Elegi untuk Is dan Payung Teduh

Payung_Teduh_Mojok_co

Payung_Teduh_Mojok_co

[MOJOK.CO] “Payung Teduh membuat ratusan orang jatuh cinta dan patah hati dengan sukarela.”

Bagaimana rasanya jatuh cinta? Barangkali kita bisa mendapatkan banyak jawaban dari satu pertanyaan itu. Seseorang yang pertama kali jatuh cinta bisa bicara tentang masa depan yang indah, perasaan gemas di ulu hati saat bertemu kekasihnya, atau bahkan hilangnya daya kritis karena terus-menerus dibayangi sosok pujaan hatinya.

Bagi mereka yang telah putus cinta, jatuh cinta lagi artinya berusaha membuka kembali luka lama, bersedia memberikan hal yang pernah kamu tutup dan buang kepada orang asing, merasakan kembali debar kegembiraan yang pernah kamu kutuk, atau sekadar meresapi getir nasib yang kepalang brengsek.

Itu yang saya rasakan setiap mendengar lagu-lagu Payung Teduh. 23 September 2011 di tepi danau Universitas Indonesia, saya menemukan perempuan yang saya pikir akan menjadi istri saya kelak. Tapi, harapan seperti memilih durian di pasar malam. Kamu pikir kamu telah menemukan yang terbaik, memiliki semua ciri yang telah kamu pelajari akan memberimu rasa terbaik, tapi ternyata berujung hambar dan tak jarang demikian pahit. Meski demikian kita tetap menelannya, entah dengan rasa marah atau rasa pasrah.

2011, di pintu keluar toilet perpustakaan Universitas Indonesia saya menyalami Is, vokalis Payung Teduh. Berterima kasih karena telah memainkan lagu “Untuk Perempuan yang Sedang dalam Pelukan”. Malam itu saya akhirnya bisa menggenggam tangan perempuan yang saya cintai untuk pertama kalinya. Saat kawan-kawan saya harus beradu peluh karena tak sempat mandi dan menghadapi tatapan jijik penonton lain karena bau badan, saya demikian bahagia dan sedang diam saja, mendengarkan Is membaca syair lagu itu.

Saya percaya ada ribuan perempuan di bawah kolong langit ini yang merasa bahwa lagu itu dinyanyikan dan diciptakan untuknya. Banyak juga laki-laki di kolong langit yang sama mengirimkan rayuan gombal dengan syair picisan yang menyadur lagu tersebut untuk kekasihnya. Payung Teduh, juga Is, telah menyatukan banyak hati dengan lagu-lagunya. Sengaja atau tidak, saya percaya, mereka ini merasa nasib mereka beririsan dengan syair-syair Payung Teduh.

Saya percaya ada ribuan laki-laki yang menemukan nyali melamar kekasihnya karena lagu “Akad”. Saya percaya ada ribuan perempuan yang berharap kekasihnya punya keberanian menyatakan perasaannya melalui “Akad”. Masing-masing dari kita merayakan Payung Teduh dengan caranya sendiri. Mereka yang berbahagia karena mendapatkan jawaban, mereka yang mengutuk kesepian karena perasaannya tak berbalas, serta mereka yang kemudian membenci band ini karena ratusan kenangan yang dihadirkan.

Saya masih ingat sore itu: menuju senja dan Depok begitu gerah. Ia sangat cantik, sedang cantik-cantiknya malah; baru saja pulang kerja, tersenyum kikuk, kerap kali lebih memilih menatap lantai ketimbang mempertemukan mata kami. Pelan-pelan Is mulai menyanyi, kami saling menyapa, basa-basi tentu saja, saat itu saya terlalu takut untuk meminta izin memeluknya. Perempuan itu nyaris seperti pagi selepas hujan, udara menjadi segar, tak ada gelap, lalu mata enggan menatap yang lain, hanya dia pusat semesta.

