Inferiority Complex Orang Indonesia: Ramah ke Bule, Galak ke Ras Sendiri

inferiority complex poskolonialisme bule ras kaukasia ras mongoloid minder mojok.co

inferiority complex poskolonialisme bule ras kaukasia ras mongoloid minder mojok.co

MOJOK.COKalau kamu mendadak minder dan takut ngomong pas ketemu orang kulit putih, tapi cenderung mengejek dan meremehkan kalau ketemu orang dari Afrika atau negara Asia tapi sama-sama dunia ketiga, fix kamu punya inferiority complex sisa-sisa era penjajahan. 

Waktu magang di sebuah NGO di Jakarta tahun 2017 lalu, saya sempat diberi tugas menemani tamu seorang aktivis perdamaian asal Filipina. Aktivis itu mampir ke kantor kami untuk mencari materi best practice dalam upaya kontraterorisme melalui pemberdayaan perempuan.

Waktu itu, saya sempat bertanya-tanya, ngapain kok belajarnya ke Indonesia? Best practice-nya kontra terorisme itu kan Inggris dan Australia?

Pertanyaan saya baru terjawab ketika saya seminggu penuh menemani si aktivis mengunjungi jaringan NGO yang kerja di isu ini, bagaimana pendekatan lokal yang mereka lakukan berhasil membangun ketahanan di level masyarakat. Barulah saya sadar kalau orang Indonesia tuh ternyata keren juga.

Ke mana aja sih saya selama ini?

Sebagai mahasiswa HI yang setiap hari terpapar bacaan-bacaan berbahasa Inggris, saya selalu merasa bahwa Barat adalah kiblat peradaban. Mereka akan menyelamatkan dunia dari kehancuran melalui teknologi-teknologi yang mereka ciptakan. Indonesia mah apa atuh, masih jauh ketinggalan.

Pemikiran bahwa apa yang tercipta di Barat selalu lebih baik, dari apa yang kita miliki sekarang, di masa depan, atau bahkan selamanya ini ternyata namanya inferiority complex. Freud yang awal mencetuskan, tapi dikembangkan oleh Frantz Fanon untuk menunjukan bagaimana orang-orang dari negara berkembang melihat orang-orang dari negara maju.

Saya, dan saya pikir kebanyakan orang Indonesia juga, nyatanya masih punya mentalitas peninggalan jaman kolonial ini. Ya mau gimana lagi, durasi kita bersama mereka tuh lama banget! Ratusan tahun, bro, kita dijajah. Bayangin berapa banyak doktrin dan trauma yang berhasil mereka tinggalkan dalam pikiran kita bergenerasi-generasi.

Standar cantik contohnya, jangan salahkan Lucinta Luna kalau dia bilang perempuan cantik tuh harus putih. Toh tanpa kita sadari, kita juga punya bias yang sama dalam hal lain. Standar pendidikan dan kepintaran misalkan, kita kok ya nerima-nerima saja kalau ukuran orang pintar itu adalah orang yang sekolah di luar negeri.

Gara-gara inferiority complex ini, orang-orang Barat, di mata kita selalu terlihat sempurna. Mereka berpendidikan, independen, cantik/ganteng, dan nyaris tanpa celah. Bahkan hanya dengan melihat mereka terlibat dalam aksi sosial sedikit saja, kita melabeli mereka sebagai makhluk yang begitu humble dan langsung memuji-muji mereka. Pokoknya apa pun hal-hal yang baik, adalah apa yang “menyerupai” mereka.

Karena kita sudah kadung ngerasa inferior, kita jadi merasa harus mengikuti aturan main dan cara-cara mereka. Ini jelas membuat mereka merasa semakin superior dan punya “kewajian moral” untuk menyelamatkan orang-orang yang mereka anggap terbelakang: orang-orang selain mereka, atau yang “liyan”. Mereka membentuk institusi-institusi, norma-norma sesuai dengan standar mereka mengenai apa itu yang dianggap ideal. Dengan sendirinya, kita yang inferior ini menunjukan kepatuhan. Di sinilah Barat menghegemoni pikiran kita.

Padahal, kalau kita lepas pikiran-pikiran inferior ini, Indonesia tuh ya nggak surem-surem amat. Tanpa pengetahuan dari Barat, selama ini orang Indonesia punya caranya sendiri untuk bisa berjaya. Dulu kita nggak mengenal dokter dan ilmu kedokteran ala Barat, tapi kita punya tabib dan dukun beranak yang pengetahuannya memang tidak tertulis, tapi kan tetep pengetahuan.

Orang Barat mengenalkan konsep bekerja untuk menghasilkan uang dan memenuhi kebutuhan. Kerja dulu baru bisa makan, beli rumah, piknik, dan lain-lain. Tapi orang Indonesia, punya konsep srawung yang mana warga bergotong royong saling membantu. Tidak pernah ada orang kelaparan karena tidak punya pekerjaan.

Standar-standar yang dibikin Barat ini yang bikin kita merasa rendah. Karena saat cara hidup Barat menjadi barometer utama capaian kehidupan, maka yang lain mengalami proses “perliyanan” (subalterization).

Ini yang bikin orang Indonesia, hormat banget sama orang Barat. Memperlakukan mereka dengan ramah, memuji, dan memuja. Tapi eh tapi tidak melakukan hal yang sama kepada saudara, teman, atau tetangga. Suka julid lah, bacot lah, minjem uang tapi jadi lebih galak dari orang yang minjeminnya lah.

Dan yang jarang kita sadari, mentalitas ala kolonial ini sudah nempel juga di masyarakat. Selalu ada kelompok yang lebih merasa superior dari kelompok lain.

Orang kota selalu merasa lebih beradab dari orang desa, misal. Atau orang Jawa yang dianggap lebih baik dari orang luar Jawa. Lalu, yang merasa superior ini, melakukan kejahatan yang sama. Membuat standar-satandar moral, nilai, dan etika untuk menebalkan konstruksi “liyan” bagi orang di luar mereka. dengan cara itu lah, mereka mengatur dan mendisiplinkan orang-orang yang dianggap “liyan itu.

Hadeeh. Surem, ya? Ternyata jadi nggak ada ujungnya.

BACA JUGA Catatan Mualaf Mudik ke Jerman atau esai NIA LAVINIA lainnya.

Exit mobile version