Memilih Uniqlo ketika Pujha Fashion Mengubah Kultur Thrifting atau Ngawul di Yogyakarta

Senjakala ngawul di Yogyakarta?

Memilih Uniqlo ketika Pujha Fashion Mengubah Kultur Thrifting atau Ngawul di Yogyakarta MOJOK.CO

Memilih Uniqlo ketika Pujha Fashion Mengubah Kultur Thrifting atau Ngawul di Yogyakarta MOJOK.CO

MOJOK.COPujha Fashion muncul di Yogyakarta seiring surutnya budaya ngawul. Membuat generasi baru lebih dekat kepada Uniqlo ketimbang budaya berburu barang bekas.

Kalau tidak salah kelas dua SMA, ketika saya mengenal ngawul atau sok kemringgis disebut thrifting itu. Memang agak terlambat dibandingkan teman-teman lainnya. Oleh sebab itu, begitu mengenal budaya berburu pakaian bekas ini, saya malah jadi ketagihan.

Alasannya sederhana saja, yaitu soal harga. Di kelas dua SMA itu, saya membeli hoodie Quiksilver berwarna abu-abu dengan harga diskon Rp350 ribu. Saya bisa dapat harga diskon karena teman saya bekerja di salah satu gerai Quiksilver di Malioboro Mall. Sekitar dua minggu setelah membeli hoodie itu, hati saya hancur.

Sepulang sekolah, salah satu teman dari beda sekolah minta ditemani ngawul. Saat itu saya menemaninya ke daerah Godean, Sleman. Di sebelah barat pasar, setelah perempatan, di kiri jalan, ada sebuah toko ngawul. Sejak dulu, toko ini terkenal dengan stok baju flanelnya sampai sekarang.

Saya, yang sudah kehabisan uang karena membeli hoodie Quiksilver dibuat bengong setelah 20 menit “mengacak-acak” gantungan jaket. Saya menemukan di sana, sebuah hoodie Quiksilver warna abu-abu. Warnanya agak kusam karena belum dicuci. Hoodie itu persis seperti hoodie yang saya beli dua minggu sebelumnya. Teman saya menawar hoodie itu dan putus di harga Rp85 ribu. Sepanjang perjalanan pulang, saya tidak habis-habisnya memaki.

Singkat kata, saya jadi kecanduan ngawul atau thrifting itu. Hoodie dan flanel adalah dua barang yang saya sukai. Beberapa pojok Yogyakarta, mulai dari thrift shop di Jalan Magelang, Godean, Pojok Beteng, hingga Kusumanegara saya jelajahi setiap dua minggu sekali.

Kecanduan ngawul itu agak reda ketika saya harus menyelesaikan skripsi. Saat itu, toko yang namanya Pujha Fashion sudah muncul. Saya tidak tahu kapan tepatnya toko itu muncul. Namun, saya menemukan Pujha Fashion yang pertama ada di Jalan Godean.

Pujha Fashion ini seperti sebuah usaha untuk mengangkat derajat barang-barang ngawul. Barang yang dipajang lebih “waras”. Cacatnya sedikit. Sebelum dipajang, biasanya sudah dicuci. Harganya jadi lebih mahal dan satu hal yang bagi saya janggal adalah di Pujha Fashion, kamu tidak bisa menawar.

Seni tawar-menawar ketika ngawul itu jenis kesenangan tersendiri. Kalau tidak boleh menawar, ini kalau saya pribadi, mending belanja di Matahari, salah satu jujugan gerai fashion di Yogyakarta.

Saat itu, seingat saya, ketika Pujha Fashion muncul, budaya thrifting mulai berubah. Mungkin yang lebih tepat adalah mulai surut. Beberapa tempat ngawul yang saya datangi sudah berani menaikkan harga. Seiring waktu dan makin besarnya Pujha Fashion, kesenangan ngawul sudah luntur.

Saya bukannya hendak menyudutkan Pujha Fashion. Adalah hak mereka untuk menetapkan harga dan standar. Lagipula, mereka memang diterima oleh masyarakat Yogyakarta. Kebetulan saja, kemunculan Pujha Fashion berbarengan dengan surutnya budaya ngawul. Beberapa toko langganan saya malah sudah tutup.

