Kesepian Paling Menyedihkan bagi Anak Rantau

kesepian paling menyedihkan buat anak rantau sendirian kangen rumah kangen orang tua pondok pesantren homesick jomblo untung ada ojol overthinking berdikari mandiri perantauan anak kos mojok.co

kesepian paling menyedihkan buat anak rantau sendirian kangen rumah kangen orang tua pondok pesantren homesick jomblo untung ada ojol overthinking berdikari mandiri perantauan anak kos mojok.co

MOJOK.CO Menjadi anak rantau konon adalah wujud perjuangan hidup. Walau seringnya mereka berada di momen kesepian paling menyedihkan.

Semenjak SMA saya merantau. Tapi saya beberapa kali merasakan kesepian paling menyedihkan yang bikin tulang belulang saya remuk redam. Oh, Tuhan, ternyata manusia bisa saja terbunuh hanya karena hidup sendirian.

Awal pertama merantau, saya sungguh gengsi mengakui kalau saya juga menangis. Sama seperti anak lainnya yang merasa kehampaan begitu jauh dari keluarga. Saya sampai nggak ngerti apa yang mendorong saya untuk begitu lancar mengucurkan air mata. Saya malu sama diri sendiri.

Pertama kali dilepas orang tua, saya tinggal di sebuah pondok pesantren di Purwokerto. Begitu pindahan dan angkut-angkut barang, saya sih merasa happy-happy aja. Pikir saya, saya ini kuat dan nggak cengeng.

Begitu melambai dari ibu, bapak, dan adik saya di malam itu, saya melihat ibu saya agak sedih. Katanya, kalau ada apa-apa saya disuruh bilang ke bulik saya yang kebetulan juga tinggal di Purwokerto, nggak jauh-jauh amat dari pesantren. Saya menjawab dengan santai, copy that, Mom.

Semalam-dua malam, saya sudah dapat teman dan kebetulan orangnya ngemong banget sama junior kayak saya. Btw pondok pesantren yang saya tinggali itu tipikal pondok ngaji sore. Jadi kalau pagi ya saya sekolah di sekolah negeri biasa dan juga banyak punya teman dari sana. Secara logika harusnya saya nggak kesepian.

Tapi suatu saat di Minggu pagi, saya terbangun dan mbrebes mili hanya karena begitu membuka mata saya nggak berada di kamar saya yang jendela kacanya sering nggak sengaja saya tendangin ketika ngelindur. Menoleh ke kanan dan ke kiri, ada orang-orang asing yang juga sedang dalam perantauan jauh dari orang tua. Ya Allah, urip ngene banget. Lalu saya menangis sambil memeluk guling.

Saya nggak sendirian, sebagan anak-anak baru di pondok justru ada yang lebih parah. Saya pernah mendengar seseorang menangis di kamar mandi sambil gebyar-gebyur biar nggak ketahuan. Pernah juga mendengar anak yang setiap pagi selalu menangis dan minta pulang sambil ditenangkan mbak-mbak pengurus. Pilu sekali.

Kalau dihitung dari SMA, saya sudah merantau sekitar sepuluh tahun lamanya. Dan di momen tertentu saya masih nggak kebal dari kesepian paling menyedihkan dalam hidup. Utamanya ini dirasakan ketika lagi sakit dan sendirian di kosan.

Selama ini saya tuh nggak pernah betah sendirian di kos. Apalagi kosan saya cuma diisi beberapa orang yang kalau siang hari pasti punya kesibukan masing-masing. Ujungnya saya pasti keluar main, cari teman dan menyibukkan diri.

Tapi ketika sakit, saya tumbang dan izin berangkat kerja. Boro-boro main, ke kamar mandi aja rasanya pingin ngesot. Katakanlah ini lebay, tapi namanya juga batuk, pilek, bersin, demam, dan radang tenggorokan, ya jelas terkapar. Lebih parah lagi sebagai anak rantau tiba-tiba saya merasakan kesepian paling menyedihkan kala itu.

Di saat saya nggak bisa ngapa-ngapain, saya justru sendirian dan nggak punya teman. Mau curhat pun ke siapa karena jomblo. Telepon orang tua bahkan cuma membuat mereka khawatir aja. Masalah sakitnya sih sepele, tapi overthingking-nya itu bikin bete.

Di saat sakit, anak rantau cenderung berpikir macam-macam karena kesepian. Otaknya liar memikirkan hal-hal yang seharunya diabaikan. Misalnya:

“Kenapa sih harus sakit? Aku pengin sembuh.”
“Ya ampun sendirian banget pas sakit. Kesepian akutu…”
“Mau periksa ke puskesmas nggak ada yang nganterin, ujung-ujungnya pesan ojol.”
“Mau pesan makanan biar bisa minum obat tapi tepar, ujung-ujungnya pesan ojol.”
“Astaga, aku kayak nggak punya teman, sendirian di titik nadir.”
“Teman-temanku selama ini palsu, mereka nggak peduli dan cuma ada di saat bahagia.”
“Andaikan aku di rumah, ada ibu yang masakin bubur.”
“Sial, kenapa sih belum menikah.”
“Fucek mas mantan, fucek! Dia ninggalin aku sampai susah move on.”

Lah kan, ngelantur. Pikirannya bercabang-cabang kayak franchise restoran cepat saji. Kalau pikiran negatif begini diteruskan, bisa-bisa stres sendiri. Sakitnya pun nggak sembuh-sembuh karena khawatir berlebihan. Sial, lingkaran setan.

Padahal kalau sehat ya, bombong maning.

Kesepian memang menyebalkan, terutama bagi anak rantau yang belum berkeluarga. Kenyataan ini pahit, dan jujur saya nggak punya solusi.

Satu-satunya yang harus kalian pahami sebagai anak rantau adalah puisinya Loathsome Shamsir.

So be careful with your thoughts
while you’re alone as
there is always someone listening
to it, ‘Yourself’.

Tetaplah berdikari, wahai anak rantau yang kuatnya melebihi setruman Pikachu. Kalian keren!

BACA JUGA Menjadi Bersyukur sembari Sadar Diri Kita Bukan Tara Basro atau artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version