MOJOK.CO – Ribut dan viralnya hp santri yang dihancurin pakai palu oleh pengurus pondok memang asyik. Saking asyiknya kita jadi lupa konteks sosialnya apa.
Barangkali karena jalannya Sidang MK dalam sengketa Pilpres 2019 berjalan layaknya tim yang diasuh Jose Mourinho: membosankan dan gitu-gitu aja, netizen Indonesia tampaknya menemukan perburuan baru untuk jadi bahan baku tubir.
Sejak beberapa hari lalu, viral sebuah video penghancuran belasan smartphone milik santri Pondok Pesantren Ngabar di Ponorogo. Buat kamu yang belum nonton, berikut ini saya kasih videonya:
Akibat gak taat aturan..https://t.co/aE5tO59GPh pic.twitter.com/zuwGoEuvUc
— 1CAK (@onecak) 23 Juni 2019
Netizen Indonesia dan keributan memang dua entitas yang tak bisa dipisahkan. Saling melengkapi. Kayaknya sih jauh lebih erat ketimbang lele dan pelet (baca: pakan). Sekali ada bahan yang berpotensi bikin ribut, langsung deh tiba-tiba jadi beringas kayak lele di empang yang dilempari pelet.
Usai keributan cebong dan kampret mereda, isu reklamasi cuma begitu-begitu aja, sekarang netizen terbelah lagi. Ada yang mengolok-olok aktivitas ini dan ada juga yang membela.
Mereka yang tidak sepakat, menganggap bahwa tindakan ini sangat mubazir. Kata mereka, “Yaelah, mending hapenya dijual, dikasih ke anak yatim atau keluarga miskin.” Buat mereka yang sepakat dengan tindakan si pengurus pondok membela, “Memang aturannya nggak boleh bawa hape, kalau udah tahu nggak boleh kenapa nggak boleh dihukum? Kapan jeranya kalau nggak digituin?”
Ternyata, keributan ini juga menyasar ke hal yang lebih substansial lagi. Ada semacam klasifikasi dadakan bahwa yang menolak (kebanyakan) tidak pernah mengenyam atau tahu gimana model pendidikan di pesantren. Sedangkan mereka yang membela (kebanyakan pula) pernah mondok, atau bahkan pernah jadi pengurus pondoknya sekalian.
Semua saling menyalahkan satu sama lain. Sampai kemudian, @lambe_turah, memposting sebuah foto yang menunjukkan klarifikasi dari pihak pesantren.
Terang sudah kemudian, bahwa sudah jadi peraturan di Pondok Pesantren Ngabar kalau “hancur-hancuran hp santri pakai palu yang biadab” itu sebenarnya sudah disepakati oleh orang tua/wali santri sebelumnya. Artinya, konteks sosial kasus ini baru diketahui belakangan.
Lah kenapa terus kemarin ribut?
Oh, karena, mereka yang komentar belum utuh memahami benar sedang mengritik apa. Tidak tahu apa yang terjadi, tidak paham bagaimana situasinya, tidak mengerti konteks sosialnya eh tiba-tiba aja main justifikasi.
Pertanyaannya: apakah ini salah?
Ya nggak dong. Netizen Indonesia kan bebas untuk viral. Apa aja boleh dikomentari bahkan sekalipun tidak utuh apa yang sedang dikomentari. Kamu kira kenapa saat ini makin banyak ustaz-ustaz dadakan di media sosial? Ya karena kita punya kultur-siber ajaib yang gini-gini ini. Demen sekali ikut ribut dengan hal-hal yang nggak dipahami.
Noh, baru kemarin juga ada ustaz yang sok-sokan mengomentari arsitektur masjid, soal meninggalnya petugas KPPS, bahkan sampai UFO segala dan berakhir dibui karena viral. Ketika diminta keterangan jawabannya sungguh menusuk ulu hati: tahu info-info tersebut dari medsos.
Padahal, dalam kehidupan nyata, ada banyak peraturan-peraturan sosial masyarakat yang nggak bisa diseragamkan—hanya karena tidak tercantum aturannya di undang-undang negara. Saya khawatir, orang yang menyalahkan secara sepihak tanpa klarifikasi ini tambah banyak di kemudian hari.
