Menertawakan dan Menghormati Arief Poyuono

arief poyuono

Sudah beberapa terakhir ini, Admad Khadafi, redaktur Mojok yang paling tidak indie dan edgy di seantero kantor Mojok keranjingan menonton video debat antara wakil ketua umum Gerindra Arief Poyuono dengan politisi PDIP Adian Napitupulu. Yang menjadi pusat perhatian Dafi tentu saja nama yang disebut pertama.

Hari ini, misalnya, ia berkali-kali tertawa-tawa sendiri setelah menonton aksi silat lidah Arief saat melawan Adian.

“Indonesia first,” kata Arief Poyuono sembari mengacungkan jari telunjuk dan jempolnya yang selama ini memang dikenal sebagai simbol nomor urut 02.

Dengan sigap, Adian langsung menukas, “First itu satu.”

Arief tampak kecut. Adian lempeng. Dan para penonton tertawa. Tentu saja termasuk Dafi.

Arief Poyuono, dalam beberapa hari terakhir memang sering muncul dalam berbagai pemberitaan. Sosok wakil ketua umum Gerindra ini namanya naik setelah ia terlibat dalam debat antar pendukung capres yang diinisiasi oleh Narasi TV yang dipandu oleh presenter Najwa Shihab.

Dalam debat-debatnya (yang selama ini hampir selalu berhadapan dengan Adian Napitupulu), entah bagaimana ceritanya, Arief selalu tampak lucu. Untuk tidak menyebutnya bodoh.

Argumen-argumennya saat membela apa pun tentang Prabowo tampal begitu natural lucunya.

Kelucuan Arief kembali tampak saat ia mengatakan tentang keunggulan Prabowo dalam Pilpres 2019 sebesar 64 persen. Angka tersebut ia dasarkan pada jumlah provinsi yang dimenangkan oleh Prabowo.

“Nah ini fakta ya kalau Prabowo-Sandi menang di Pilpres 2019 di 22 provinsi. Jadi 22/34 = 64,7 persen (Prabowo-Sandi), 12/34 = 35,3 persen ( Joko Widodo – Maruf Amin),” kata Arief. “Ini hitung matematika kasar aja ya. Jadi lembaga survei jangan coba-coba giring opini dengan hasil quick count-nya,”

Pernyataannya tersebut langsung menjadi bulan-bulanan banyak orang. Maklum saja, cara menghitung keunggulan ala Arief Poyuono tersebut tentu saja adalah cara menghitung yang sangat-sangat out of the box (untuk tidak menyebutnya ngawuw).

Berbagai kelucuan yang ditunjukkan oleh Arief, pada akhirnya membuat saya berpikir, bahwa sebagai seorang politisi, Arief sejatinya adalah sosok yang ideal.

Selama ini, politisi hampir selalu punya citra yang buruk bagi masyarakat. Merugikan, zalim, licik, dsb. Pokoknya segala hal yang buruk ada pada politisi. 

Namun kehadiran Arief agaknya mampu menjadi semacam anomali. Dengan kelucuannya, tak bisa tidak, Arief berhasil memberikan semacam hal yang kerap tak bisa diberikan oleh politisi lain: hiburan.

Ia kemudian tak jauh berbeda dengan sosok Sandiaga yang kerap memberikan atraksi-atraksi politik yang lucu. Yang menghibur banyak orang, tak peduli pendukung 01 maupun 02.

Saya pikir, orang-orang seperti Arief dan Sandiaga inilah yang kita butuhkan di tengah kondisi politik yang serba kejam seperti sekarang ini.

Di tengah para politisi yang tak punya empati publik, para politisi yang selalu saja membahas tentang bagi-bagi jabatan, para politisi yang pernyataan-pernyataannya kerap menyinggung masyarakat tertentu, kehadiran sosok-sosok politisi yang lucu, bisa ditertawakan, dan tentu saja menghibur bagi masyarakat seperti Arief tentu saja seperti oase di tengah gurun yang gersang.

Pemilu adalah pesta rakyat. Dan selayaknya pesta, ia seharusnya bisa menggembirakan. Menyenangkan.

Pesta yang bagus adalah pesta yang mampu beberikan hiburan kepada segenap tamu yang hadir. Dan Arief Poyuono, menjalankan tugasnya dengan baik sebagai badut pesta yang menghibur para hadirin.

Mari memberikan hormat yang setinggi-tingginya kepadanya dengan cara menertawakannya. Sebab cara terbaik untuk menghormati seorang badut adalah menertawakannya.

Exit mobile version