Hidup di Kenangan Teman

Hidup di kenangan teman

MOJOK.COMembicarakan kenangan tak selalu menyenangkan. Nostalgia malah bisa menjadi ratapan kesedihan karena kenangan bersama teman.

Beberapa hari yang lalu saya ngobrol dengan seorang teman yang mengeluh karena temannya yang selalu bercerita tentang masa lalu saat mereka masih SMP. Bukan hanya menceritakan soal kenangan yang sudah mereka lalui. Tapi juga meratapi, mengapa teman-teman di masa lalu mereka sudah tak sama lagi sifatnya.

“Saya sebenarnya mangkel kalau ketemu dengan jenis teman seperti ini,” kata teman saya ini. Ia  tidak terlalu suka membicarakan kenangan saat masa-masa sekolah tersebut. Baginya masa lalu biarlah berlalu. Tak perlu lagi dikenang-kenang.

Ingin rasanya ia ngomong ke temannya. “Saya dan kamu sudah hidup di masa lalu, kenapa harus diingat-ingat..move on..move on,” katanya. Baginya, akan menjadi beban ketika sebuah kenangan bersama teman selalu diulang-ulang untuk diceritakan.

Salah satu alasannya tak mau bercerita tentang kenangan masa lalu adalah takut kenangan yang diomongkan justru membawa kesedihan, bagi temannya atau bagi dirinya sendiri.

Kalaupun alasannya tidak ada topik yang lain yang dibicarakan, menurutnya lebih asyik  jika yang diceritakan adalah peristiwa masa kini. Namun, menurutnya memang tidak semudah itu bercerita dengan teman, apalagi jika ada jarak dan waktu yang membuat mereka tidak kerap bertemu.

Kalaupun mencoba berbicara topik yang lain, temannya atau dirinya yang nggak nyambung.

Suasana tidak nyambung juga ia alami dengan teman-teman di kampungnya yang banyak menikah selepas SMA. Ia tidak menyalahkan teman-temannya. Skala prioritas setiap orang akan berubah.

Ketika ia sibuk bercerita aktivitasnya yang sibuk, pergi ke sana kemari, teman-temannya sambat bagaimana repotnya mengasuh anak. Saat ia bercerita sulitnya mencari pekerjaan, teman-temannya bercerita enaknya menikah.

Teman saya yang lain ikut nimbrung dalam obrolan ini. Ia juga bercerita, punya sahabat pas masih SMP. Berangkat hingga pulang sekolah bersama. Begitu juga saat bermain. Semua berubah saat mereka tidak lagi satu sekolah saat SMA.

Bahkan saat bertemu pun mereka bingung mau ngomong apa. Padahal dulu mereka bisa bercerita apa saja. Akhirnya yang diceritakan adalah kenangan-kenangan masa lalu yang ia sendiri sebenarnya sadar bahwa itu menyebalkan untuk diceritakan.

Omongan teman saya ini mengingatkan peristiwa beberapa tahun yang lalu. Ketika media sosial mempertemukan saya dengan kawan saya semasa SMP.  Saat SMA saya berbeda sekolah dengannya. Ada suatu waktu, teman SMP saya ini datang ke rumah sepulang sekolah.

Tidak banyak waktu untuk mengobrol dengannya karena saat itu saya harus kembali ke sekolah untuk sebuah urusan organisasi. Di kemudian hari, setelah lulus SMA, saya menyesali sikap saya kepadanya saat itu.

Pikiran saya mengawang kemana-mana. Saat SMP, saya tahu teman saya ini tidak banyak memiliki kawan. Bisa dihitung dengan jari. Salah satunya saya. Saya berpikir, jangan-jangan saat SMA dia tidak punya banyak teman. Dia butuh teman cerita, dan saya mengabaikannya saat ia mungkin ingin menyampaikan keluh kesahnya.

Sampai kemudian di media sosial saya kembali berjumpa dengannya. Di beranda Facebooknya tidak banyak yang bisa saya baca tentang kesehariannya. Jumlah pertemananya terbilang sedikit.

Saya semakin merasa bersalah. Merasa memiliki andil yang membuatnya sedikit berteman. Saya kemudian mendapatkan nomor handphone kawan saya ini. Saya menyapanya melalui pesan WA.

Kami saling menyapa, meski terkesan basa-basi. Bertanya soal kabar, karir hingga keluarga. Saya sudah bersiap mengeluarkan kalimat permintaan maaf, karena di masa SMA saya tidak memiliki banyak waktu untuk mendengarnya bercerita.

Saya urung mengucapkannya. Ia begitu  asyik bercerita tentang bagaimana aktivitasnya saat ini. Bekerja sebagai seorang profesional di perusahaan yang ada di Jakarta.

Saya mencoba untuk membawanya ke kenangan masa lalu di sekolah. Mengingatkannya saat saya main ke rumahnya, atau sekadar ngobrol di bangku depan kelas. Menanyakan kabar mamanya yang baik sekali. Namun, dia lebih asyik bercerita kisahnya saat ini.

Saya akhirnya sadar, saya terlalu memaksakan dirinya membawa teman ke kenangan masa lalu. Padahal sekarang kita hidup di masa yang berbeda. Lingkaran teman yang tidak sama, hingga cara berpikir yang juga berbeda. Prioritas dalam hidup sangat mungkin juga sudah berubah.

Kadang, masa lalu tidak selalu menyenangkan diceritakan bersama teman. Meski kita begitu menginginkan cerita kenangan bersama teman,  ada yang ingin mengingat tapi ada juga yang ingin melupakan.

Jarak dan waktu ketika kenangan itu tercipta hingga sekarang bisa jadi begitu panjang. Ada banyak hal yang membuat seorang teman berubah. Bisa jadi karena kendala jarak, cara berpikir yang tidak sama lagi, hingga skala prioritas dalam menjalani kehidupan.

Katanya, semakin kita tua, maka semakin kita memiliki sedikit teman. Mungkin teman banyak, tapi sedikit yang akrab.

Saya pikir, semakin dewasa seseorang yang terpenting bukan banyak sedikitnya teman. Punya banyak teman, tidak ada manfaatnya kalau banyak yang ngemplang utang. Lebih baik teman sedikit tapi solid..

Ada lagi yang berpendapat, kenangan bersama teman biarlah tetap menjadi kenangan, yang penting sekarang adalah bagaimana membayar cicilan.

BACA JUGA : Bukan Semakin Tua Semakin Sedikit Teman, Tapi Prioritasnya yang Berubah  dan baca tulisan Pojokan lainnya.

Exit mobile version