, namun juga yang lebih menderita dan memprihatinkan.

Timeline Facebook yang secara default setiap 3-5 postingan selalu diselipi oleh iklan itu menjadi penuh dengan visual yang memperlihatkan orang-orang dengan kondisi ekonomi tidak baik-baik saja.

Melalui beranda Facebook, saya mulai akrab dengan banyak orang-orang yang menderita. Melalui beranda itulah, saya berjumpa dengan seorang bayi yatim-piatu penderita hidrosefalus, bertemu dengan lelaki tanpa kaki yang harus berkeliling terminal menjajakan air mineral, bertemu dengan nenek pencari bunga kamboja yang belum tentu setiap hari bisa makan.

Beberapa kisah yang lain tak kalah memilukan, seorang penjual mainan yang berkeliling belasan kilo namun tak satu pun dagangannya laku. Atau seorang tunanetra penjual cemilan yang beberapa kali sering ditipu oleh orang yang mengaku ingin membeli dagangannya.

Setiap kali bertemu dengan kisah menyedihkan itu, hati saya sedih. Penderitaan yang mereka alami itu bahkan membuat saya, pada titik tertentu, “menggugat” kecil-kecilan kepada Tuhan. Kenapa mereka harus merasakan cobaan seberat itu?

Parade penderitaan itu lewat setiap hari. Dan orang-orang yang bernasib tak baik-baik saja itu nyaris selalu berhasil mengetuk hati saya untuk mendoakannya. Sebagian kecil dari mereka berhasil membuat saya mendonasikan sebagian uang saya.

Sekali lagi, tiap kali saya mendonasikan uang saya, maka terbit ketenangan dalam diri saya.

Kelak, ada semacam pergulatan keinginan dalam diri saya. Kalau saya tidak berdonasi, ada perasaan kejam dalam diri saya. Kok saya tega tidak berdonasi kepada mereka yang kehidupannya memilukan itu. Kok saya tega membiarkan mereka menjalani hidup menderitanya tanpa saya berbuat sesuatu.

Namun di sisi yang lain, jika saya berdonasi, maka algoritma pixel tracking itu akan kembali bekerja dan terus mengenali saya sebagai seorang dermawan sehingga mereka akan terus menampilkan iklan-iklan yang berisi penggalangan donasi untuk orang-orang dengan penderitaan yang memilukan itu tadi.

Pada titik itulah persimpangan kebimbangan saya hadir.

Saya ingin berdonasi karena ada semacam harapan bahwa saya bisa turut mengurangi penderitaan yang dialami oleh orang lain. Namun yang terjadi, setiap kali saya berdonasi, saya justru semakin dijejali oleh penderitaan-penderitaan yang lain yang jumlahnya justru semakin banyak.

Saya sempat menceritakan kegelisahan ini kepada istri saya. Jawaban dia sungguh tak membantu saya.

“Wah, kalau aku beda, iklan Facebookku isinya cuma sepatu, celana batik, sama baju-baju lucu. Nggak pernah ada tuh iklan orang menderita.” Ujarnya.

Ah, tampaknya memang penderitaan memanglah cobaan yang sifatnya berkesinambungan.

Exit mobile version