Menjadi Anggota MLM dan Tidak Menjadi Anggota MLM: Pilih yang Mana?

MOJOK.CO MLM dan segala problematika yang ditimbulkannya sebenarnya bersumber dari satu masalah: curiga bakal diprospek!

Di awal-awal tahun perkuliahan saya, seorang teman datang tiba-tiba. Kenapa saya sebut tiba-tiba? Karena sebelumnya, kami hanya sesekali berkomunikasi lewat Facebook—nomor hape saja tak punya. Lagi pula, dia pun bukan teman sekelas saya, melainkan temannya teman mantan pacar saya. Jauh, kan, tingkat kekerabatannya?

Saya, sih, seneng-seneng aja, soalnya pas dia dateng ke kos, dia bawa molen pisang dan molen kacang hijau. Kami pun ngobrol ngalor-ngidul, mulai dari Super Junior (gara-gara di kamar saya ada poster Super Junior) sampai soal penyebab saya putus sama si mantan. Lalu setelah lelah tertawa-tawa, Melati mengeluarkan map kecil berwarna hitam dan berkata, “Jadi gini, Mbak…”.

Dimulailah perjalanan panjang malam itu: saya diprospek ikutan MLM.

Yhaaa!!! Melati yang saya pikir datang karena tergugah hatinya melihat saya kurusan dan akhirnya ngasih saya molen gratis, ternyata bermaksud mengajak saya bergabung dengan sebuah MLM!!!

Dengan bangga, Melati bercerita bahwa ia sudah cukup lama bergabung dengan MLM yang satu ini, bahkan tak segan-segan mengaku bahwa ia sampai menggadaikan laptopnya demi memenuhi persyaratan awal untuk bergabung di level tertentu. Saya—yang laptop-nya cuma berisi video Super Junior dan semua episode Running Man—langsung bergidik ngeri. Saya jelas nggak bisa diajak menggadaikan laptop; nanti saya lihat Kyuhyun Oppa dari mana lagi coba???

Bukan cuma saya dan Melati, teman dekat saya pun pernah mengalami hal yang sama, sebut saja namanya Anggrek. Dulu, Anggrek mendadak diajak jalan oleh seorang laki-laki di kelasnya, bernama Daun (ya jelas bukan nama sebenarnya!). Anggrek dihujani perhatian dan dijemput untuk makan malam suatu hari, lalu dikenalkan dengan teman-temannya.

Siapa sangka, Anggrek diajak masuk ke sebuah ruangan bersama Daun dan konco-konconya. Kebingungan, Anggrek bertanya, “Acara apa sih ini?”

“Udah, kamu ikut aja. Duduk aja, ya, tenang,” jawab Daun sok misterius.

Tiba-tiba, masuklah seseorang dengan jas perlente dan rambut klimis. Semua orang disapa dengan tingkat keceriaan di atas rata-rata, lalu semua orang ini pun menyambutnya dengan bertepuk tangan penuh semangat sambil berdiri. Refleks, Anggrek ikutan.

Di makan malam kedua mereka, Anggrek diprospek. Sialnya, ia malah terjerat bujuk rayu Daun yang menawarkan produk MLM-nya: Anggrek membeli salah satu produk dengan harga 80 ribu rupiah padahal ia nggak butuh-butuh amat.

“Plus,” kata Anggrek, “ternyata dia udah punya pacar. Ceweknya, ya, salah satu dari ‘teman-temannya’ yang dikenalin ke saya waktu makan malam pertama. Demi prospek MLM, pacar Daun rela melihat cowoknya anter-jemput saya dan rajin menghubungi saya. Setelah saya beli produk itu, ya sudah, bye.

Ckckck!

Saat mendengar kata ‘MLM’, kesan yang muncul di otak saya memang negatif. Sejak zaman-zaman saya salah jurusan di sebuah kampus di Bandung, mahasiswa-mahasiswa yang berasal dari negara tetangga pernah mengajak saya datang ke sebuah acara yang saya kira hanya dinner biasa, ternyata…

…mereka malah presentasi MLM!!!

Ini serius, btw.

“Kemarin aku juga diajak ikut pelatihan MLM gitu. Melati maksa aku ikut, sampai njemput aku ke kos, padahal kosku kan jauh banget,” cerita teman saya yang lain—sebut saja namanya Kamboja—soal Melati yang di awal tulisan ini saya ceritakan. Dari pengakuan Kamboja, Melati bersikap cukup agresif dan terkesan memaksa. Ini pulalah yang saya rasakan dari kisah soal Daun, sekaligus teman-teman internasional saya di zaman perkuliahan yang lalu.

