Menguak Pentingnya Sambat yang Dianggap Nggak Penting-Penting Amat

MOJOK.COKata siapa sambat cuma kegiatan nggak berguna dan bermanfaat? Nih, nih, baca dulu manfaat-manfaat sambat yang sesungguhnya, Cintaku!

Waktu SMP, seorang teman pernah bertanya pada saya, “Kok kamu kelihatannya selalu santai, sih? Belum ngerjain PR, tapi nggak kelihatan panik. Padahal, kami yang juga belum ngerjain, langsung sambat semua karena PR-nya susah dan nggak berkeperi-PR-an!”

Saya cuma terkekeh. Dalam hati, saya berpikir: lah buat apa sambat (‘mengeluh’ dalam bahasa Jawa) kalau bisa nggak sambat? Ah, pokoknya pikiran saya saat itu kaku kayak rambut habis di-rebonding.

Seiring berjalannya kehidupan, emosi saya mulai berkembang. Saya mulai berantem sama teman, saya mulai membenci pelajaran Kimia, saya mulai merasa kesal karena dikalahkan orang lain menjadi pengurus OSIS hanya karena saya bukan anak populer di SMA, saya mulai patah hati—pokoknya asam garam kehidupan kian bertambah hingga saya memutuskan duduk dan bertemu seorang kawan, lantas…

…curhat seharian sambil ngomel dan menangis!!!

Pertama, patut saya banggakan bahwa akhirnya saya memutuskan curhat. Sebagai orang yang tadinya cuek dan bodo amat, perlu kesumpekan tingkat tinggi hingga akhirnya kami memilih opsi bercerita pada orang lain.

Kedua, dalam proses curhat ini, tentu saya banyak sekali sambat alias mengeluh, merutuki orang-orang yang saya anggap jahat, dan ngata-ngatain situasi yang merugikan saya. Teman curhat saya kebanyakan diam dan mengangguk-angguk, seolah memahami kebencian yang menggelora di diri saya.

Sejak hari itu, pandangan saya terhadap aktivitas sambat langsung berubah. Maksud saya…

…enak juga ya ternyata ngeluh ini dan ngeluh itu??? Masalah kita memang nggak lantas selesai, tapi lega saja rasanya mengeluarkan emosi yang kian mendidih di kepala~

Di zaman milenial sekarang, hidup semakin keras, mylov. Meleng dikit aja, hidupmu bisa jadi tak lagi sama seperti tiga menit yang lalu. Pada prinsip inilah saya percaya bahwa pandangan “it’s okay not to be okay” sama artinya dengan “nggak apa-apa sambat sepuasnya biar lega”.

Kemajuan zaman dan kebebasan berekspresi di media sosial juga memegang peran penting bagi aktivitas mengeluh menurut saya. Cobalah tengok itu akun-akun semacam Nanti Kita Sambat tentang Hari Ini—ajaib banget, bukan? Orang mau sambat aja difasilitasi. Yah, meski saya sebenarnya lebih berharap ada akun Nanti Kita Ketemu dan Jadian Hari Ini untuk memfasilitasi para jomblo.

Kebiasaan orang-orang mengeluh terang-terangan di media sosial—tidak lagi terbatas pada curhat seperti yang saya lakukan sebelumnya—mendorong saya untuk mencari tahu: kenapa, sih, orang akhirnya memilih sambat? Apakah sambat selamanya bakal dicap sebagai tindakan negatif dan harus dijauhi segera?

Heeeey, tunggu dulu, Ferguso. Nyatanya, ada kok kebaikan-kebaikan sambat yang bisa kamu ambil. Iya, iya—kamu nggak salah baca: sambat itu masih ada “baik-baiknya”, jelas sekali berbeda dengan mantan kekasihmu yang jahatnya nggak ketulungan.

1. Kamu jadi nggak perlu memendam perasaanmu sendiri

Dengan mengeluh sana-sini, setidaknya kamu telah melakukan kebaikan pada psikismu: melepaskan beban yang kamu tanggung sendirian.

