Kalau Harga Tiket Pesawat Naik karena Kampanye, Kenapa Kita yang Kecele?

MOJOK.CO Harga tiket pesawat naik dipengaruhi dari banyaknya permintaan saat liburan. Namun, saat ini, tiket-yang-mahal disebabkan oleh hal lain: kampanye!

Sejak pagi tadi, lini masa saya dipenuhi sambatan kawan-kawan sesama perantau. Banyak dari mereka mengomentari soal harga tiket pesawat naik yang konon bikin kepala pusing dan hati bimbang. Bahkan, lebih dalam lagi, kenaikan harga tiket pesawat ini menyakiti sesuatu yang lebih vital: dompet!

Saya jadi kepo. Makin saya ulik, makin saya paham pula kekagetan teman-teman perantau karena harga tiket pesawat naik, khususnya karena terjadi pada penerbangan domestik saja. Nah, menanggapi hal ini, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi pun meminta masyarakat agar tidak berlebihan dalam merespons. Malah, dengan legawa, ia mengajak kita semua untuk menerima hal tersebut dengan besar hati. Mungkin, Pak Budi ini sedang mendengarkan lagu Lapang Dada-nya Sheila on 7, jadi ke-trigger untuk ikhlas kali, ya?

Lebih lanjut, Budi Karya menegaskan bahwa harga tiket pesawat naik ini masih berada dalam batas wajar yang sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) nomor 14/2016. Jika masyarakat merasa harganya melambung, itu hanyalah efek dari perang harga antarmaskapai. Saat ini, perang sudah reda dan harga kembali normal. Nah, harga normal inilah yang kemudian menggambarkan harga tiket pesawat yang mendadak seperti sedang mengejar cita-cita—alias setinggi langit, alias mahal banget.

Agak berbeda, Sekretaris Umum Asosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan (Astindo) Pauline Suharno—sebagaimana dikutip dari Jawa Pos—mengatakan bahwa harga tiket pesawat naik dipengaruhi dari banyaknya permintaan saat liburan. Namun, saat ini, tiket-yang-mahal-meski-libur-telah-selesai disebabkan oleh hal lain: banyaknya permintaan partai politik untuk keperluan kampanye.

[!!!!!!11!!!1!!!!]

Sementara itu, kenapa penerbangan internasional terasa lebih murah pun dijelaskan pula alasannya: tersedianya banyak pilihan pesawat, mulai dari Full Service Carrier (FSC) hingga Low Cost Carrier (LCC), menjadikan maskapai mulai melakukan perang harga sehingga harga yang muncul jadi jauh lebih murah dibandingkan penerbangan domestik.

[!!!!!!11!!!1!!!!]

Duh, Bapak-Bapak sekalian, yang bener aja, deh—masa karena orang-orang kampanye saja dompet kami harus dikorbankan??? Apa kami perlu ikutan tanda tangan di petisi menolak harga tiket pesawat naik yang lagi viral itu??? Hmm???

Terkait harga penerbangan domestik yang menjulang tinggi seperti harapan bersama dirinya, Menteri Budi Karya bahkan telah menerima laporan soal isu warga Aceh yang ramai-ramai mengajukan pembuatan paspor hanya untuk terbang ke Jawa. Loh, loh, ngapain???

Usut punya usut, harga tiket Aceh ke Jawa melalui penerbangan langsung justru jauh lebih mahal dibandingkan dengan penerbangan yang mengharuskan penumpangnya untuk transit dulu ke Kuala Lumpur. Iya, saya ulangi sekali lagi: transit ke negara tetangga kita, Malaysia.

Gi-gimana ceritanya???

Pada kasus penerbangan dari Aceh, konon harga tiket ke Jawa (Jakarta atau Bandung) akan menjadi lebih murah jika melalui transit ke Kuala Lumpur, Malaysia. Nah, seberapa murahkah “lebih murah” itu?

Berdasarkan pengakuan seorang warga Aceh, harga tiket ini bisa tereduksi hingga 70%. Jika tiket Aceh-Bandung harus dibayar dengan biaya lebih dari 3 juta rupiah, tiket transit Malaysia hanya memberi harga 900 ribu rupiah. Konsekuensinya, penumpang harus merelakan waktu hingga sekian jam di bandara di Kuala Lumpur.

Duh! Tapi, yaaaa, bodo amatlah! Yang penting, kan, lebih murah! Bisa update di Instagram Story sambil tag lokasi di luar negeri, pula!

Selain memilih penerbangan transit demi ke kota tujuan, cara lain turut viral di media sosial. Konon, cara ini disebut sebagai hidden city ticketing, di mana seorang penumpang mengambil tiket penerbangan dari kota A ke kota C, dengan transit ke kota B. Namun, berbeda dengan strategi warga Aceh, kota tujuan sebenarnya penumpang adalah kota B, bukan kota C. Jika diaplikasikan, contohnya begini:

Kamu ingin pergi dari Jayapura ke Jakarta, tapi harga tiketnya mencapai 6 juta rupiah. Sementara itu, tiket Jayapura ke Kuala Lumpur hanya sebesar 4 juta, plus transit di Jakarta—kota tujuanmu sebenarnya. Maka, kamu memilih pergi dengan tiket Jayapura-Kuala Lumpur, lalu bersiap-siap ‘kabur’ di Jakarta saat pesawat sedang transit.

Tapi, tapi, tapi—tunggu dulu: dilansir dari berbagai sumber, hidden city ticketing justru bisa berbahaya. Meski terkesan menguntungkan karena harganya yang lebih murah, cara ini justru membuat kita (hah, kita???) merugikan penumpang lain yang benar-benar ingin pergi kita tujuan akhir. Kok bisa?

Ya, monmaap, nih: situ pernah nggak, sih, pergi pakai penerbangan yang panjang dan melelahkan??? Pernah nggak situ merasa badan udah pegel-pegel di kursi, tapi pesawat nggak terbang-terbang juga dan harus delay hanya karena menunggu pihak maskapai memanggil nama-nama orang yang belum boarding ke pesawat, padahal mereka bisa saja sebenarnya sudah kabur saat transit dan sedang mengaplikasikan trik hidden city ticketing???

Lagi pula, FYI aja nih, kalau kamu membawa barang bawaan di bagasi (bukan kabin), secara otomatis pihak maskapai akan membawa barang bawaanmu ke pesawat lanjutan untuk mencapai kota tujuan terakhir—bukan kota transit. Ribet, nggak, sih kalau kamu harus laporan dan memohon-mohon berhenti di kota transit sambil menciptakan seribu satu alasan, persis kayak mantanmu pas ketahuan selingkuh sama temanmu sendiri???

Udahlah, daripada mikirin trik-trik yang berisiko gara-gara harga tiket pesawat naik, mending kita ikhlas saja—seperti kata Pak Budi Karya. Apalagi, ini semua kan terjadi karena permintaan tinggi dari partai politik yang lagi kampanye—seperti kata Bu Pauline Suharno.

Yaaah, kalau nggak ada kampanye, nanti kita nggak bisa lihat kompetisi seru antara Cebong dan Kampret, kan?

Exit mobile version