Kasus Novel Baswedan dan Kebiasaan “Elu Aja yang Maju” Orang Indonesia

Keadilan untuk Novel Baswedan MOJOK.CO

MOJOK.COTim Pencari Fakta gagal menemukan fakta baru dari kasus kejahatan yang menimpa Novel Baswedan. Tidak berani gung ho karena ancamannya sangat nyata?

Pada titik tertentu, kasus Novel Baswedan itu seperti situasi ruang kelas ketika Bapak Guru selesai menjelaskan sesuatu. Lantaran tidak ada yang mau bertanya, Bapak Guru memberikan pertanyaan. Saling lempar pun terjadi, mirip kasus Novel Baswedan ketika Tim Pencari Fakta (TPF) gagal menemukan “jawaban” atas kasus yang terjadi pada tahun 2017 itu.

“Sudah jelas semua? Nah, ada yang mau ditanyakan?” Kata Bapak Guru di depan kelas setelah menyampaikan sebuah penjelasan.

“…” Kelas itu hening. Beberapa siswa berusaha keras menghindari tatapan Bapak Guru biar nggak disuruh tanya. Fansuri, yang duduk di paling belakang malah sibuk ngupil dan dipeperkan ke punggung Khadafi, teman sebangkunya.

“Nggak ada yang tanya? Baik, berarti semua sudah paham, ya?” Bapak Guru kembali bertanya.

“…” Lagi-lagi, kelas hening.

“Kalau semuanya diam pertanda sudah paham, Bapak aja yang tanya.” Selesai berbicara, kesunyian kelas semakin menjadi-jadi. Sontak, beberapa siswa menundukkan kepala, takut tatapannya bersirobok dengan Bapak Guru dan ditanya-tanya. Fansuri malah sudah berkeringat dingin. Dia nggak menyimak blas penjelasan guru. Khadafi juga pucat, mungkin sudah ngompol karena ketakutan.

Bapak Guru mengajukan sebuah pertanyaan, sulit juga rupanya. Sesulit mengharapkan keadilan di kasus Novel Baswedan. “Nah, ada yang bisa menjawab? Kalau ada yang bisa, kalian boleh pulang lebih cepat.” Kebetulan, pelajaran Bapak Guru itu ada di jam terakhir.

Para siswa kasak-kusuk. Fansuri berbisik kepada Magelangan, siswa paling pandai, yang duduk di depannya. “Gel, cepetan dijawab. Mayan bisa pulang cepet, main PS kita.” Khadafi mengompori. “Ho o, Ngan, ndang dijawab. Tak belikan Samsu sak ler sama es teh, wis.” Bahasa Indonesia Khadafi campur-campur, medok pula.

Magelangan, yang sudah ngantuk berat, cuma melirik. “Aku lagi,” batinnya. Dua menit berlalu, tiga menit, empat menit. Tatapan mata Bapak Guru mulai memburu. “Bapak tunjuk, nih. Kalau nggak ada yang mau menjawab.” Kelas itu tiba-tiba menjadi sumuk, beberapa siswa bandel mulai berkeringat dan kompak melirik ke Magelangan. Tatapan mereka seakan-akan berkata, “Ngan ayo dijawab!”

Lama-lama, Magelangan jadi tak sabaran. Ia mengacungkan tangan siap menjawab. Wajah-wajah di kelas itu mendadak cerah, lega nggak disuruh “bekerja” kayak TPF mencari fakta baru dari kasus Novel Baswedan. Namun, setelah mencoba menjawab, Magelangan justru gagal total. Jawabannya salah, Bapak Guru dan siswa lain kecewa. Diharapkan kok malah begitu, batin Fansuri sambil melengos.

Ternyata, Magelangan memang nggak tahu jawabab Bapak Guru karena dirinya sibuk tidur. Tidur, sambil tetap bisa duduk tegak dengan mata terbuka. Sebuah ilmu kanuragan yang ia pelajari di puncak Gunung Tidar.

Ketika ekspektasi makin tinggi, dirinya malah mengecewakan. Persis seperti hasil kerja TPF yang sudah bekerja selama 6 bulan, tapi gagal memberi rekomendasi atas kasus Novel Baswedan.

Tidak ada yang baru dari kasus Novel Baswedan

Rabu siang (17/7), TPF memaparkan hasil temuan mereka. Selama 6 bulan bekerja, salah satu temuan mereka adalah ada 3 orang yang perlu untuk diperiksa oleh polisi. Masalahnya adalah, fakta yang diajukan TPF itu sudah ada sejak kasus Novel Baswedan terjadi pada tahun 2017 yang lalu.

Direktur Eksekutif Lokataru, sekaligus anggota tim advokasi Novel Baswedan, Haris Azhar, menganggap temuan tersebut sebagai pengingat belaka. “TPF memperkuat memori dan pengetahuan lama kita, bahwa [memang] ada 3 pelaku lapangan,” kata Haris dalam keterangan tertulisnya, seperti dikutip oleh Tirto.

Apakah TPF seperti Fansuri dan Khadafi di atas yang “Elu aja yang maju,” melimpahkan kerja selanjutnya kepada kepolisian? Mengapa TPF, yang bekerja salama 6 bulan, hanya mentok sampai di situ? Pertanyaan-pertanyaan dari hasil kerja, yang berpotensi menggiring opini publik kepada kesimpulan bahwa kasus Novel Baswedan ini memang diotaki oleh “tangan tak terlihat”.

Yang bikin mengernyitkan dahi adalah TPF justru memandang kalau Novel Baswedan sudah melakukan excessive abuse of power, atau penggunaan kewenangan secara berlebihan yang menimbulkan serangan balik. Haris Azhar dibuatnya bingung.

“Kewenangan yang mana yang melampaui hukum?” kata Haris. Sama seperti Haris, Alghiffari Aqsa, salah satu anggota tim advokasi Novel, merasa kewenangan berlebih Novel Baswedan ketika mengusut sekurang-kurangnya enam kasus besar KPK malah menyudutkan kliennya. Padahal dalam kasus penyiraman air keras ini Novel Baswedan jelas seorang korban.

Ngomong-ngomong, dua dari enam kasus yang ditengarai merupakan sebab Novel jadi korban penyerangan adalah korupsi proyek e-KTP dan kasus korupsi proyek Wisma Atlet. Kakap semua, brooo…

Melihat besarnya kasus yang pernah diampu Novel, apakah TPF nggak berani tuh mengusut lebih jauh? Serangan fisik kepada korban merupakan ancaman nyata. Menjadi sebuah pengingat kalau macam-macam, pasti disikat. “Elu aja deh yang maju,” kok ya menjadi masuk akal.

Namun, meskipun “masuk akal”, situasi semacam ini memberi bukti kalau hukum memang (masih sulit) tajam ke atas. Kalau terus seperti ini, besar kemungkinan kasus Novel Baswedan bakal masuk “kotak es”.

Mau sampai kapan hukum Indonesia begini?

Exit mobile version