Malam tadi, saya dan Kalis akhirnya nonton “Mekah I’m Coming”, film garapan Jeihan Angga yang diproduseri oleh Hanung Bramantyo.
Saya jarang sekali nonton film Indonesia. Film yang pengin banget saya tonton pekan ini sebenarnya adalah “The Call of The Wild”, film tentang petualangan anjing Saint Bernard yang dibintangi oleh Harrison Ford itu. Namun kelihatannya saya belum beruntung, tiap kali ngecek jadwal, selalu saja nggak pernah dapat jadwal yang strategis (jam-jam 7 malam gitu lah), jadinya sampai akhirnya film ini nggak tayang lagi di Jogja, saya belum juga nonton.
Opsi menonton Mekah I’m Coming akhirnya muncul sebab beberapa kawan saya menuliskan review soal film ini dan katanya lucu. Ada Pakdhe Blontank, ada Mas Aji Prasetyo, sampai si Iqbal al-Bantuli itu.
Saya sudah menonton trailernya. Sekilas tampak lucu. Tapi saya nggak yakin filmnya bakal selucu trailernya. Semua trailer film kan memang dibikin menarik begitu. Mangkanya, dari awal, saya nggak berharap banyak.
Ndilalah, sore harinya, Kalis mengisi acara di Fisipol UGM bareng Sabrang alias Noe Letto. Maka saya yakin, pastilah ia melalui sore harinya dengan sangat berat dan serius. Menonton film yang lucu (semoga saja begitu) tentu akan menjadi selingan yang-yangan yang menarik. Mumpung besok saya libur.
Urusan film, Kalis sebenarnya susah ditebak. Ia suka film-film berat timur tengah. Dari selera filmnya, sekilas tampak seperti wanita cerdas dan progresif. Namun pada satu waktu, saya pernah mengajaknya menonton film Lion King dan ia menanyakan satu pertanyaan yang membuat kecerdasannya luntur seketika: “Mas, itu gimana ya cara sutradara ngarahin singanya?” Kalau saja bukan untuk menjaga perasaannya, ingin sekali saya jawab “Kamu pikir sutradaranya Nabi Sulaiman?”
Lha gimana, di tengah kondisi jaman yang sudah sebegitu maju begini, kok ya masih saja ada yang nggak kenal teknologi CGI dan mengira film Lion King syutingnya pakai singa asli. Ha remuk bakule krupuk.
Oh ya, kembali ke Mekah I’m Coming. Ketika dia saya ajak buat nonton film ini, dia nggak nolak. “Ya ayo, daripada nglangut di rumah,” katanya.
Puji Tuhan, pilihan saya mengajak Kalis menonton film ini ternyata titis. Film ini lucu. Bahkan menurut saya, jauh lebih lucu ketimbang trailernya.
Mekah I’m Coming tampaknya sedari awal memang didesain untuk menjadi film lucu-lucuan. Itu bisa dilihat dari seluruh plot yang memang dari awal hingga akhir selalu ada sisipan adegan lucu. Sepanjang film. Setidaknya setiap tiga atau empat menit sekali.
Karena memang daya tarik film ini ada pada kelucuan adegannya, bukan pada ceritanya, jadi nggak papa lah kalau saya spoiler cerita film ini.
Film ini bercerita tentang seorang anak muda bernama Edy (Rizky Nazar) yang punya pacar bernama Eny (Michelle Ziudith). Nah, bapaknya si Eny (Totos Rasiti) ini nggak suka sama Edy karena dianggap kurang kaya dan tidak punya masa depan. Bapaknya Eny kemudian berniat menjodohkan Eny dengan seorang juragan rentenir bernama Pitoyo (Dwi Sasono).
Nah, Si Edy ini kemudian ditanting oleh Eny untuk bisa merayu bapaknya. Di sinilah awal bencananya. Saat Edy berkunjung ke rumah Eny ini, dia keceplosan bahwa dia serius ingin menikahi Eny. Sebagai bukti keseriusannya, dia berjanji bakal berangkat haji tahun ini.
Kareja haji reguler butuh antrian panjang, Edy pun mengambil jalan pintas dengan berhaji lewat jalur khusus. Biayanya besar, maka ia kemudian menjual bengkel yang selama ini menjadi mata pencahariannya. Dasar apes, ternyata agen haji tempat ia menyetorkan uangnya ternyata cuma apus-apus alias tipu-tipu. Namanya saja Second Travel, menyitir agen haji Dan umroh First Travel yang kasusnya sempat heboh beberapa waktu yang lewat itu.
Sepanjang menonton film ini, Kalis tertawa terus menerus. Saking kencangnya tawanya, saya sampai sekali menutup mulutnya karena saya anggap terlalu keras. Saya takut tawa Kalis mengganggu sederet penonton di depan dan belakang kami yang sebenarnya juga tertawa keras juga.
Kalau ngomong soal ide, sinematografi, atau unsur-unsur estetika film lainnya, Mekah I’m Coming mungkin biasa, atau bahkan bagi beberapa pengamat film, bisa dianggap cenderung buruk. Tapi kalau soal film ini menghibur atau tidak, tentu saja ini film yang sangat menghibur.
Semua detail kecil dalam film ini seperti sudah didesain untuk dibikin untuk lucu. Dari plat nomor mobilnya Pitoyo yang sengaja dibuat J 4 17 CUK, keahlian ibunya Edy dalam bermain karambol, sampai kebiasaan bapaknya Eny yang suka main PS, dan kaset yang dimainkan ternyata adalah Harvest Moon.
Ada banyak adegan-adegan karikatural dalam film ini. Adegan-adegan yang sebenarnya kita tahu itu goblok, tapi tetap saja membikin kita ketawa.
Walau ada bagian yang menurut saya agak nggak cocok, yakni Rizky Nazar dan Michelle Ziudith yang menurut saya masih kurang ndeso, tapi kehadiran bintang-bintang lokal seperti Yati Pesek, Yusril Fahriza, sampai the one and only Rio Srundeng (yang walau cuma jadi tukang parkir) cukup mampu menutupi lubang kecil itu.
Saya nggak tahu, film ini bakal laris apa nggak (pas saya nonton sih ramai), tapi buat jaga-jaga siapa tahu film ini ternyata nggak banyak ditonton dan layarnya jadi terbatas, saya sarankan kalian nonton film ini. Mumpung masih tayang.
Ini bukan perkara ada beberapa kawan saya yang ikut main jadi figuran di film ini trus saya muji film ini, sama sekali bukan. Ini murni dari pengalaman saya menutup mulut Kalis saat tertawa, ini film yang receh dan jenaka sekali.