Beberapa kali saya berkunjung ke Pujha Fashion. Tidak ada lagi bau apak khas ngawul. Pakaian yang dipajang masih berderet dan saling bertumpuk. Namun, rasanya sudah seperti kalau belanja di Matahari. Oleh sebab itu, ketika nama Uniqlo mulai naik, saya memilih pindah saja.

Uniqlo, tentu saja, tidak menyediakan baju bekas yang sebetulnya dianggap sampah di negara lain. Uniqlo menyediakan fashion terbaru.

Saya tahu, membandingkan Pujha Fashion dan Uniqlo memang tidak adil. Bahkan keduanya tidak bisa dibandingkan karena berbeda pasar. Oleh sebab itu, saya hanya ingin bercerita dari sisi saya sendiri.

Pertimbangan harga di Pujha Fashion dan Uniqlo

Kalau tidak salah ingat, harga satu sweater di Pujha Fashion itu antara Rp45 sampai hampir Rp100 ribu. Tergantung kondisi. Celakanya, saya tidak bisa beli di sana. Bukan soal harga, tapi ukuran. Saya agak heran, sih. Biasanya, thrift shop itu menyediakan baju atau sweater dengan ukuran besar. Namun, tidak semua Pujha Fashion punya.

Kalau mau lebih teliti mencari, pindah dari Pujha Fashion ke Pujha Fashion lainnya, mungkin saya bisa menemukan sweater yang saya mau. Saya pernah melihat sweater besar dengan harga, kalau tidak salah, Rp85 ribu. Saya pikir, untuk harga segitu, saya akan mendapatkan bekas.

Bagaimana kalau ke Uniqlo saja?

Harga sweater di Uniqlo, sekali lagi kalau tidak salah, antara Rp120 sampai Rp400 ribu. Salah satu daya tarik Uniqlo, dan tempat belanja lainnya di dalam mall adalah diskon. Istri saya pernah membelikan saya sweater abu-abu dengan harga tidak sampai Rp150 ribu.

Sekarang kita bandingkan. Pujha Fashion menawarkan Rp85 ribu untuk sweater bekas dan Uniqlo punya yang nggak sampai Rp150 ribu. Selisih harganya tidak terlalu besar dan jelas terjangkau untuk “dompet zaman sekarang”. Dapat barang baru lagi.

Saya sadar, kebiasaan belanja orang akan berubah karena banyak hal. Misalnya, kemampuan mencari dan menyimpan uang. Saya, ketika SMA mengumpulkan uang dengan bekerja sambilan. Uangnya ditabung dan memang cuma cocok untuk dibawa ke thrift shop untuk ngawul.

Generasi baru yang menentukan

Kemampuan mencari uang bagi sebuah generasi bisa sangat berpengaruh terhadap sebuah entitas bisnis. Mungkin, generasi saya adalah generasi kesekian yang membesarkan thrift shop. Namun, generasi sekarang, mungkin tidak akan betah dan mau menghabiskan dua jam tawar-menawar di tengah kepungan bau apak waktu ngawul.

Oleh sebab itu, Uniqlo dan sebangsanya menjadi jujugan paling ideal. Sudah dapat dengan murah, banyak pilihan, tempatnya adem, luas, dan kalau ngemall ya bisa sambil nongkrong. Makin ke sini, bakal makin banyak one-stop shopping center.

Saat ini, di Yogyakarta, masih banyak thrift shop. Para pemain besar masih akan bertahan. Saya yakin hal itu karena salah satu pemain ngawul di Yogyakarta masih terhitung tetangga saya. Bagaimana dengan kelas menengah, bahkan kecil? Berat sekali pastinya.

Urbanisasi, kebutuhan untuk sekolah di kota besar, naiknya pendapatan, selera orang, dan gengsi akan mematikan budaya ngawul beberapa tahun ke depan. Kebutuhan gerai dan jenama yang bersahabat seperti Uniqlo akan lebih diminati. Apalagi masih ditambah kekuatan e-commerce.

Ucapkan selamat tinggal kepada bau apak dan keseruan tawar-menawar. Ngawul sudah mati?

BACA JUGA Beli Produk Uniqlo di Awul-Awul, Bentuk Dukungan pada Fast Fashion? dan artikel lainnya dari Yamadipati Seno.

Exit mobile version