Motor Honda Beat seri Pop warna hitam dengan pajak tahunan yang sudah ngeblong beberapa tahun itu melaju dengan lancar dari Jogja ke Magelang. Pengendaranya tak lain dan tak bukan adalah saya sendiri.
Perjalanan pulang dari Jogja ke Magelang, yang hanya satu jam perjalanan itu, yang hanya berapa puluh kilo itu, entah kenapa selalu mampu menghadirkan pengalaman spiritual bagi saya.
Sebuah perjalanan pulang yang mungkin terasa sangat lebay kalau dianggap sebagai perjalanan kembali seorang pengembara, wong ya cuma sepelemparan batu.
Tapi yah, begitulah adanya. Jarak yang hanya beberapa puluh kilo itu nyatanya tak lantas membuat saya sering pulang ke Magelang. Saya pulang biasanya semingu sekali atau dua minggu sekali. Itu pun biasanya karena saya sudah tak bisa menahan kangen dengan bapak, emak, masakan emak, atau kawan-kawan di sana.
Mangkanya, perjalanan pulang itu selalu menjadi sangat sentimentil.
Momen-momen perjalanan itu selalu memunculkan perasaan yang unik. Bertemu dengan truk pasir langsiran yang tulisan di bokongnya selalu siap memancing senyum, dari yang standar seperti “Kutungu Jandamu” sampai yang nakal seperti “Mencari Nafkah Demi Desah” atau “Isih Penak Mbakyune”. Bertemu dengan foto-foto caleg yang tampangnya bervariasi, dari yang cakep, sampai yang tampangnya sangat mengganggu kamtibmas. Bertemu dengan anak-anak muda yang mencegat truk demi bisa ikut menebeng, dari yang sekadar menebeng untuk pulang ke rumah sehabis sekolah, sampai menebeng demi menciptakan gaya hidup punk yang lebih sahih dan otoritatif.
Bertemu pengamen, tentu saja salah satunya. Termasuk perjalanan pulang pagi kemarin.
Di lampu merah pertigaan mBlondo, motor saya berhenti cukup lama. Para pengamen pun tanpa ampun datang untuk menggeruduk barisan kendaraan yang berhenti.
Kali ini, pengamennya adalah pengamen-pengamen muda nan belia. Saya taksir, mungkin masih usia SMP. Mereka bergerombol dengan pembagian tugas yang bergitu rapi. Ada yang bertugas menggenjreng gitar kentrung, ada yang berdendang, ada pula yang hanya keplok-keplok tangan karena mungkin sadar diri tak punya skil bermusik yang mumpuni dan suaranya kelewat buruk.
Selayaknya pengamen yang berpeluh di bawah matahari, tampang-tampang mereka tentu saja begitu dekil dan kusut.
Melihat mereka berkeliling dari satu mobil ke mobil yang lain, dari satu motor ke motor yang lain, tentu saja timbul rasa keprihatinan. Rasa yang tentu saja wajar jika muncul pada diri saya, sebab saya merasa punya nasib yang lebih baik ketimbang mereka.
“Ah, anak-anak sekecil itu, seharusnya jam segini masih belajar dan bermain dengan kawan-kawan mereka di sekolah, bukannya berkelahi dengan waktu di jalanan seperti ini,” batin saya.
Sembari melihat mereka berkeliling, saya mengambil uang receh yang biasa saya kumpulkan di dasbor motor. Bersiap untuk memberikannya pada mereka sebagai tebusan atas suara dan genjrengan gitar kentrung mereka.
Tiga orang mendekat, tapi ternyata tidak mendatangi saya, melainkan mobil di sebelah saya. Mungkin saya yang hanya pakai motor dianggap tidak terlalu berpunya, sehingga mereka menganggap propabiitas saya akan memberikan uang dianggap kecil.
Tapi tak apa, toh saya tetap bisa menyodorkan uang receh saya pada mereka.
Dari jarak yang tak begitu jauh, saya bisa mendengarkan mereka bernyanyi.
“Mengapa terlalu cepat kau pergi, tinggalkan batu nisan…”
“Kenyataan ini begitu memilukan, ingin ku rasa turut serta…”
Demi mendengar potongan lagu tersebut, saya tentu saja terperanjat setengah mati. Ya Tuhan, mereka membawakan lagu “Biarkan Aku Menangis”, sebuah nomor legendaris milik penyanyi kondang 80-an Tommy J Pisa.
Di tengah demam Korean pop dan serbuan musik elekton dan EDM seperti sekarang ini, mendengar anak-anak usia muda membawakan lagu Tommy J Pisa terasa sangat menyejukkan.
Keprihatinan yang tadi sempat muncul beringsut mulai hilang dan berganti dengan optimisme.
Saya gagal memberikan uang receh limaratusan berjumlah empat buah itu sebab lampu sudah keburu hijau.
Motor kemudian saya pacu.
Sepanjang perjalanan, saya terus saja membatin pengharapan saya pada para pengamen kecil itu. “Tak usah sekolah, anak muda. Teruslah mengamen. Selera musik kalian luar biasa.”