Harus Diakui, Potensi Jadi Radikal Ada di Setiap Orang

Pengalaman ditanya seseorang mengenai kelompok radikal dan upaya agar tidak menjadi seperti itu.

Menjadi Radikal Bisa Diawali dari Kebiasaan Membatasi Teman

Menjadi Radikal Bisa Diawali dari Kebiasaan Membatasi Teman. (Mojok.co/Ega Fansuri).

MOJOK.COPikiran radikal bisa diawali dari langkah sederhana. Membatasi teman misalnya, kayak menunjukkan kamu ogah dengar pendapat yang berbeda.

Dalam salah satu sesi acara saya pernah ditanya seseorang dari kementerian. Tanyanya, “Sampean itu kan penyeleksi naskah di suatu media. Kalau misalnya ada tulisan dari orang-orang yang radikal-radikal itu, sampean terima tulisannya atau langsung tolak?”

Saya kurang paham dengan maksud dari frasa “radikal-radikal itu”, makanya saya tanyakan ulang.

“Maaf, yang gimana, Pak?” tanya saya balik.

“Ya radikal. Kayak misalnya dari kelompok dikit-dikit suka haramin sesuatu misalnya. Atau isinya tentang ajakan hijrah atau gerakan kembali ke Islam yang kaffah,” katanya tanpa menyebut itu kelompok apa.

Saya tersenyum.

“Tergantung sih, Pak,” kata saya.

“Tergantung gimana?” tanyanya.

“Ya apakah naskahnya ada ujaran kebencian dan cenderung menghakimi suatu kelompok tanpa argumentasi yang meyakinkan atau tidak,” jawab saya.

“Kalau misalnya begitu, sampean tolak?”

“Ya tentu saja,” jawab saya.

“Kalau tulisannya bagus, tapi mengampanyekan sesuatu yang di luar kebiasaan umat beragama kita gimana? Misalnya soal kampanye hijrah gitu?” tanyanya lagi.

“Sepanjang argumentasinya bagus dan bisa saya mengerti, bisa aja saya tayangkan, Pak,” kata saya.

Si penanya kaget melihat respons saya. Terutama sekali, blio mengira saya itu adalah golongan Nahdliyin tulen. Jawaban saya, yang terkesan memberi tempat pada kelompok “radikal-radikal itu”, sepertinya tidak bisa dia terima.

“Wah, itu bahaya dong, Mas,” katanya lagi.

“Bahaya gimana, Pak?” tanya saya.

“Ya berarti sampean ikut mengampanyekan gerakan radikal di Indonesia,” katanya memberi kesimpulan yang semakin membuat saya tersenyum lebar.

***

Dalam sebuah seminar yang lain, berbulan-bulan sebelum cerita yang pertama, ada salah satu peserta yang bertanya ke saya. Bagaimana sih cara menghindarkan diri dari kecenderungan menjadi radikal? Ini pertanyaannya.

Cukup sederhana, tapi jawabannya tidak mudah.

“Bertemanlah dengan banyak orang. Sebanyak mungkin, seluas mungkin,” kata saya.

Si penanya bingung, menurutnya itu jawaban yang kurang relevan.

Melihat raut mukanya yang masih bingung, saya lalu menjelaskan mengenai pengalaman saya sebagai penjaga gawang naskah yang masuk ke Mojok.co dan interaksi saya dengan banyak orang di luar sana.

Bahwa pekerjaan sebagai penjaga gawang naskah untuk media seperti ini, membuat mata saya jadi terbuka begitu lebar terhadap kelompok-kelompok yang tadinya saya pikir cukup radikal dan kerap saya hindari.

Sebut nama saja lah, teman-teman LDII misalnya. Saya jadi punya satu-dua kenalan dari kelompok itu. Atau ada juga teman-teman kelompok Tarbiyah atau Salafi, yang punya kecenderungan mengampanyekan hal-hal cukup strict soal agama. Saya juga punya kenalan di sana.

Tidak hanya itu, saya juga pernah berinteraksi dengan orang Ahmadiyah, simpatisannya Syiah, tapi di sisi lain juga punya kenalan simpatisan FPI dan ada juga simpatisan Hizbut Tahrir, padahal pada saat yang bersamaan saya begitu dekat bergumul dengan orang-orang Gusdurian.

Bagi beberapa orang, range pertemanan saya memang nggak jelas. Terkesan mencla-mencle. Tapi justru dari sana saya jadi nggak gampang menghakimi suatu kelompok kalau misalnya ada berita negatif tentang kelompok itu.

Alasannya? Ya karena saya merasa punya kenalan di sana. Dan saya tahu kenalan saya tak seburuk yang diberitakan.

Keburukan yang terjadi di suatu kabar nasional—misalnya, kerap saya kategorikan sebagai keburukan personal dari sosok yang diberitakan. Kabar itu tidak bisa menjadi representasi orang-orang di dalam kelompok itu secara utuh. Orang-orang yang beberapa di antaranya saya kenal.

