Melepas Anak ke Pesantren

"Duh, anakku gimana ya? Bisa nyuci sendiri nggak ya di pesantren? Di-bully sama temen-temennya nggak ya? Aduh."

Ngelmu Pesantren lan Ngelmu Sekolahan Ora Iso Dibandingke, Kabeh Duwe Keutamaane Dewe-dewe MOJOK.CO

Ngelmu Pesantren lan Ngelmu Sekolahan Ora Iso Dibandingke, Kabeh Duwe Keutamaane Dewe-dewe MOJOK.CO

MOJOK.CODalam momen perpisahan orang tua dengan calon santri di pesantren, kamu akan lebih mudah menemukan orang tua yang menangis ketimbang anaknya.

Melepas anak ke pesantren tidak pernah mudah bagi kebanyakan orang tua. Ketimbang rasa khawatir si anak yang ditinggal orang tuanya, sebenarnya perasaan khawatir justru lebih kuat dari sisi orang tua.

Saya memang punya pengalaman sebagai anak yang ditinggal di pesantren. Saya pikir, itu adalah salah satu momen mengerikan dalam hidup ini. Usia belum akil balig dan kamu dipaksa keadaan untuk hidup mandiri.

Pada mulanya, sebagai anak-anak yang belum bisa berpikir panjang, anak yang ditinggal di pesantren bisa saja cengengesan. Terutama kalau si anak punya perasaan jadi terbebas dari segala macam aturan orang tuanya di rumah.

“Waaah, akhirnya, aku bisa bebas dari omelan bapak-ibu. Aseeek.”

Namun, situasi tersebut akan berubah ketika menyadari kalau aturan di pondok pesantren ternyata lebih ketat ketimbang di rumah. Rasa kangen itu, sependek pengalaman saya yang waktu kecil dititipkan di pesantren, baru akan terasa empat hari sampai seminggu kemudian.

Rasa kangen ini muncul karena banyak hal. Kamu tak bisa makan sebebas yang kamu mau, teman yang kamu miliki ternyata tidak seasyik yang kamu pikir, kakak kelas yang rese ternyata ada banyak, sampai kegiatan sekolah-ngaji-sekolah-ngaji yang rasanya berlangsung tanpa henti.

Oke baiklah, hal-hal semacam itu memang bakal muncul dari sisi anak, tapi bagaimana dengan sisi bapak-ibunya?

Sejauh pengalaman saya mengantar keponakan, anak teman, sampai kemudian punya anak (yang pada akhirnya menyadari bahwa saya akan melepasnya ke pesantren suatu hari nanti), saya tahu betul betapa berat melepas anak ke pesantren.

Lebih berat lagi kalau orang tua yang melepas anaknya ke pesantren itu juga merupakan santri. Pengalamannya di masa lalu, yang pernah juga merasakan hidup sulit pada hari-hari pertama menjadi santri, menjadi bayangan yang menghantui orang tua pada bulan-bulan pertama memondokkan anaknya ke pesantren.

Menjadi orang tua yang melepas anak ke pesantren terasa semakin berat karena proses pendewasaan anak jadi lebih buru-buru dari biasanya—yang artinya anak jadi mandiri lebih dulu dari temen-temennya. Hal yang sebenarnya juga jadi momok bagi seluruh orang tua.

Soalnya ketika normalnya orang tua merasa ditinggal anak ketika si anak udah kuliah (lalu ngekos luar kota misalnya), keluarga yang punya tradisi memondokkan anaknya ke pesantren akan merasa “kehilangan” anak sejak si anak lulus SD (rata-rata orang tua memondokkan anaknya dari usia segitu).

Oke, memang betul, pada bulan-bulan pertama si anak bakalan nangis, kepengin pulang nggak betah, dan merengek ke orang tuanya. Hanya saja, ketika tahap itu terlewati dan si anak mulai beneran betah di pesantren, si anak bakal terbalik jadi nggak bisa betah lama-lama di rumahnya sendiri.

Si anak ini akan punya jiwa petualang. Hawanya kepengin merantau terus. Bahkan bakal sampai pada satu titik, si anak akan menganggap teman-teman pesantrennya lebih dekat dari keluarga. Ini poin yang sebenarnya juga jadi ketakutan berikutnya bagi banyak orang tua.

Makanya, dalam momen perpisahan awal-awal begini, yang biasanya nggak kuat itu ibu dari si calon santri. Si ibu akan menyadari bahwa momen perpisahan itu ya benar-benar pisah beneran.

Si ibu menyadari, dalam beberapa tahun ke depan, si anak tidak akan lagi tergantung lagi pada dirinya. Dan bagi ibu, hal seperti itu cukup berat untuk diterima.

Si anak bisa aja petentang-petenteng santai. Ya karena si anak pada hari-hari pertama kerap kali tak menyadari, kesulitan model apa yang sebentar lagi bakal menyambutnya di pesantren.

Sedangkan si ibu, sudah tentu sangat paham apa yang akan dihadapi anaknya. Oleh karena itu, si ibu biasanya bakal lebih heboh ketimbang si anak yang justru kebingungan dengan sikap orang tuanya.

Si anak mbatin, “Ini bapak-ibuku kenapa sih? Lebay amat deh.”

Lalu dua atau tiga hari kemudian, gantian si anak yang bakal nangis lebay sampai pilek ke orang tuanya.

BACA JUGA Usiamu Baru 25 Tahun dan Kamu Mendadak Jadi Kiai dan tulisan soal dunia SANTRI lainnya.

Exit mobile version