Pertanyaannya: kenapa??? Kenapa, sih, orang kalau MLM sering kali terkesan memaksa???

Sebagai orang yang anti-MLM, sering kali kita merasa teman-teman kita di bisnis jaringan tersebut sedang berada dalam fase ‘dicuci otak’ karena berubah agresif dan selalu melakukan prospek.Pesannya yang berbunyi ‘Apa kabar?’ yang dikirimkan lewat WhatsApp pun seakan-akan terbaca sebagai ‘Sudah siap aku prospek hari ini?’ saking parnonya kita. Pokoknya, kita jadi merasa terancam!

Dengan keyakinan bahwa ‘MLM adalah bukan jalan hidup’, suatu hari sampailah saya di sebuah kerjaan baru: panitia EO (event organizer). Menariknya, acara yang saya tangani saat itu adalah…

…seminar MLM!!!

Sejak pintu masuk dibuka, saya diminta menyambut peserta yang datang. Bukan salam “Selamat pagi” yang sopan dan halus, saya diharuskan melakukan hal ini dengan keceriaan berlebih, mengajak tos semua orang, dan tak lupa berkata, “SEMANGAT PAGI!” sambil tersenyum lebar sekali.

­­Baru saja saya mengeluh bahwa tersenyum terus-terusan sungguh membuat saya merasa palsu, saya menyadari satu hal: acara-acara di seminar MLM ternyata tidak buruk-buruk amat.

Iya, saya ulangi: tidak buruk-buruk amat.

Konsepnya memang sangat biasa: si pembicara naik ke atas panggung, lalu memberi presentasi motivasi. Isinya? Ya dorongan supaya pesertanya lebih semangat melakukan presentasi-presentasi sepanjang hidupnya, alias memprospek orang-orang lain.

[!!!!!!!!!!!!111!!!11!!!!]

Bagian yang saya sebut tidak buruk datang kemudian: bagian refreshing. Sekelompok orang naik ke atas panggung, diikuti dentuman musik kencang yang asyik buat ajeb-ajeb. Mereka kemudian akan melakukan gerakan dance yang mudah—persis seperti gerakan olahraga—mengikuti musik yang diputar. Semua orang langsung ikut bergoyang, termasuk saya. Bedanya, mereka goyang-goyang karena antusias, sedangkan saya bergoyang karena sudah jadi job desc saya sebagai panitia. Katanya, biar peserta merasakan atmosfer histeris.

Histeris, ndyaaasmu!

Tapi, sungguh, dengan aksi dance ini, saya rasa pihak MLM sedang mengajarkan pada kita bahwa hidup tidak semestinya dihadapi dengan kaku. Sesekali berdiri dan menari gila-gilaan tidak akan membuatmu aneh jika memang itu adalah hal yang kamu butuhkan. Eaaa~

Selain itu, kalau dipikir-pikir lagi, aksi presentasi dan prospek yang mereka lakukan adalah pelatihan public speaking yang sebenarnya. Para pemain MLM ini seperti tengah menunjukkan pada kita bahwa untuk kepandaian berbicara adalah kunci kesuksesan. Kalau ada yang ‘terjerat’ ya syukur, kalau nggak ada ya dicoba lagi.

Eh, kok malah jadi mirip mantan kekasih playboy, ya???

Yang jelas, mengikuti seminar MLM berlangsung selama 8 jam hari itu membuat saya menyadari bahwa peserta MLM adalah manusia-manusia biasa. Selagi kita merasa mereka bisa ‘menyerang’ kita dengam prospek kapan saja, mereka pun memiliki kekhawatiran yang sama: kenapa sih teman-teman menghindari aku? Kenapa sih kalau aku ngomong di grup WhatsApp nggak ada yang nanggepin? Kenapa sih kalau aku ajak main, semuanya pada nggak bisa?

Sampai sini, jelas sudah dampak dari MLM: bukan soal menjadikan seseorang kaya atau miskin—sukses atau tidak sukses—ia justru menimbulkan kecurigaan di antara kerabat. Ini gawat, apalagi kalau yang ikut MLM adalah gebetanmu—seperti kasus si Anggrek.

Bisa-bisa, perhatian yang kamu terima selama ini bukan karena cinta, melainkan demi kenaikan level si gebetan di bisnis jaringannya. Duh!

Exit mobile version