Kebimbangan Pada Rumah Makan Islami Tapi Tak Islami

ayam penyet

Saya sering sekali makan di sebuah rumah makan dengan menu ayam di Jogja. Sebut saja namanya Rumah makan X. Ada banyak alasan saya suka makan di rumah makan ini, selain pelayannya yang ramah dan cukup sigap, menunya juga enak. Ayam penyetnya, juga ayam bakarnya, legit betul. Apalagi sambal bawangnya, tahu dan tempe kremesnya, juga es cendolnya. Ah, semuanya serba menyelerakan.

Kalau bukan karena kewajiban menulis, ingin rasanya saya berhenti menulis paragraf ini sekarang juga untuk kemudian ngeslah motor dan langsung meluncur ke sana.

Bukan hanya pelayan dan menu makanannya saja yang bikin nyaman. Keunggulan rumah makan ini adalah nuansa islami yang sangat kental. Segala yang ada para rumah makan ini memang terasa sangat islami. Di beberapa titik temboknya tertulis tentang jaminan kehalalan menunya. Tertulis juga nasihat-nasihat baik yang sangat islami. Tentang salat, tentang ibadah, dsb.

Hampir seluruh pelayannya yang perempuan berjilbab. Karyawan yang lelaki juga beberapa pakai peci. Pokoknya makan di rumah makan ini berasa makan di rumah makan yang dikelola oleh pesantren.

Satu-satunya hal yang mungkin tidak menyenangkan dari rumah makan ini adalah harganya. Yah, ana rega ana rupa. Ada harga ada rupa. Maklum kalau harganya agak mahal, wong memang enak rasanya.

Namun kegemaran saya makan di rumah makan X ini beberapa waktu yang lalu mendapatkan hantaman yang sangat keras.

Adalah pacar saya, yang memberikan hantaman itu.

Kepada saya, ia bercerita tentang rumah makan X yang dianggapnya zalim pada karyawannya. Ia bercerita bahwa salah satu saudara dari kawannya bekerja di rumah makan tersebut, dan ia diceritani betapa tidak menyenangkannya bekerja di rumah makan X.

“Mas tahu nggak berapa gaji kerja di rumah makan X itu?” Kata dia dari atas motor saat saya bonceng dan kebetulan melewati rumah makan tersebut.

“Enggak, memangnya berapa?”

“Cuma satu juta per bulan, Mas. Satu juta. Itu untuk karyawan baru. Sedangkan untuk karyawan yang sudah lumayan lama, satu juta dua ratus. Padahal kerjaannya berat banget. Nguleg sambalnya banyak banget, bersih-bersih outlet, mbungkusin, menyiapkan pesanan, belum kalau pas jam ramai, sibuknya setengah mati.”

Saya yang diceritani begitu tentu saja kaget. Seakan tidak percaya dengan apa kata pacar saya.

Gaji satu juta per bulan adalah gaji yang sangat keterlaluan, setidaknya jika melihat beban kerja yang tampak. Saya bisa melihat sendiri betapa sibuknya karyawan di rumah makan tersebut. Semacam pekerjaan yang bergegas. Apalagi saat jam makan siang.

“Aku tu emosi pas diceritain sama kerabatku itu,” kata pacar saya.
Bayangin, sudahlah gajinya kecil, bonusnya juga kecil. Kemarin aja, pas puasa, pesanan paket box-nya itu bisa sampai ratusan, tapi bonus buat THR-annya tahu nggak cuma berapa? Cuma seratus ribu, Mas.”

Pacar saya tampak sangat emosi. Saya juga.

“Harusnya kalau memang mau menerapkan rumah makan yang islami, jangan cuma pakai embel-embel atau simbol yang islami, tapi juga menerapkan nilai-nilai keislaman, misal keadilan untuk pekerja, atau nilai-nilai menjauhkan diri dari kefakiran dengan memberikan upah yang layak untuk para karyawannya. Wong menu makanannya saja mahal, kok nggaji karyawannya keterlaluan.”

Saya kemudian berada dalam kondisi yang penuh dengan pergolakan batin. Di satu sisi, saya marah dan ikut murka dengan apa yang diceritakan oleh pacar saya. Di sisi yang lain, lidah saya tidak pernah bisa bohong, saya suka dan ketagihan dengan ayam bakar rumah makan tersebut.

Saya diam sejenak.

“Ya sudah,” kata saya tiba-tiba. “Besok kita nggak usah makan di situ lagi.”

Dia diam, tampak lebih tenang. Saya pun begitu. Hati saya jadi terasa lebih tenang. Walau sejujurnya, saya akui, lidah saya tidak sependapat dengan hati saya.

Entah, besok saya bakal kuat atau tidak memboikot rumah makan tersebut.

Tapi ya Tuhan, ayam bakarnya memang enak.

Exit mobile version