Saya percaya ada banyak pasangan yang kemudian melanjutkan hubungan mereka lebih serius karena syair lagu. Menikah, memiliki anak, dan bahagia. Orang-orang ini merasa berutang kebahagiaan kepada Payung Teduh, kepada Is. Doa-doa dipanjatkan, harapan-harapan diucapkan: mereka kecewa, terkejut, dan berharap kepergian Is hanya sementara. Bahwa band yang menyatukan mereka ini hanya mengambil jeda, berhenti sejenak untuk kemudian berjalan bersama, tapi kita tahu hidup tidak seindah itu.

Jatuh cinta itu picisan, klise, seperti ucapan bahwa setiap pertemuan melahirkan perpisahannya sendiri.

Saya percaya ada ribuan pasangan yang mengutuk Payung Teduh, mengutuk syair yang ditulis Is, meratapi pertemuan yang tak semestinya terjadi. Lagu-lagu yang dulu membuat mereka bahagia, kini hanya membuat perih di hati. Lagu-lagu yang menyimpan kenangan tentang sebuah peristiwa yang partikular, membuat pendengarnya mengingat hal yang tak diinginkan. Mereka mengutuk pertemuan yang melahirkan kekecewaan, mereka mengutuk perjumpaan yang melahirkan penderitaan. Seperti sajak duka. Datang dari mimpi buruk semalam, bermandikan air mata, di langit yang merah.

“Kalian mengajari kami bertemu, jatuh cinta, dan bahagia, tapi tak pernah mengajari kami perpisahaan, derita, dan kesunyian.”

Perempuan yang saya cintai itu lantas pergi. Mungkin kami tak pernah berjodoh. Mungkin juga tak semestinya berjodoh. Mungkin juga bukan nasib kami untuk berjodoh. Seperti pemabuk yang keras kepala, ribuan orang yang mendengarkan Is, juga Payung teduh, kami memelihara harapan. Bahwa mungkin saja nasib yang paling tengik, yang paling sial, akan berakhir dan pertemuan yang diakhiri ini akan kembali menemukan jalan pulang.

Payung Teduh menjadi latar cerita bagi banyak perpisahan. Mereka yang tak lagi menemukan alasan mempertahankan hubungan. Angin yang tak lagi jadi pujaan hujan. Mereka yang resah di ujung malam. Mereka yang tak bisa menjaga janji untuk tak berpisah selamanya. Hubungan yang tak bisa diselamatkan. Mereka berterima kasih kepada Payung Teduh, kepada Is, atas kesempatan untuk jatuh cinta untuk kemudian tak lagi bersama. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Seperti tak sempat digambarkan oleh kata ketika kita memutuskan berpisah.

Kelak, saat kita sudah jauh lebih tua, ketika umur sudah bertambah, kita akan menertawakan diri sendiri. Merelakan perpisahaan, mensyukuri pertemuan, dan juga memahami mengapa Is harus pergi dari Payung Teduh, seperti juga mereka yang tak bisa kita rawat selamanya. Kelak kita akan memahami apa makna kepergian. Seperti yang dilakukan sang pujaan yang tak juga datang. Angin berhembus bercabang. Rindu berbuah lara.

Bertahun kemudian, setelah perpisahaan dengan perempuan itu terjadi, saya masih berterima kasih pada Is. Pada Payung Teduh. Mungkin perpisahaan itu menyakitkan, membuat saya demikian menderita, tak bisa berfungsi normal, tapi pertemuan itu yang membuat saya jadi manusia. Lagu, syair, dan irama yang saya dengar di tepi danau Universitas Indonesia masih saya ingat. Juga segala detil di sekitarnya. Sampai hari ini saya masih ingin berdua dengan perempuan itu, di antara daun gugur, tapi saat ini saya hanya bisa melihatnya jauh.

Perpisahan itu menyebalkan, Is. Tapi, terima kasih.

Exit mobile version