Mendebat Secara Profesional Kaum yang Mematikan Centang Biru WhatsApp

cara top up dana.mojok.co

ilustrasi cara top up dana. mojok.co

MOJOK.CO – Pembahasan soal centang biru WhatsApp bukan hal baru, tapi dunia profesional sampai hari ini masih resah dengan fitur tersebut meski tujuan awalnya buat jaga privasi.

Sebelum memulai, saya mau mengklaim dulu kalau seumur hidup saya belum pernah mematikan centang biru WhatsApp meskipun sedang bertengkar heboh dengan mantan atau lupa bayar utang. Sepanjang perjalanan saya pakai WhatsApp, saya menemui rupa-rupa kepribadian orang yang memutuskan untuk mematikan centang biru atau notifikasi pesan sudah dibaca dengan berbagai alasan.

Saat jalan-jalan ke akun base di Twitter, baru-baru ini saya menemukan sekelompok netizen yang pada 2021 era modern 4.0 begini masih aja mempermasalahkan centang biru WhatsApp. Masalahnya, kali ini topik tersebut semakin kompleks karena melibatkan relasi dosen dan mahasiswanya. Oke, kita simak.

Beberapa dosen mungkin memang merasa jengah dengan ketidakpastian yang mereka dapatkan dari mahasiswa direpresentasikan dari matinya tanda centang biru. Mungkin pikir para dosen begini, “Idih, matiin centang biru, bikin PHP nih udah dibaca apa belum sih instruksi penugasannya. Duh, masa sih saya dibikin galau sama mahasiswa. Idih kalian pikir kalian siapa?” Kurang lebih begitu.

Sebab merasa tak nyaman dengan kegamangan menunggu balasan, para dosen akhirnya menganjurkan mahasiswanya untuk menghidupkan centang biru WhatsApp. Hmmm, mamam!

Sayangnya, dari kacamata mahasiswa, keputusan itu adalah privasi mereka. Banyak juga yang mengaku merasa cemas dan tidak tenang jika posisinya di balik. Si mahasiswa bisa cemas baca pesan yang sudah centang biru tapi tak kunjung dibalas, kebanyakan pesan tidak terbalas itu memang dari dosen. Katanya hal ini lebih bikin tidak nyaman.

Sebenarnya kalau mau diurut, masalah ini bakal abadi. Dari sisi penerima pesan kita bisa saja lebih dengan orang-orang yang nggak masalah centang birunya dihidupkan. Mereka mungkin orang-orang yang lebih terbuka dan nggak terkesan menyembunyikan sesuatu. Di sisi lain, sebagai pengirim pesan, kadang kita nggak ingin terlalu dikejar-kejar sama notifikasi pesan. Terutama bagi mereka yang sibuknya di luar nalar.

Seorang kawan pernah bercerita kepada saya perihal perasaan resahnya setiap menerima notifikasi. Notifikasi apa pun, nggak cuma WhatsApp atau telepon. Ponselnya sengaja ia matikan, hening tanpa suara, tanpa tanda getar. Ia benar-benar berada di titik tidak ingin dihubungi orang lain. Sikap ini akhirnya membuatnya menjadi penumpuk notifikasi. Hari ini malas buka pesan, besoknya masih malas, besok lusa masih malas, begitu terus sampai mood-nya bagus lagi. Dari satu sisi, ini memang hak setiap orang untuk menghilang sejenak dari peredaran tata surya. Tapi, saya tanya deh, mau sampai kapan?

Notifikasi memang menjemukan. Kawan saya yang tadi benar-benar merasa “notifikasi” adalah kehadiran orang lain yang tidak diharapkan ketika ia ingin sendiri. Namun, membuatnya tertumpuk adalah sebagian dari sikap egois karena nggak mau peduli apa pun yang terjadi. Keputusannya mematikan centang biru WhatsApp juga kristalisasi dari keinginannya untuk menghilang dari orang-orang.

Boleh lah jika kalian melakukan hal ini sekali dua kali saat ada masalah sampai benar-benar tenang. Tapi, kalau ada hubungannya dengan pekerjaan dan relasi kalian dengan dosen ini jadi fatal.

Dalam dunia kerja, kita bukan lagi seorang individu yang bisa peduli hanya pada diri kita sendiri. Ya sudah yang penting mengerjakan tugas lalu pulang. Kerja pulang. Kerja pulang. Secara profesional mematikan centang biru WhatsApp itu menjengkelkan. Bayangkan kalau ada klien yang menagih invoice, kalian mematikan centang biru dan nggak kunjung membalasnya. Bisa-bisa klien kapok bekerja sama. Urusan profesional kerja memang seringnya tidak mau peduli dengan urusan personal. Mau lagi cekcok sama ibu tiri atau menghindari tagihan debt collector, urusan deadline tetap jalan.

Setidaknya walau nggak menyalakan centang biru WhatsApp kita perlu memastikan bahwa kita bisa fast respons. Dan, saya tahu, ini justru semakin sulit. Beberapa orang butuh tau apakah pesannya sudah dibaca atau belum. Jika belum dibaca, ya sudah ditunggu. Jika sudah dibaca, tapi belum dibalas, nah ini patut dicurigai. Jika urusannya mendesak dan melibatkan kelancaran kerja rekan lain, saya rasa menyalakan centang biru adalah bentuk usaha paling minimal. Setidaknya sikap ini adalah bentuk lain menghormati orang lain yang berurusan dengan kita.

Menjaga “privasi” memang hak orang-orang. Tapi, jangan jadi penakut untuk sekadar menyalakan centang biru lah.

BACA JUGA Jangan Berteman dengan Dosen Pembimbing Skripsi di Facebook, Serius Jangan! atau artikel AJENG RIZKA lainnya.

Exit mobile version