Sebelum mengeluh, mungkin kamu merasa seperti orang yang paling menderita sedunia. Tapi, setelah kamu selesei mengeluh, pastilah kamu akan merasa seperti…

…ya tetap menjadi orang yang paling menderita sedunia, lah!!! Emangnya masalahmu langsung selesai setelah dikeluarkan dalam bentu curhat 3 jam??? Hadeeeeeh~

2. Kamu bisa mengeluarkan pendapat dan mendapatkan saran dari pendengar

Mengeluh, apa pun bentuknya, bisa menjadi ajang yang tepat untukmu bersuara dan berpendapat—seolah-olah kamu adalah mas-mas mahasiswa yang mimpin demo di depan gedung DPR. Nggak cuma itu, beberapa orang mungkin bakal mendengar atau membaca sambatan-mu dan mencoba memberi saran.

Cuma, ya, pesan saya, kalau kamu dikasih saran sama orang terkait sambatan-mu, kamu harus menghargainya dengan baik. Yaaah, gimana ya, mereka itu udah repot-repot menyediakan waktu cuma untuk mendengar keluhanmu yang nggak bermutu. Kalau mereka punya pilihan, sih, mending having fun daripada disiram sambatan-mu yang nggak selesai-selesai itu!

3. Kamu jadi ketemu teman senasib

Sambatan soal cinta, kerjaan, sekolah, ataupun keluarga yang  kamu unggah di media sosial adalah gerbang utama kemungkinan kamu akan membuat seseorang membacanya sambil berkata, “Wah, gila. Ini sih aku banget! Relate af, nih!”

Pada poin ini, kamu tidak akan merasa sendirian dihajar kehidupan karena ternyata ada orang lain yang juga merasakan hal yang sama, bahkan kadang dengan permasalahan yang jauh lebih kompleks. Saking senangnya punya partner sambat yang senasib, kamu pun kian semangat mengeluh lagi dan lagi, sampai-sampai kayaknya kalau sambat-mu dijadiin buku, tebalnya bakal ngalahin buku Harry Potter yang kelima. Yakin saya!

4. Kamu jadi lebih kritis—sedikit!

Kenapa saya tulis “sedikit”? Ya nggak apa-apa, soalnya kalau saya tulis “kritis banget”, nanti dikira muji-muji kalian. Dih, ogah~

Jadi, pada dasarnya mengeluh alias bersambat ini akan memicu bagian otakmu untuk berpikir “kok bisa gini, ya?”, “gimana caranya menghadapi ini, ya?”, atau “langkah apa yang harus diambil agar nggak merasa seperti ini, ya?”. Nah, bagian inilah yang tidak diketahui orang banyak; mereka hanya menilai bersambat adalah kegiatan yang negatif dan tidak membawa kebaikan apa pun.

Padahal, ya, di balik sambatan yang paripurna, terdapat otak yang bekerja keras, Pak, Bu!

Yaaah, tapi memang harus diakui, sih, kerja otak yang keras ini malah ujung-ujungnya stuck di pertanyaan pertama (“kok bisa gini, ya?”) dan malah membuat kita berpikir berlebihan alias overthinking, sehingga kita mendadak jadi jauh lebih sedih dan pengin sambat lagi dan lagi! Hadeeeeh~

5. Kamu menjadi manusia yang normal

Sudahlah, hentikan dulu ke-teoritis-anmu itu. Keyakinanmu bahwa semua manusia perlu optimis dan berpikiran positif memang menarik dan impresif, tapi mana ada, sih, hidup yang mulus-mulus saja??? Mana ada, sih, hidup yang bahkan tak membuatmu mengeluh barang sekali saja???

Tentu tidak ada yang demikian, Ferguso.

Bersyukur itu penting, tapi saya rasa, mengeluh sesekali juga bukan masalah besar. Bahagia memang menyenangkan, tapi menepi sambil menangis dan sambat pun menjadi hakmu untuk dilakukan.

Ingat, kamu itu manusia, bukan manekin toko baju!

Exit mobile version