Mensyukuri Kenikmatan dan Kenyamanan Sandal Swallow

sandal swallow

Dalam banyak kesempatan, saya sering sekali memakai sandal swallow. Baik saat nongkrong, nonton, ketemuan sama orang, atau bahkan saat diundang untuk mengisi pelatihan.

Kegemaran saya menggunakan sandal jepit swallow ini tentu saja bukan tanpa alasan. Saya punya semacam kebiasaan di mana kalau pas buang air kecil, saya harus jongkok dan celana harus saya lepas.

Kebiasaan tersebutlah yang membuat saya jadi lebih banyak menggunakan sandal jepit alih-alih sepatu. kalau pakai sandal jepit, lepas celana jadi lebih mudah. Selain itu, sandal swallow ini memang lebih cepat kering, sehingga kalau ikut kena siram pas saya ke kamar mandi, saya tak perlu cemas menunggunya untuk kering.

Saking seringnya saya memakai sandal jepit, saya bahkan sampai pernah berada dalam fase tak punya sepatu sama sekali karena memang tak merasa perlu.

Ketika saya kemudian jadi penulis, kebiasaan memakai sandal jepit swallow ini masih terus berlanjut dan beberapa kali membawa saya pada insiden-insiden tak terduga.

Pernah suatu ketika saya diundang menjadi pemateri pelatihan manajemen konten di kantor BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) di Jogja. Sampai di venue acara, saya ternyata tak boleh masuk oleh satpam sebab saya pakai sandal jepit.

Pernah pula saat diundang oleh UGM untuk mengisi salah satu acara, saya harus bohong pada dekan yg mengundang saya bahwa kaki saya sedang sakit sehingga harus pakai sandal jepit. Padahal mah memang karena males saja.

Pas ke Jakarta saat mau syuting soal kasus edit foto beberapa tahun yang lalu itu, saya ke studio Net TV atau Trans TV juga pakai sandal jepit. Dan itu bikin saya jadi agak diperlakukan berbeda, sebab dengan sandal jepit, saya memang tampak seperti petugas peralatan yang bertugas menggulung kabel sound ketimbang bintang tamu.

Sandal swallow boleh jadi adalah sandal yang ijol-able alias sangat riskan tertukar dan juga silih-able alias kerap dipinjam orang. Berkali-kali sandal saya raib saat salat di masjid atau musala sebab ia selalu dikira sebagai sandal musala sehingga bisa dipakai begitu saja saat harus ke kamar mandi atau tempat wudu.

Kendati demikian, hal tersebut tak pernah menghentikan chemistri saya dengan sandal swallow.

Saya meyakini, jiwa yang tenang terbentuk salah satunya oleh kaki yang nyaman. Dan bagi saya, sandal swallow adalah senyaman-nyamannya alas kaki.

Berkali-kali saya bilang ke orang-orang, sejelata apa pun sandal swallow, ia akan selalu siap untuk diajak menyusuri jalanan yang jauh dan berbatu sekalipun, sebab ia adalah sandal karet yang kuat dan nyaman.

Saya memang sedang berbicara soal sandal, bukan soal cinta. Tapi silakan jika anda mau menarik garis lurusnya.

Sebab, pada akhirnya, cinta juga soal perjalanan jauh.

Exit mobile version