Memahami Logika Atap JPO yang Dicopot Anies Baswedan

MOJOK.COOrang-orang nyinyir karena Anies Baswedan kasih instruksi mencopot atap jembatan penyeberangan orang (JPO). Hadeh, padahal banyak lho manfaatnya.

Anies Baswedan kena lagi. Gubernur tercinta masyarakat Jakarta ini jadi bahan ghibah netizen usai ramai soal lem Aibon. Sebabnya, salah satu jembatan penyeberangan orang (JPO) di Jalan Sudirman, Jakarta Pusat tiba-tiba jadi nggak ada atapnya.

Gubernur DKI Jakarta pada 23 Oktober silam memang sudah mengimbau kepala dinas agar atap JPO dibongkar saja. Artinya, pencopotan ini memang merupakan program gubernur.

“Saya sudah minta Bapak Kepala Dinas, nanti Bapak ulangi. Ini semua penyeberangan-penyeberangan yang ada di sini, di sisi sini, kan ada JPO-JPO, Pak, atapnya dicopot, Pak. Jadi tanpa atap. Tidak usah pakai atap. Karena memang dari tempat panas ke tempat panas lagi,” kata Anies saat itu.

Kenapa Anies minta atap JPO dicopot, alasannya ada di tuturan selanjutnya. “Itu tempat selfie paling sering, Pak, nanti. Karena pemandangan gedung di malam hari, bagus sekali. Sore, siang. Jadi atapnya copot, itu langsung jadi space terbuka. Ini tidak perlu pakai kerumitan, tinggal copot atap saja.”

“Tapi JPO kita itu atapnya ada, supaya tidak kena hujan dan panas. Itu benar bila dari indoor ke indoor. Tapi kalau dari ruang terbuka ke ruang terbuka, sebetulnya tidak perlu ada penutup,” tambah Anies lagi.

Tentu saja ide ini banyak dipertanyakan oleh kita semuwa. Kalau memang sedari awal desain JPO tidak ada atapnya, mungkin masih bisa dipahami, tapi kalau tadinya punya atap lalu dibongkar, bukannya itu malah aneh? Ngabis-ngabisin anggaran aja.

Lah, mending anggarannya untuk bongkar atap JPO dong ketimbang buat beli lem Aibon. Bijimana seh, masak gitu aja kagak ngarti?

Di sisi lain, keputusan ini juga dikritik karena melihat kondisi panas menyengat di Jakarta, disertai dengan tingkat polusi yang tinggi, bikin pejalan kaki butuh tempat-tempat teduh. Setelah pepohonan di sekitar Jalan Sudirman juga nggak teduh-teduh amat, menghilangkan tempat yang teduh tentu sangat dipertanyakan. Lebih-lebih kalau alasannya biar bisa pada selfie.

Namun, harus dipahami, pandangan seperti itu sebenarnya cuma pandangan nyinyir saja. Sebab, kalau mau dipikir-pikir kembali, netizen saja yang belum paham betapa banyak manfaat dari dicopotnya atap JPO ini. Lagipula keputusan ini jelas sudah dipikirkan masak-masak. Bahkan mungkin sampai kematengan jadinya.

Seperti misalnya soal panas. Netizen yang nyinyirin Anies Baswedan ini tidak paham, bahwa jembatan ini kan dipakai (paling sering) untuk mereka yang berangkat kerja di pagi hari, sehingga mataharinya masih sangat bagus untuk berjemur.

Lagipula seharian para pekerja itu berada di gedung ber-AC. Nggak terpapar sinar matahari babar blas. Waktu pulang juga udah malem, udah nggak ada matahari lagi. Maka jelas, atap JPO itu malah menghalangi warga Jakarta dari sinar matahari. Itu namanya melanggar sunnatullah, bahwa kulit manusia itu bagusnya ya terpapar panas sinar matahari.

