MOJOK.CO – Orang tua memang menang pengalaman hidup, namun dalam urusan literasi digital, pengalaman hidup ternyata bukan jaminan.
Mengunggah kritik, sindiran, meme, atau konten-konten lainnya yang isinya mengkritik kebijakan pemerintah bukanlah hal yang sederhana ketika itu dilakukan di Facebook. Sudah beberapa waktu saya mengamati, bahwa mengunggah konten dengan narasi yang “kontra” terhadap kebijakan pemerintah di Facebook selalu melahirkan banyak komentar bernada resisten. Hal yang sering tidak saya temui ketika saya melakukannya di Twitter, platform di mana isu-isu sosial dan politik justru berkelindan dengan lebih kompleks dan masif.
Di Facebook, saya masih sering sekali menemukan istilah-istilah cebang-cebong, komprat-kampret, kodran-kadrun, dan aneka istilah yang dulu sempat populer dalam polarisasi pilihan politik pada Pilpres 2019 lalu. Hal yang sekali lagi, jarang saya temui di Twitter.
Salah satu dugaan saya kenapa masih banyak isu-isu polarirasi yang amat besar di Facebook ketimbang platform-platform lain adalah karena masih banyaknya pengguna berusia tua.
Seperti kita ketahui bahwa lebih banyak pengguna berusia tua yang menggunakan Facebook ketimbang Twitter. Facebook sendiri saat ini memang masih menjadi media sosial paling banyak dipilih oleh orang-orang tua. Berdasarkan data dari Pew Research Center, Facebook mengalami peningkatan demografi secara pesat untuk pengguna tua khususnya generasi Silent (orang-orang yang lahir sebelum tahun 1945) dan generasi Baby Boomer (orang-orang yang lahir antara tahun 1946-1964).
Sebaliknya, tak banyak orang tua yang aktif di Twitter. Media sosial berlogo burung biru ini masih menjadi ruang digital yang erat dengan anak muda. Hal ini bisa dilihat dari persentase pengguna muda di bawah usia 24, di mana pengguna Twitter pada rentang usia ini persentasenya sebesar 23,1 persen, sedangkan di Facebook, persentase pengguna pada rentang usia yang sama hanya 14,6 persen.
Lantas, apakah memang usia memengaruhi isu polarisasi utamanya yang terjadi di media sosial? Sayangnya iya. Dan jelas sekali. Setidaknya itulah yang bisa saya tangkap dari liputan yang ditulis oleh Luthfi T. Dzulfikar tentang pilihan politik anak muda.
Laporan yang banyak menggunakan hasil survei dari lembaga survei Indikator Politik Indonesia itu memang menunjukkan banyak hal, salah satunya terkait kekritisan anak muda terhadap aktivisme politik.
Laporan tersebut secara gamblang menyebutkan bahwa peran anak muda yang lebih aktif dalam politik membuat faktor figur atau penokohan menjadi semakin lebih penting ketimbang faktor partai politik. Literasi digital yang baik di kalangan anak muda membuat kekuatan partai sebagai mesin politik dalam usaha mobilisasi pengaruh semakin tak relevan.
Anak muda memang semakin cerdas dalam memilah dan memilih. Hal itu pula yang salah satunya membuat kelompok ini tidak mudah terseret dalam arus polarisasi politik.
Dalam hal ini, tak bisa dibantah bahwa pengetahuan dan kesadaran politik anak muda memang jauh lebih maju ketimbang generasi yang lebih tua. Lebih dari itu, anak-anak muda juga lebih peka dan bisa lebih paham terhadap realitas politik.
Salah satu contoh nyata yang menggambarkan hal ini dengan jelas adalah persepsi anak muda terhadap kondisi demokrasi di Indonesia.
Seperti diketahui, demokrasi di Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Banyak kebijakan pemerintah yang dianggap represif dan anti-demokrasi. Pengesahan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sampai Omnibus Law menjadi sedikit dari sekian banyak contoh.
Dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2020 lalu, Indonesia bahkan mencatatkan skor indeks demokrasi terendah dalam kurun waktu 14 tahun terakhir dan menempatkan Indonesia masuk dalam kategori negara dengan demokrasi cacat.
Nah, fakta tersebut ternyata lebih bisa dibaca dan ditangkap oleh anak muda.
Berdasarkan hasil survei nasional (dengan responden lintas usia), setidaknya hanya 27,8 persen masyarakat Indonesia yang menyatakan bahwa Indonesia menjadi kurang demokratis dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan dalam survei pada segmentasi anak muda (dengan responden berusia 17-21 tahun), jumlah yang menyatakan bahwa Indonesia menjadi kurang demokratis mencapai 40 persen.
Hasil survei tersebut tentu menjadi bukti sahih bahwa memang anak muda lebih bisa diandalkan dalam mengamati realitas politik yang terjadi.
