Perwujudan Keadilan Sosial Dalam Wujud Pulsa Hape

Seminggu yang lewat, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melalui ketuanya, Bambang Brodjonegoro, memaparkan konsumsi dominan masyarakat kelompok miskin, atau yang oleh bersangkutan dihaluskan menjadi masyarakat ekonomi terbawah (Yaelah, Pak, miskin mah miskin aja). Dalam pemaparannya, ada satu fakta yang cukup menarik untuk dicermati.

Dalam pemaparannya, Bambang menjelaskan bahwa di luar pangan, masyarakat miskin terpantau banyak mengeluarkan uang untuk konsumsi pulsa hape.

“Kelompok 40% terbawah konsumsi (pulsa) handphone-nya besar. Bahkan data Susenas Maret 2017 mengatakan kontribusi konsumsi pulsa terhadap konsumsi per kapita per bulan mencapai 25%,” ujarnya.

Ini menjadi fenomena yang cukup menyenangkan. Sebab ada satu ruang konsumsi di mana tak ada kesenjangan yang besar untuk bisa dicapai oleh si kaya dan si miskin: Pulsa hape.

Selama ini, orang dengan ekonomi makmur punya banyak privilege yang mungkin akan susah digapai oleh si miskin, dari mulai akses pendidikan di tingkat lanjut, kemudahan menggunakan transportasi yang nyaman, keluar masuk dysqotyque dan karaokean, dan sebangsanya. Namun khusus untuk facebookan, twitteran, instagraman, dan wasapan di hape, orang miskin sanggup untuk mengimbanginya.

Rasanya semua orang paham, bahwa internet memang menjadi hal yang sangat penting. Namun khusus untuk orang miskin, internet bisa jadi lebih dari sekadar penting. Ia bisa menjelma menjadi sebuah kebutuhan.

Pada titik tertentu, bagi orang miskin, internet adalah ejawantah yang paling sederhana dari konsep sila keadilan sosial.

Orang miskin tak punya banyak alternatif hiburan untuk mengalihkan kemiskinannya. Karenanya, kehadiran hape dan internet memang sangat sukses menjadi penolong. Ia bisa membantu banyak orang miskin untuk sekadar melupakan betapa miskinnya dirinya.

Melalui internet, orang miskin bisa memposting sesuatu yang sanggup untuk menutupi kemiskinannya. Posting foto saat makan di restoran, seolah-olah itu menjadi rutinitasnya, padahal untuk makan di sana, ia butuh menabung cukup lama. Atau posting bareng pejabat biar tampak seperti orang penting, padahal si pejabat memang sedang pencitraan berkampanye keliling mendekati orang-orang miskin. Di hadapan internet, batas kaya dan miskin selalu tak jelas.

Efek internet dan hape pada kemiskinan muncul bukan semata psikis, namun juga fisik.

Banyak orang miskin yang berkali-kali tidak berbuka karena sibuk bermain hape, dan sama sekali tidak merasakan lapar yang melilit. Padahal dulu, setiap terdengar bunyi dul dul dul dari bedug mushola dekat rumah, mereka langsung njrantal meringkus satu mangkok mie instans yang sengaja diperbanyak kuahnya. Mereka melumatnya dan menyerutup setiap tetes kuahnya sampai tak bersisa. Semacam balas dendam terhadap 12 jam yang penuh lapar dan dahaga.

Pada titik ini, internet ampuh bukan saja untuk mengalihkan kemiskinan, namun juga ampuh menunda lapar.

Mungkin memang benar adanya bahwa Pemerintah memang seharusnya punya program untuk menurunkan harga pulsa. Ia memang tidak akan mengurangi kemiskinan, tapi setidaknya, akan ada banyak masyarakat miskin yang tidak merasa miskin.

Apakah kalian setuju, sobat mysqynku?

Exit mobile version