Mengapresiasi Kepolisian yang Tak Manfaatkan Diksi ‘Oknum’ di Kasus Novel Baswedan dan Guyon Gus Dur

MOJOK.COKata “oknum” yang sering dipakai kepolisian, kali ini justru tak dimanfaatkan lagi. Kasus Novel Baswedan dan postingan guyon Gus Dur jadi buktinya. Hm, kemajuan.

Terpujilah untuk siapapun pencipta kata “oknum”. Sebuah kata powerfull yang multiguna. Cukup lekatkan diksi ini pada setiap anggota institusi (baik pemerintah maupun swasta) yang bersalah, maka aib kolektif akan berubah menjadi aib individual serta-merta.

Tak perlu banyak klarifikasi terbuka atau ngomong berbusa-busa, cukup gunakan kata tersebut dengan tepat guna. Aib institusi jadi lembut kayak sutra, si pelaku pun tak terkait dengan institusinya. Kata yang mujarab betul untuk menghapus dosa-dosa. Cus, langsung beres perkara.

Ajaibnya, kata yang sering dipakai untuk institusi pemerintah kita ini justru ditolak mentah-mentah oleh Lembaga Kepolisian kita. Padahal kata ini sangat berguna untuk menyucikan remah-remah dosa institusi dari orang-orangnya. Dan dua kejadian dalam beberapa waktu ini telah menunjukkannya.

Pertama, persidangan kasus penyiraman air keras Novel Baswedan.

Tim kuasa hukum Novel Baswedan sempat heran dengan adanya inspektur jenderal (irjen) yang menjadi pengacara bagi terdakwa Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis.

“Brigadir ini yang menetapkan sebagai tersangka adalah polisi. Yang sangat menarik, yang publik tidak tahu, polisi jugalah 100 persen yang dipimpin Irjen (membela) seorang terdakwa perpangkat brigadir,” kata Saor Siagian, kuasa hukum Novel Baswedan.

Sungguh mencengangkan bagaimana Kepolisian Republik Indonesia mengubah cara pandangnya terhadap kasus yang melibatkan institusinya belakangan ini. Padahal masih lekat dalam ingatan kita, ketika demostrasi besar-besaran terkait RUU KPK tahun lalu, penggunaan kata “oknum” sering diucapkan kepolisian ketika ada anggotanya yang melakukan tindakan di luar batas.

Selain soal pengacara bagi terdakwa yang merupakan perwira polisi, kedua terdakwa juga belum ada tanda-tanda bakal dipecat dari kepolisian. Jangankan dipecat, kabar bakal mendapat sanksi internal pun belum ada.

Penggunaan diksi “oknum” untuk pelaku justru kebanyakan muncul lewat media. Di alam bawah sadar beberapa media di Indonesia, kata “oknum” dirasa memang lebih aman agar tidak jadi main tuduh serampangan bahwa tindakan kriminal ini dilakukan pelaku dalam kapasitasnya sebagai aparat keamanan.

Selain dari sisi media massa di Indonesia, narasi “oknum” juga dimunculkan (meski tidak disebut secara langsung) oleh pelaku ketika mengaku melakukan penyerangan Novel Baswedan karena persoalan personal.

“Tolong dicatat, saya nggak suka sama Novel karena dia PENGKHIANAT!” kata Ronny Bugis saat itu.

Uniknya, pihak kepolisian malah tak menggunakan privilege kata “oknum” untuk membersihkan nama institusinya dari tindakan terdakwa. Alih-alih, memecat atau memberi sanksi, pihak kepolisian malah menyiapkan pembelaan kepada terdakwa dengan “mengirim” pengacara.

Itu kasus pertama. Untuk kasus kedua terkait soal “penjemputan” Ismail Ahmad, warga Kepulauan Sula, Maluku Utara oleh polisi karena memosting guyon Gus Dur di media sosial.

Saat itu, Ismail atau biasa disebut Mail, menulis, “Hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia: patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng.”

Mail memang tidak sampai ditahan oleh polisi, pria malang ini hanya diminta untuk mengucapkan maaf secara terbuka karena dirasa melecehkan nama baik institusi kepolisian.

Meski begitu, Alissa Wahid, putri Gus Dur, menganggap penjemputan ini sudah kelewatan sebab, “Harusnya kalau polisi mau menuntut, menuntut Gus Dur, karena dia mengutip lelucon Gus Dur,” katanya seperti diberitakan CNN Indonesia.

Persoalan jadi mengkhawatirkan ke depannya karena menurut Alissa, tak elok jika ketersinggungan personal anggota polisi melibatkan kepentingan institusinya.

“Kalau (kasus) itu antar-warga bisa menerima ya, sebagai dinamika antar-warga. Tapi ini atas nama lembaga lho, atas nama lembaga negara yang bahkan dalam Undang-undang Pencemaran Nama Baik itu tidak bisa, lembaga kemudian merasa tersinggung,” tambah Alissa.

Tindakan polisi yang dengan sadar memanggil Mail tak juga bisa disebut sebagai oknum polisi lagi, sebab pemanggilannya terencana dan bertahap. Setelah diciduk, Ismail pun diminta menyampaikan permintaan maaf kepada Polri secara resmi.

Dua tindakan “resmi” kepolisian ini, baik untuk kasus Novel Baswedan maupun kasus Mail, memang sempat bikin geram banyak masyarakat. Ini kenapa kepolisian jadi aneh dan sensian sih? Dikit-dikit kok jadi main ciduk sekarang?

Meski begitu, seperti halnya pepatah Arab “khudz al-hikmah walau min dubur ad-dajaj” (ambillah hikmah meski itu dari silit ayam), maka saya pun telah menemukan dua hal positif dari kejadian-kejadian ajaib ini.

Pertama, mulai jarangnya diksi “oknum” dalam keterangan-keterangan resmi kepolisian—paling tidak berkaca dari dua kasus tadi. Ini artinya kepolisian sadar betul kalau tiap kesalahan yang dilakukan anggotanya adalah kesalahan institusi pula.

Hal yang kalau dilihat dengan kacamata jernih sebenarnya menunjukkan bahwa polisi saat ini sudah mulai enggan untuk cuci tangan dengan dikit-dikit menyebut “oknum”. Terasa jauh lebih jantan jatuhnya. Karena mau dengan terbuka mengakui bahwa setiap tindakan anggota adalah tindakan institusi.

Kedua, dengan relatif menghilangnya penggunaan diksi “oknum”, maka masyarakat tak perlu lagi menggunakan diksi itu kalau mau menyebut aparat keamanan yang KEBETULAN teledor melakukan tindak kesalahan.

Sebab, kata “oknum” yang menyebalkan itu, relatif sudah tidak ada lagi di lembaga kepolisian kita. Etapi, kamu mesti ingat baek-baek, baru kata “oknum”-nya doang lho yang hilang.

BACA JUGA Indonesia Darurat Humor, Warga Diciduk Polisi Setelah Menulis Guyonan Gus Dur di Sosial Media atau tulisan soal POLISI lainnya.

Exit mobile version