Hal ini tak bisa tidak memang dipengaruhi oleh tren penggunaan gadget pada anak muda yang memang membuat mereka lebih mudah untuk mendapatkan akses informasi. Ini berbeda dengan pengetahuan literasi digital orang-orang tua yang memang cenderung lebih lemah.
Maka, tak berlebihan jika kemudian orang tua menjadi kelompok yang cukup mudah terpapar hoaks, mudah termakan isu polarisasi politik, juga mudah percaya dengan banyak informasi yang ada di internet. Mereka menganggap bahwa apa saja yang ada di internet pastilah hal yang benar. Mereka tak ubahnya seperti anak muda yang baru pertama kali melihat video 3GP di ponsel dan langsung percaya bahwa di salah satu belahan bumi, ada anak durhaka yang kemudian dikutuk sehingga tubuhnya menjadi seperti ikan pari.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kominfo, Ferdinandus Setu pernah menyebutkan bahwa penyebar hoaks di internet didominasi oleh kelompok tua.
“Menurut data analisis kami di Kominfo, penyebar hoaks itu bukan anak-anak muda, lebih cenderung orang tua yang menyebarkan. Sebagai contoh banyak dilakukan ibu-ibu melalui chat. Asal forward tanpa harus membaca dahulu. Kira-kira penyebar hoaks itu umur 45 ke atas,” begitu kata Ferdinandus Setu.
Hal tersebut senada dengan hasil riset dari Princeston dan New York University yang menyatakan bahwa lebih banyak orang tua yang menyebarkan hoaks di media sosial ketimbang anak-anak muda.
“Pengguna Facebook di atas 65 tahun–terlepas dari pilihan politiknya–membagikan tujuh kali lebih banyak artikel hoaks, dibanding partisipan berusia 18-29 tahun,” begitu salah satu kesimpulan hasil riset tersebut.
Tentu saja bukan hanya soal politik, namun juga terjadi di banyak isu. Dari mulai kesehatan, agama, sosial, dan isu-isu lainnya. Orang tua hampir selalu menjadi yang terdepan dalam urusan menjadi pelaku sekaligus korban penyebaran berita hoaks.
Kurangnya literasi digital pada orang tua ini tak sekadar berdampak terhadap penyebaran hoaks atau isu polarisasi politik, lebih dari itu, hal tersebut juga berdampak erat terhadap tingkat toleransi.
Iklim keragaman yang didapatkan oleh anak-anak muda melalui pergaulan di media sosial secara tidak langsung ternyata telah membuat mereka cenderung lebih toleran ketimbang orang-orang tua.
Dalam hasil survei Indikator Pollitik terhadap anak muda, untuk responden muslim, sebanyak 61,7 persen menyatakan tidak keberatan jika orang non-muslim membangun tempat ibadah di sekitar tempat mereka tinggal. Hal ini sangat berbeda jauh bila dibandingkan dengan hasil survei nasional lintas usia di mana jumlah yang tidak keberatan hanya sebanyak 39,3 persen.
Aneka fakta ini saya pikir sudah lebih dari cukup untuk meraba kecenderungan yang ada pada dunia media sosial ketika melibatkan orang-orang tua.
Rasanya menjadi sangat beralasan jika kemudian saya masih sangat sering menemukan orang berdebat tentang pilihan politik di Facebook. Orang-orang masih sibuk mencebongkan dan mengkadrunkan orang-orang yang berbeda pilihan politik dengannya, bahkan ketika Prabowo sudah berada satu gerbong dengan Jokowi.
Di Facebook, masih bisa dengan mudah kita temui orang-orang yang menuduh orang lain sebagai pendukung Anies Baswedan hanya karena ia mengkritik kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jokowi. Begitu pula sebaliknya. Hal yang pasti menjadi barang norak ketika itu terjadi di Twitter yang memang penuh dengan anak muda.
Seorang kawan yang aktif sebagai aktivis pernah berujar kepada saya bahwa dirinya sering sekali memberikan pelatihan literasi digital kepada anak-anak sekolah. Ia mengajari anak-anak remaja untuk menggunakan media sosial dengan benar.
“Aku itu sudah ngasih pelatihan media sosial mungkin sudah ke ribuan anak. Tapi jujur saja, sampai sekarang, aku masih belum bisa menjamin bapakku sendiri tidak sembarangan mem-forward pesan yang aneh-aneh ke grup WhatsApp.”
Saya sempat tertawa saat dia mengatakan hal tersebut. Namun membaca fakta-fakta terbaru terkait kecenderungan orang tua di media sosial, saya jadi sedikit merasa bersalah karena pernah menertawakannya.
Tampaknya memang benar apa kata orang, bahwa salah satu jihad terbesar dalam hidup adalah memantau postingan Facebook bapak dan ibu kita, serta kiriman-kiriman pesan mereka di grup WhatsApp keluarga.
BACA JUGA: Pahala Mengajari Bapak Menggunakan Whatsapp dan tulisan AGUS MULYADI lainnya.