Jangan Protes Edy Rahmayadi Nyalahin Wartawan Kalau Kita Masih Suka Nyalahin Meja Tiap Kepentok

MOJOK.CO Kebiasaan salah-menyalahkan agaknya sudah mendarah daging di kalangan kita, termasuk apa yang dilontarkan Edy Rahmayadi terkait kegagalan timnas Indonesia.

Kegagalan timnas Indonesia di laga Piala AFF 2018 menyisakan kesan cukup besar. Pasalnya, ketidakberhasilan ini diikuti oleh pernyataan kontroversial dari Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi, yaitu:

“Wartawannya yang harus baik. Kalau wartawannya baik, nanti timnasnya baik.”

Sontak saja, jawaban Edy mendapat banyak reaksi. Beberapa wartawan menuliskan artikel permintaan maaf yang tentu saja berbau satire karena—please, deh—apa coba hubungannya wartawan yang menulis berita dengan performa serta keberhasilan timnas? Apakah maksud Pak Edy ini wartawan harus menulis segala kabar baik—bahkan mengubah fakta yang buruk menjadi berita yang baik? Atau, jangan-jangan, maksud Pak Edy Rahmayadi ini, para wartawan harus menuliskan bagian tambahan di bawah berita yang dilaporkannya, yaitu mengenai ‘amanat yang bisa diambil’, persis seperti pelajaran bahasa Indonesia semasa SD dulu?

Entah apa maksud dari Pak Edy sebenarnya. Tapi yang jelas, semua olok-olok dan kritik yang ditujukan kepada pejabat yang juga merangkap sebagai Gubernur Sumatera Utara ini menggambarkan sebuah fakta menyedihkan yang—sayangnya—telah lama kita anut sejak kecil, sadar atau tidak sadar. Apakah itu?

Mari kita sebut hal ini sebagai…

…‘kebiasaan menyalahkan’.

*JENG JENG JENG*

Waktu kecil, saya suka sekali memanjat pohon. Sekalinya jatuh gara-gara kurang fokus mencari pegangan, orang tua saya membantu saya berdiri sambil menepuk batang pohonnya dengan kesal dan berkata, “Pohonnya nakal, ya, bikin Adek jatuh!”

Dulu, adik saya yang paling kecil hobinya lari-lari dari kenyataan dengan kecepatan tak terkira sewaktu ia baru bisa berjalan. Namanya juga anak-anak; arah geraknya kerap tak terprediksi dan terkontrol. Alhasil, suatu hari, ada benjutan merah di jidat si adik, lengkap dengan suara tangis yang membahana. Dia baru saja kepentok meja.

Sebagai kakak yang niatnya sok heroik, saya men-cep-cep-kan adik sembari memukul-mukul meja dan berkata, “Ini mejanya nakal, sih, ya! Nakal!”

Bertahun-tahun kemudian, di sebuah teknologi bernama Instagram, saya menemukan konten berisi Do’s dan Don’ts terkait hal-hal seputar pengasuhan anak. Usut punya usut, kebiasaan menyalahkan yang sudah saya alami sejak kecil itu masuk ke kolom Don’ts, Saudara-saudara. Ya, selama bertahun-tahun, saya ternyata berada di bawah sistem parenting yang tidak dianjurkan dan justru menurunkan hal tersebut ke adik saya sendiri!

Bayangkan, betapa hancurnya hati saya saat itu saat mengetahui bahwa luka-luka di kaki saya ini semua adalah karena keteledoran saya, bukan karena pohon, motor, meja, atau bahkan tembok dan pagar rumah. Semua salah saya!!!!!11!!1!!

Baiklah, sebelum semakin lebay, mari kita fokus lagi ke pembahasan kita. Ehm.

Kebiasaan menyalahkan ini bukan hanya ditemukan dalam parenting. Kalau mau cermat, banyak sekali permainan blaming yang tak kalah kocaknya jika dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh Edy Rahmayadi.

Dalam kasus perselingkuhan, misalnya, hal ini nyatanya sering terjadi. Jika salah satu dari pasangan selingkuh, kritik pedas tak jarang malah muncul menyerang pihak yang diselingkuhi, dikata-katai sebagai orang yang terlalu sibuk dan asyik sendiri, atau tak bisa diajak ketemu setiap hari. Padahal, hadeeeeeh, dasarnya aja itu pacarnya tukang ngerayu paling nyebahi sedunia!

Kasus bercanda yang dilontarkan Prabowo juga bisa menjadi contoh. Dalam suatu kesempatan, ia menyebutkan orang-orang dengan ‘tampang Boyolali’ tak bisa masuk ke hotel-hotel karena tidak memiliki tampang orang kaya.

“Saya yakin, kalian nggak pernah masuk hotel-hotel tersebut, betul? Mungkin kalian diusir karena tampang kalian tidak tampang orang kaya. Tampang kalian, ya, tampang orang Boyolali ini.”

Meski kita pahami betul bahwa Prabowo hanya bercanda (yang diikuti tawa bahagia dari audiensnya), ada sebuah implikasi kebiasaan menyalahkan di sana: seseorang dilarang masuk hotel karena tampangnya.

Padahal, apa sih hubungannya masuk hotel dengan tampang??? Memangnya, petugas hotel di Boyolali itu Pengamat Tampang Internasional dan hanya mau bersalaman dengan orang-orang yang ber-cosplay jadi pejabat DPR yang jelas-jelas kaya, gitu???

Pertanyaan yang sama juga bisa kita lontarkan ke pernyataan-pernyataan aneh lainnya. Apa coba salahnya meja yang cuma diam seharian di sana dan tanpa sengaja ditabrak anak kecil??? Kenapa malah mereka yang disalahkan, padahal tugas mereka memang cuma untuk dipajang dan diam, serta jadi tempat menaruh barang-barang—termasuk barang-barang si anak kecil itu??? Kenapa malah dipukul???

Coba bayangkan kalau meja-meja (atau pohon, lantai, polisi tidur, motor, tembok, dan lain sebagainya) itu punya nyawa. Apa mereka nggak bakal depresi disalah-salahin terus? Hmmm?

Jadi, Saudara-saudara, selain mengolok-olok dan menyerang, kasus pernyataan Edy Rahmayadi yang out of the box itu rasa-rasanya patut juga kita pertimbangkan sebagai produk dari budaya kita sendiri. Menyalah-nyalahkan sesuatu, seperti yang dilakukan Lord Edy, jelas tidak baik, apalagi kalau nggak nyambung dan nggak makes sense.

Lagian, kalau memang nggak nyambung, mbok wis to, disimpen sendiri aja. Kalau nggak nyambung tapi dipaksa nyambung, apa nggak malah menyakiti hati sendiri?

Eh.

Exit mobile version