Akan lebih seram lagi kalau orang-orang model begini lalu berkunjung di sebuah pondok pesantren di Rembang yang punya peraturan khusus nan istimewa yang sederhana tapi bisa memancing keributan juga kalau diposting dengan kepsyen model menghakimi.
Di sana, kalau kamu pakai peci putih dan nyelonong masuk ke dalam kompleks pesantren, kamu bakal ditegur untuk melepas peci. Lalu diarahkan untuk menggantinya dengan peci warna lainnya.
Ada aturan tak tertulis bahwa siapapun yang masuk pesantren tersebut, maka mereka harus menghormati peraturan ini. Siapapun, sekalipun kamu bukan santri.
Bukan tidak mungkin besok-besok ada netizen cerewet yang masuk ke sana. Lalu saat ditegur untuk melepas peci putihnya merasa kebebasannya dibatasi, seketika itu juga si netizen protes.
“Yaelah, cuma pakai peci putih aja dilarang. Radikal amat sih ini pondok pesantren.” Lalu posting di akun media sosialnya—sambil tentu bawa “bukti” berupa foto atau video.
Viral. Netizen lalu ramai. Ribut lagi. Olok-olok menyasar ke pondok pesantren. Bilang kalau aturan itu tidak masuk akal. Terlalu berlebihan. Bisa saja mirip-mirip kayak hp santri yang dihancurkan pakai palu oleh pengurus pondok di Ponorogo itu.
Padahal kamu nggak tahu, ada alasan khusus kenapa di pesantren itu tidak diperkenankan memakai peci putih. Alasan yang sama khususnya dengan yang dipakai si pengurus pondok untuk menghancurkan hp santri pakai palu. Alasan yang—mungkin—bagi kamu sangat tidak masuk akal.
Alasannya sederhana: di pesantren Rembang tersebut, peci putih hanya diperkenankan untuk mereka yang sudah pernah naik haji.
Oke, baiklah, mungkin kamu bakal komentar lagi; “Yaelah, segitunya amat sih minta dihormati udah pernah haji.”
Jangan salah, pengasuh pesantren (yang merupakan ulama paling sepuh di Nusantara), punya kebijakan agar para santri menghormati orang yang udah haji, penghormatan yang juga berlaku bagi masyarakat sekitar yang udah haji pula.
Sebab, masyarakat di lingkungan pesantren bukanlah orang-orang tajir. Mereka perlu bekerja keras untuk bisa naik haji. Menjual sapi, jual sawah, bahkan—mungkin—jual rumah agar bisa menunaikan ibadah ke tanah suci.
Dengan pengorbanan semacam itu barangkali Mbah Yai menilai hal tersebut harus diapresiasi. Dengan sebuah langkah sederhana berupa “peci putih”, pertanda yang bersangkutan sudah pernah naik haji. Status sosial ini diperlukan sebagai bentuk penghormatan tingkat tinggi yang bisa diberikan.
Sekarang—misalnya—ketika ada netizen cerewet datang menggunakan peci putih. Peci yang mungkin baru dibelinya di toko dengan harga 5 ribu perak, lalu dengan perlente masuk tanpa merasa bersalah. Hal itu dianggap sudah mencederai bentuk penghormatan pesantren terhadap mereka yang udah “membeli peci” dengan harga setara harga satu motor CBR.
Lalu ketika si netizen cerewet ini sudah posting, tak mustahil bakal muncul komentar-komentar tak mau tahu dengan konteks sosial sebenarnya, lalu menghakimi.
“Buat apa perlu ada peraturan peci putih segala? Bukankah manusia di hadapan Tuhan itu setara. Cuma amal dan ibadah saja yang membedakan. Kenapa menilai manusia dari warna peci yang digunakan?”
Ya komentar itu memang benar secara general. Tapi bakal jadi masalah besar kalau dimasukkan ke dalam ranah norma sosial yang berbeda-beda di masyarakat.
Paling tidak beberapa hari ini kita sudah melihat contohnya. Seperti membandingkan harga hp santri dengan tegaknya aturan yang sudah berlaku di sebuah pondok pesantren. Hanya karena kita menganggap kalau uang hasil jual hape sitaan itu jauh lebih berharga kalau disedekahkan.
Lah kamu kira tegaknya peraturan dengan memberi efek jera itu nggak jauh lebih berharga apa?