Melalui keputusan ini pula, Anies sebenarnya juga sedang memikirkan kebutuhan Vitamin D warganya. Masing ingat kan dengan jargon Pak Anies dulu? Maju kotanya, bahagia warganya. Dan kebahagiaan itu bisa terpancar makin jelas kalau warganya mau dipaksa berjemur.

Lebih ajaib lagi, kebutuhan Vitamin D ini minim memakai dana BPJS. Sudah irit, bisa keringetan gratis, minim makan anggaran negara lagi. Warbiyasa bukan?

Soal selfie juga mashook sekali. Buat warga Jakarta, kondisi jalanan yang macet dan polusi yang tinggi kan cuma dikeluhkan oleh mereka, bagi warga udik dari daerah kayak saya yang sesekali melancong ke Jakarta, melihat kemacetan itu menjadi sebuah wahana yang unik lho. Di daerah jarang soalnya lihat macet separah itu.

Hal-hal kayak gitu malah baiknya memang jangan ditutupi, tapi dibuka selebar-lebarnya. Lagian, kapan lagi bisa selfie di atas kemacetan Jakarta? Sebab, kalau zaman dulu maskot Jakarta adalah Monas atau Kota Tua, sekarang itu maskot Jakarta adalah kemacetan.

Jadi kalau ada orang daerah yang melancong ke Jakarta belum ngerasain macet, ya berarti mereka “belum ngerasain Jakarta”. Itulah kenapa, selfie di atas kemacetan kota jadi pembuktian yang perlu untuk diupload di IG Story.  Sambil berpanas-panas ria pula, di atas JPO, wah, wah, jadi makin ngerasain Jakarta banget. Panas, polusi, keringetan, dan macet.

“Mak, aku di Jakarta neeeh!”

Oke deh. Itu kan kalau cuacanya cerah, kalau hujan gimana? Kehujanan dong orang-orang yang lewat JPO?

Yaelah, hujan aja ditakutin.

Justru tanpa adanya atap JPO, Gubernur Anies Baswedan sebenarnya sedang memberdayakan hal lain agar bisa dimanfaatkan warganya, yakni: jasa ojek payung.

Coba kita pikir lagi. Kalau semua atap JPO ada, orang-orang menyeberang tanpa perlu jasa ojek payung dong? Mematikan lahan rezeki orang lain dong itu namanya? Yawla, kelas menengah ngehek memang cuma mikirin kepentingannya sendiri sih. Nggak kayak Anies Baswedan yang memikirkan semuanya.

Dengan tanpa atap JPO, profesi ojek payung ini bisa sangat menjanjikan. Untuk menyeberang dari satu titik ke titik kan lumayan untuk tambah-tambah penghasilan warga Jakarta. Lagian, sebentar lagi bakal musim ujan. Ini tepat banget. Momentumnya pas gitu.

Lah, kalau JPO jadi licin gimana? Orang yang menyeberang jadi kepleset gimana? Ya itu namanya risiko. Dengan adanya risiko licin, orang bisa kepleset, Gubernur sedang mengajari warganya kalau lagi jalan kaki itu baiknya jangan buru-buru. Pelan-pelan dong dikit. Santai, selow, nggak usah diburu waktu. Kalau jalannya buru-buru kepleset kan? Gimana, keren sekali bukan?

Sayangnya, pandangan penuh visi yang membahagiakankayak gini tentu bakal sulit dipahami kalau sedari orok udah benci sama Anies Baswedan. Padahal kebijakan ini sangat pro sekali dengan keajaiban. Maju kotanya, keringetan warganya.

Terima kasih, Pak Anies. Udah berani bikin kebijakan tak populer tapi wangun tiada banding tiada tanding. Benar-benar out of the box kayak Wiro Sableng dengan kapak 212-nya aja.

BACA JUGA Halo Jokower, Serangan Kalian ke Anies Baswedan Bisa Jadi Bumerang atau tulisan AHMAD KHADAFI lainnya.

Exit mobile version