MOJOK.CO – Memaafkan Soeharto sesuai imbauan Megawati mungkin masih bisa dilakukan. Namun, melupakannya adalah hal yang muskil dilakukan banyak orang.
“Waktu ayah saya dijatuhkan dengan cara, yang menurut saya tidak beretika, saya bilang jangan hujat Pak Harto,” ungkap Megawati pada Senin (7/1) di kantor DPP PDIP, Jakarta.
Imbauan Megawati untuk tidak lagi menghujat Soeharto tentu akan sangat sulit dilakukan. Menahan diri untuk tidak menghujat saja sulit, apalagi tidak lagi mengungkit soal Orde Baru an 32 tahun Soeharto berkuasa. Tahun 2003 yang lalu, Megawati, ketika masih menjadi Presiden pernah mewacanakan abolisi kepada Soeharto. Wacana yang akhirnya mentah.
Sekali lagi, di satu sisi, memaafkan saja sangat sulit, apalagi melupakan “segala yang terjadi” pada masa Orde Baru. Namun, kamu perlu memberi sedikit apresiasi kepada sikap Megawati yang bijaksana. Beliau orang yang paling dekat dengan peristiwa Supersemar. Bapak beliau yang diturunkan Soeharto secara inkonstitusional. Ketika mau memaafkan, artinya beliau melupakan dendam. Sebuah contoh bagus yang sulit kita temukan di dunia politik baru-baru ini.
Megawati boleh mengimbau, tetapi kader-kader PDIP tidak bisa begitu saja menurut. Kritik kepada Soeharto dan Orde Baru tetap nyaring terdengar. Apalagi di tengah Pilpres 2019 ketika wacana-wacana “kangen Orde Baru” kembali diangkat. Terutama oleh anak-anak si jenderal dengan senyum manis itu.
Ketika wacana kangen itu diungkit-ungkit lagi, beberapa kader PDIP menyambar dengan “ganas”. Misalnya ketika Ahmad Basarah, Wakil Sekjen PDIP, yang menyatakan bahwa Soeharto adalah mahaguru korupsi.
“Guru dari korupsi Indonesia sesuai TAP MPR Nomor XI tahun ’98 itu mantan presiden Soeharto,” kata Basarah pada tanggal 28 November 2018 yang lalu. Atas pernyataannya, Basarah sudah dilaporkan ke polisi, tetapi belum menjadi tersangka hingga Januari 2019 ini.
Membela Basarah, Hasto Kristiyanto, Sekjek PDIP sekaligus Sekretaris TKN Jokowi-Ma’ruf, menegaskan bahwa kangen dengan Soeharto sama sama dengan rindu kepada korupsi dan nepotisme. “Merindukan zaman Pak Harto itu berarti merindukan KKN, merindukan kolusi, merindukan korupsi, dan nepotisme,” tegas Hasto pada 23 November 2018.
Ketika dimasukkan ke dalam konteks Pilpres 2019, teriakan-teriakan pembenci Soeharto tidak lagi nyaring, namun bikin pekak telinga. Balutan kubu Jokowi, melawan kubu Prabowo yang di dalamnya terdapat banyak perindu Orde Baru, menjadi penyebabnya. Kebencian kepada mantan presiden itu semakin terasa.
Hasto bahkan mengatakan bahwa kebijakan zaman Orde Baru hanya dinikmati segelintir orang, yang mana adalah keluarga Soeharto. “Lihat saja hartanya. Wajar kalau kroni Pak Harto mengampanyekan agar itu kembali, karena mereka menikamati privilege luar biasa. ketidakadilan yang muncul akibat salah urus selama pemerintahan Soeharto.”
Pernyataan Hasto tentu bisa menggiring fantasi kita ke anak-anak Pak Harto yang saat ini bikin partai dan mendukung Prabowo di Pilpres 2019. Oleh sebab itu, sudah kadung benci, ditambah konteks Pilpres 2019, yang mana sudah sangat toksik untuk sebagian orang, membuat imbauan Megawati untuk tidak lagi menghujat Pak Harto bahkan memaafkannya, menjadi sulit dilakukan.
Saya jadi ingat dengan salah satu teman lama yang dahulu pernah terlibat dalam proyek beberapa buku budaya. Kakek dari teman saya ini menjadi salah satu korban kekerasan 1965. Padahal, kakek teman saya bukan simpatisan PKI, apalagi penganut paham komunisme. Beliau hanya sebatas “suka” dengan sosok Bung Karno.
Kakek teman saya menjadi korban karena tuduhan palsu. Tuduhan dari orang yang tidak suka secara personal. Kampanye melenyapkan “antek-antek PKI” berdampak sangat luas. Ikut melahap juga ratusan, bahkan mungkin ribuan orang yang tidak bersalah, tidak tahu apa-apa. Apa akibat dari peristiwa tersebut?
Teman saya menjadi sangat benci kepada Soeharto dan Orde Baru. Tidak berhenti sampai di situ, ia juga menjadi benci kepada anak-anak dan semua orang yang mendukung Bapak Pembangunan itu. Hingga detik ini, hingga tulisan ini dibuat, sikapnya belum berubah. Kebencian itu ia bawa dan ditimpakan kepada Partai Berkarya yang dipimpin Hutomo Mandala Putra a.k.a Tommy Soeharto, anak Pak Harto.
Memaafkan lebih bisa dilakukan ketimbang melupakan. Apakah teman saya bisa memaafkan Pak Harto pada akhirnya? Saya tidak tahu. Apakah dia bisa melupakan Pak Harto? Saya yakin tidak.
Ajakan Megawati sungguh bijaksana. Sikapnya yang satu ini perlu menjadi contoh negarawan yang baik. Negarawan yang (mungkin) prihatin dengan risiko saling hujat menjelang hari coblosan Pilpres 2019 nanti.
Namun pada akhirnya, menjadi manusia yang mampu memaafkan adalah usaha berlutut di depan ego dan kepedihan masa lalu. Sebuah situasi yang muskil dilakukan tanpa kebesaran hati dan keiklasan sundul langit.