Ya, harus diakui sih. Selama ini, konsep berteman dengan siapa saja kerap terpatok pada mereka yang berbeda agama. Misalnya, saya yang Islam, berteman dengan saudara saya yang Katolik atau Buddha. Iya, itu penting, tapi ada juga yang nggak kalah penting lagi menurut saya.

Yakni, ketika kamu merupakan orang yang mengaku moderat dalam beragama, tapi justru mau berteman dengan orang yang “tadinya” kamu pikir cukup keras dalam beragama.

Wuuuh, hasrat untuk debatnya selalu membara kalau kamu tidak berteman, tapi kalau sudah bersahabat, pada akhirnya kamu akan ada pada titik…

“Oke, dia punya penafsiran yang berbeda dengan saya. Nggak apa-apa, saya nggak setuju pendapatnya, tapi saya hormati dia sebagai manusia yang bebas berpendapat.”

Begitu kira-kira.

Hampir sama kayak Bhinneka Tunggal Ika nggak ya?

***

Balik ke cerita awal saya ketika ditanya-tanya soal “radikal-radikal itu” dan saya dituding ikut mengampanyekan ide-ide radikalisme di Indonesia.

“Tapi, Pak. Kebiasaan melabeli sesuatu sebagai radikal itu juga hampir sama bahayanya dengan kebiasaan kelompok sana yang melabeli yang berbeda dengan sebutan kafir lho,” kata saya.

Bapak itu berhenti sejenak.

Lalu saya menjelaskan mengenai bahayanya menjadi moderat yang radikal. Mengaku moderat, mengaku paling toleran, tapi justru tidak mau bersentuhan langsung dengan teman-teman muslim yang berbeda penafsiran.

“Tapi kan mereka dulu yang mulai.”

Saya tahu, tapi kalau kita melakukan hal yang sama. Apa iya kita mau menjadi kelompok yang kita lawan selama ini?

Betapa ironis sekali kalau kita berkampanye melawan radikalisme, tapi kita justru berperilaku serupa.

Apa kamu tahu, kalau radikal itu diawali dari kecenderungan membatasi pertemanan? Lalu hanya ingin bergaul dengan golongan-golongan itu saja. Karena kelewat sering hanya berteman dengan orang yang itu-itu saja, kamu merasa golonganmu sedikit lebih istimewa.

Akhirnya, kalau langkah itu berjalan cukup ekstrem, kamu jadi tidak mau menerima alternatif kebenaran lain di luar golonganmu. Wajar, karena sudah merasa “cukup” atas pengetahuan yang kamu punya dari golonganmu. Sampai akhirnya kamu merasa eksklusif, merasa istimewa.

Dari sana lalu kamu malah jadi melihat kelompok lain sebagai orang-orang yang berbeda dari kamu. Setelah berbeda, lalu merasa orang itu lebih rendah darimu. Lantas kamu merasa berhak berperilaku semena-mena kepada kelompok lain. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Diskriminasi yang kamu lakukan jadi sesuatu yang “benar” dan dehumanisasi yang kamu lakukan kamu pikir dilindungi oleh undang-undang atau kepercayaanmu. Yah, setidaknya itu awal mula pikiran radikal bermunculan yang saya jelaskan ke bapak-bapak itu.

Meski sudah saya jelaskan panjang lebar begitu, si bapak-bapak yang bertanya ini masih kurang menerima.

“Berarti selama ini, kalau sampean menaikkan naskah orang-orang itu? Sampean setuju dengan isi tulisannya dong?” tanyanya lagi.

Saya jawab, tidak. Saya tak setuju isinya, tapi saya mengerti isinya.

Setuju dengan mengerti argumentasinya adalah dua hal yang sangat berbeda. Ambil contoh, saya tak setuju dengan beberapa kampanye teman-teman dari simpatisan parpol PKS misalnya, tapi saya mengerti kampanye mereka apa.

Sepanjang itu masuk akal, dan dibalut dengan argumentasi yang bagus ya nggak masalah. Tapi maaf, saya masih tidak setuju dengan isinya.

Sebab, tulisan itu sudah cukup bagus kalau bisa membuat orang lain mengerti. Nggak harus sampai bikin orang jadi harus sepakat atau setuju. Lagipula ini cuma tulisan manusia, bukan firman Tuhan. Hawong yang jelas-jelas firman Tuhan aja, masih banyak yang nggak sepakat kok.

Dan soal perkara itu, tentu saja kamu boleh tidak setuju dengan cara saya. Begitu juga dengan bapak-bapak yang sejak awal tulisan ini bertanya ke saya.

Ya ndak apa-apa. Masak iya kita nggak boleh berbeda?

BACA JUGA Suara TOA Masjid Harus Pelan, Suara TOA Masjid Harus Keras dan ESAI lainnya.

Penulis: Ahmad Khadafi

Editor: Ahmad Khadafi

Exit mobile version